Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya melihat sendiri bagaimana universitas ini sangat serius memberikan pemahaman dan pembekalan kepada mahasiswanya dalam menghadapi bencana. Mereka tidak hanya menyediakan ruang ekshibisi tentang bencana apa saja yang ada di sekitar Cina, tapi juga mengadakan pelatihan khusus kepada mahasiswa baru pada awal tahun ajaran.
Seorang pengajar di sana mengatakan target utama edukasi bencana yang menyatu dengan kurikulum pendidikan itu adalah tiap orang menyadari bahwa lingkungannya rawan dengan pelbagai jenis bencana dan, dengan begitu, mereka bisa melakukan penyelamatan secara mandiri ketika menghadapinya. Mereka sadar, Republik Tiongkok yang luas terkepung pelbagai jenis bencana yang bisa datang sewaktu-waktu kendati ilmu pengetahuan telah menghitung potensi-potensinya.
Kuncinya adalah ”mandiri”. Pemerintah Cina memasukkan bencana sebagai bagian dalam kurikulum agar tiap orang bisa tanggap-darurat sendiri dalam menghadapi bencana. Sebab, dalam prinsip keselamatan, pada saat kejadian bencana, setiap orang harus bertindak atas dirinya sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Dengan kemandirian, risiko atas bahaya bencana yang tak bisa dicegah itu akan terkurangi.
Sebagai kepulauan yang berada dalam cincin api, dikelilingi gunung berapi, bagi kita awas dan waspada menghadapi bencana bukan sesuatu yang bisa ditawar. Sebuah keharusan kita mengenali dan berwaspada dengannya. Sepanjang 2017, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.372 kejadian bencana dalam pelbagai bentuk yang merenggut 377 orang, merusak 47.963 rumah, menghancurkan 1.276 fasilitas publik, dan menyebabkan 3,49 juta jiwa terkena dampak.
Karena itu, yang paling penting adalah memahami jenis-jenis bencana tersebut dan memitigasinya agar sesedikit mungkin jatuh korban. Pemerintah Indonesia sudah menyadari pentingnya mitigasi risiko tersebut. BNPB dibentuk setelah berlaku Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia, yang resmi berlaku pada 26 April 2007, yang derajatnya setingkat kementerian.
Untuk menunjang mitigasi, sebagai langkah awal, BNPB mengeluarkan buku saku yang melingkupi prosedur kedaruratan, seperti gempa bumi, tsunami, gunung api, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang pasang, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, serta kecelakaan transportasi. Buku ini telah secara lengkap memaparkan prosedur menghadapi bencana bagi masyarakat. Tujuannya bukan mengurangi dampak risiko keselamatan, melainkan menjadikan risiko tersebut menjadi nol, dengan pencegahan.
Semua konsep itu tidak cukup diatur melalui tulisan. Masyarakat perlu secara intensif dan terus-menerus diingatkan tentang bencana agar paradigma pencegahan menjadi keseharian mereka. Kita bisa menengok dan belajar dari negara dengan tingkat kewaspadaan bencana (emergency preparedness) cukup tinggi. Selain kepada Cina, kita bisa belajar kepada Jepang atau Filipina.
Di Jepang, pendidikan kebencanaan diterapkan sejak di bangku sekolah dan masuk kurikulum nasional. Begitu pula di Filipina. Dengan belajar dari negara lain, pendidikan, pelatihan, dan simulasi perlu menjadi akar utama untuk masyarakat, sehingga kita tak hanya cepat tanggap setelah bencana terjadi, tapi juga telah siaga dan mampu bertindak sebelum terjadi.
Latihan yang terus-menerus adalah metode yang bisa kita tempuh dalam edukasi bencana itu. Melalui pelatihan dan pendidikan, masyarakat bisa mengenali ancaman bencana di sekitarnya, mengurangi risikonya, dan mengetahui apa saja yang bisa dilakukan dalam situasi darurat sehingga akan ada lebih banyak orang yang bisa diselamatkan.
Semua konsep itu tidak cukup diatur melalui tulisan. Masyarakat perlu secara intensif dan terus-menerus diingatkan tentang bencana agar paradigma pencegahan menjadi keseharian mereka. Kita bisa menengok dan belajar dari negara dengan tingkat kewaspadaan bencana (emergency preparedness) cukup tinggi. Selain kepada Cina, kita bisa belajar kepada Jepang atau Filipina.
BNPB telah menyusun kurikulum pelatihan dasar manajemen bencana, dengan melibatkan banyak pihak, sebagai pengetahuan fundamental terkait dengan penanggulangan bencana yang kemudian dilanjutkan implementasinya dalam bentuk pelatihan dasar manajemen bencana. Pelatihan BNPB tersebut bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia provinsi seluruh Indonesia.
Meskipun demikian, mengingat keterbatasan dana, waktu, dan tenaga serta jangkauan wilayah Indonesia yang luas, metode pelatihan konvensional—tatap muka dalam kelas—belum efektif karena peserta yang terjangkau hanya sedikit. Pelatihan jarak jauh melalui e-training layak dipertimbangkan, selain mengimplementasikan kurikulum pendidikan bencana ke dalam praktik belajar-mengajar di sekolah.
Sebab, kurikulum kebencanaan disusun sejak 2009 oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan sosialisasi ke sekolah dengan penyisipan muatan lokal. Masalahnya, memang, praktik kurikulum ini belum merata di tiap sekolah. Sekolah yang berada di daerah rawan bencana saja yang mulai aktif mempraktikkan soal ini. Padahal mengenali risiko dan ancaman serta meningkatkan kemampuan menghadapi bencana seharusnya menjadi pengetahuan setiap orang Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo