Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sistem Berlapis Mendeteksi Tsunami

Sistem Berlapis Mendeteksi Tsunami

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buoy tsunami di Gedung Geostech Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di Serpong, Tangerang Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua benda setinggi tiga meter tergeletak di sudut halaman belakang Gedung Geostech Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, Banten. Karat, semak, dan tanaman rambat melilit kerangka besinya. Dimakan usia dan cuaca, warna kuning dan oranye perangkat itu juga memudar. “Ini sisa buoy tsunami generasi pertama dan kedua,” ujar Iyan Turyana, perekayasa buoy tsunami BPPT, Senin pekan lalu.

Buoy menjadi perangkat penting dalam sistem pendeteksi dini tsunami. Dilengkapi sensor untuk mengetahui perubahan tekanan di dalam laut dan tinggi muka air, perangkat ini berada di garda terdepan untuk mengetahui kemungkinan datangnya tsunami. Sensor buoy bisa mendeteksi perubahan ketinggian muka air laut hingga satu sentimeter dari kedalaman 6.000 meter. “Biasanya dipasang di lebih dari 100 kilometer dari garis pantai,” kata Iyan.

Menurut Iyan, informasi dari sensor buoy yang berada jauh dari garis pantai membuat potensi tsunami bisa diketahui lebih cepat. Peringatan bahaya tsunami juga bisa dirilis lebih awal dan penduduk di pesisir bisa cepat menyelamatkan diri dengan menjauh dari pantai. “Waktu yang singkat untuk evakuasi setelah peringatan bahaya tsunami itu sangat krusial,” tuturnya.

Suku cadang buoy tsunami di Gedung Geostech Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Senin, 31 Desember 2018.

Tsunami adalah gelombang besar yang dipicu pergerakan mendadak di dasar laut akibat gempa, longsor, atau erupsi gunung api. Kecepatan gelombangnya seperti laju pesawat jet komersial atau 500-1.000 kilometer per jam. Dengan perge-rakan secepat itu, gulungan ombak bisa mencapai daratan dalam hitungan menit.

Iyan mengatakan para ahli membutuhkan waktu 5-7 menit untuk membuat pemodelan tsunami setelah seluruh data dari semua sensor di lapangan, termasuk buoy yang mengapung di tengah laut, diterima. Hasil penghitungan itu kemudian dipakai untuk membuat peringatan dini ke publik. “Jika kecepatan tsunami sekitar 500 kilometer per jam, hanya ada waktu 10-15 menit untuk menyelamatkan diri,” katanya.

Namun tak ada peringatan yang muncul kala tsunami melibas pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung pada 22 Desember lalu. Detektor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika gagal mendeteksi kedatangan gelombang ganas itu. Gulungan ombak setinggi lebih dari dua meter yang merangsek ke daratan sejauh ratusan meter itu membunuh 437 jiwa, melukai 1.459 orang, dan memaksa lebih dari 36 ribu penduduk mengungsi.

Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza mengatakan sistem deteksi dini tsunami di Indonesia sangat rentan. Sulit mendeteksi tsunami lebih cepat karena tak ada buoy tsunami yang bisa diandalkan. Selama ini, sistem peringatan dini tsunami bertumpu pada perangkat deteksi gempa tektonis. Pemodelan tsunami juga menggunakan indikator pasang-surut atau tide gauge yang biasanya dipasang di dekat pesisir. “Saat kenaikan air terdeteksi oleh tide gauge, tsunami sudah sampai, sudah terlambat untuk evakuasi,” ujarnya.

Indonesia pernah memiliki jaringan buoy aktif setelah gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan Aceh pada 2004. Prog-ram pemasangan buoy itu dimulai pada 2006 menggunakan alat yang dihibahkan Jerman, Amerika Serikat, Malaysia, dan Australia. BPPT juga membuat sendiri buoy sejak 2008. Minimnya anggaran membuat produksi buoy itu berhenti pada 2013. “Sudah sampai generasi ketiga, tapi belum sempat dipasang,” kata Hammam.


Indonesia pernah memiliki jaringan buoy aktif setelah gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan Aceh pada 2004. Program pemasangan buoy itu dimulai pada 2006 menggunakan alat yang dihibahkan Jerman, Amerika Serikat, Malaysia, dan Australia. BPPT juga membuat sendiri buoy sejak 2008. Minimnya anggaran membuat produksi buoy itu berhenti pada 2013. “Sudah sampai generasi ketiga, tapi belum sempat dipasang,” kata Hammam.


Hammam menyebutkan ada 10 unit buoy yang dipasang, antara lain di perairan barat Simeulue, Aceh; Mentawai, Sumatera Barat; Bengkulu; Cilacap, Jawa Tengah; Bali; dan Laut Banda. Kondisi menjadi runyam karena sejumlah buoy rusak akibat vandalisme dan lenyap dicuri orang. Masalah anggaran yang minim kembali mendera sehingga perawatan buoy yang tersisa akhirnya berhenti total pada 2015. Ongkos perawatan satu unit buoy di laut bisa mencapai Rp 1 miliar per tahun. “Indonesia sekarang tak punya buoy lagi,” ujarnya.

Gunung Anak Krakatau yang terus bergejolak meski sebagian besar tubuhnya sudah rontok ke laut itu membuat pemerintah terus bersiaga. Apalagi hasil pengamatan menunjukkan ada retakan-retakan baru di lereng gunung itu, yang berpotensi longsor jika ada getaran besar. Gunung setinggi 110 meter itu memuntahkan material vulkanis dan awan abu hingga ketinggian dua kilometer. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi masih menyematkan status siaga dan merekomendasikan zona terlarang dalam radius lima kilometer dari kawah Anak Krakatau.

Selasa pekan lalu, BMKG memasang sensor ketinggian air dan curah hujan di Pulau Sebesi. Berada di utara Anak Krakatau, Sebesi menjadi lokasi terdekat dengan gunung api tersebut. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan sensor-sensor itu tersambung langsung ke server Automatic Weather Station Rekayasa milik BMKG.

Meski demikian, sensor yang dipasang itu bukan perangkat untuk sistem peringatan dini tsunami. Sensor tersebut digunakan untuk mencocokkan ketinggian air dengan data pemantau getaran vulkanis. BMKG tetap akan merilis peringatan dini dengan bersandar pada data aktivitas getaran vulkanis hingga level tertentu meski gelombang tinggi tak terdeteksi.

BMKG juga menyebarkan sejumlah personel dan peralatan pemantau kondisi cuaca di sekitar lokasi bencana tsunami Selat Sunda. “Salah satunya mobile weather emergency service di Posko Terpadu Labuan,” ujar Dwikorita.

Selain itu, BMKG sedang merintis Indonesia Seismic Information System, yang merupakan sistem peringatan dini akibat luruhnya lereng Anak Krakatau. Dioperasikan di Selat Sunda, sistem itu memanfaatkan data pemantauan gempa lokal. Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan belum ada negara lain yang memakai sistem serupa.

BPPT menyatakan sanggup memasang tiga buoy di perairan di antara Pulau Sertung, Panjang, dan Krakatau Besar, yang mengelilingi Gunung Anak Krakatau. Lembaga itu membutuhkan dana sekitar Rp 5 miliar untuk memperbaiki, memasang, dan memelihara satu unit buoy. “Kalau beli dari negara lain, harganya Rp 6-8 miliar. Kita bisa bikin sendiri dengan harga lebih murah,” kata Hammam.

BPPT juga mengajukan pemasangan teknologi pendeteksi tsunami cable-based tsunameter (CBT) untuk melengkapi buoy. Teknologi yang menggunakan kabel serat optik ini menjadi pilihan untuk mengatasi masalah buoy yang rentan dicuri atau rusak dan sulit diperbaiki karena berada di tengah laut. Sejumlah negara sudah menggunakan teknologi ini, seperti Jepang, Kanada, Oman, dan Amerika Serikat. “Selain oleh buoy, perair-an timur Jepang dipenuhi oleh jaringan CBT yang memiliki ratusan sensor,” ujar Iyan Turyana.

Menurut Iyan, BPPT sudah siap memasang CBT sepanjang tiga kilometer. Teknologi ini pernah diuji coba pada 2013-2016 di perairan Pameungpeuk, Jawa Barat. “Sensornya sensitif, bisa melacak perubahan kolom air dalam hitungan detik,” katanya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ANWAR SISWADI, AHMAD FIKRI (BANDUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus