Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT terakhir pada September lalu awalnya berjalan seperti biasa bagi Shirley Chowindra. Hampir setiap akhir pekan, pemilik hotel dan restoran Mary Glow di Palu, Sulawesi Tengah, ini selalu sibuk dengan acara pesta pernikahan yang digelar di restorannya. Hari itu ada dua pesta pernikahan yang berlangsung pada pukul 19.00 Waktu Indonesia Tengah. Setelah masakan matang, Shirley akan menatanya di restoran.
Namun, pada pukul 18.02, gempa tiba-tiba mengguncang. Seketika itu Shirley bergegas keluar dari restorannya. Ia memilih menuju halaman belakang karena lebih dekat untuk dicapai. Saking kencangnya guncangan gempa, perempuan 53 tahun itu hanya bisa merangkak. Sesampai di luar, Shirley berputar ke halaman depan untuk mencari keluarga dan karyawannya. Ia juga berupaya mencari kedua pasangan pengantin yang saat itu sudah datang. ”Tapi tidak tahu lari ke mana,” kata Shirley saat ditemui di hotelnya pada akhir November lalu.
Shirley Chowindra di dapur Mary Glow, Palu, Sulawesi Tengah. TEMPO/M Taufan Rengganis
Baru sekitar pukul 21.00, salah satu pasangan pengantin datang. Mereka mengingatkan Shirley bahwa masih banyak makanan di restorannya yang belum tersentuh. Ibu dua anak ini pun mengambil semua makanan itu beserta wadah sajinya. Karena pengantin itu tidak membawa semua makanan dan tersisa cukup banyak, Shirley kemudian membagi-bagikan 300 porsi kepada ratusan penduduk yang berkumpul di tanah kosong di seberang Mary Glow. ”Saya taruh di sana sewadah-wadahnya. Yang mau makan, makan,” ujar perempuan keturunan Tionghoa asal Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, itu.
Bersama suaminya, Teddy Halim, 57 tahun, Shirley juga mengantarkan makanan itu kepada para tamu di Hotel Roa Roa. Hotel yang berjarak sekitar 500 meter dari Mary Glow itu roboh akibat gempa yang melanda. ”Saya pikir pasti banyak tamu di Hotel Roa Roa yang belum makan. Saya ke sana sekitar jam 11 malam. Akhirnya mereka makan,” kata Teddy.
Keesokan harinya, Shirley berinisiatif membuat dapur di halaman hotelnya. Saat itu sudah banyak warga sekitar yang membangun tenda di tanah lapang di seberang Mary Glow. Namun, menurut Shirley, makanan susah didapat. Kebetulan di restorannya ada bahan makanan yang belum dimasak. Shirley bersama ibu mertuanya, Lea Yuana, 80 tahun, memasak di situ. Teddy yang mengajak para pengungsi itu untuk makan di sana. ”Orang yang lalu-lalang kalau mencari makanan di sini silakan saja makan walaupun tidak banyak,” ujar Lea.
Setelah tiga hari Shirley membuka dapur umum, bahan makanan di restoran Mary Glow hampir habis. Yang tersisa hanya beras sebanyak 30 karung, yang isinya masing-masing 50 kilogram. Shirley kemudian memberikan beras itu kepada warga sekitar dengan kantong plastik per 10 kilogram. Ia juga memberikan beras itu kepada Gereja Pedati dan Masjid Al-Ukhuwwah, yang berada di dekat restoran. ”Ada dua karung beras yang diantar Pak Teddy ke sini. Langsung saya bagikan ke warga masing-masing 5 liter,” tutur pengurus Masjid Al-Ukhuwwah, Sutomo, 71 tahun, saat dihubungi pada akhir November lalu.
Setelah tiga hari Shirley membuka dapur umum, bahan makanan di restoran Mary Glow hampir habis. Yang tersisa hanya beras sebanyak 30 karung, yang isinya masing-masing 50 kilogram. Shirley kemudian memberikan beras itu kepada warga sekitar dengan kantong plastik per 10 kilogram. Ia juga memberikan beras itu kepada Gereja Pedati dan Masjid Al-Ukhuwwah, yang berada di dekat restoran.
Pada 8 Oktober 2018, World Central Kitchen (WCK), organisasi nonprofit yang berpusat di Washington, DC, Amerika Serikat, memakai restoran Mary Glow sebagai dapur umum. Bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Nasional -Al-Azhar, WCK menyuplai -makanan untuk para pengungsi gempa Sulawesi Tengah. ”Saya bersyukur mereka datang. Saya sempat berpikir, kalau beras habis, apa lagi yang bisa saya pakai untuk memberi makan orang-orang?” tutur Shirley.
Sebetulnya Direktur Proyek WCK Sam Bloch sudah tiba di Palu pada 3 Oktober 2018. Sesampai di sana, Bloch bersama pihak Al-Azhar mencari hotel dengan restoran yang memiliki dapur berukuran besar yang masih aman setelah gempa melanda. ”Kami sangat beruntung menemukan Mary Glow,” kata Lucy Shpak, relawan WCK yang mengurusi kerja sama dengan Al-Azhar. Lucy mengatakan, dapur Mary Glow yang luasnya sekitar 200 meter persegi dan memiliki belasan kulkas sangat layak dijadikan sebagai dapur umum. Mary Glow juga memiliki kamar hotel untuk mereka menginap.
Koordinator lapangan LAZ Nasional Al-Azhar untuk gempa Sulawesi Tengah, Benny Abdullah, mengatakan Shirley dan Teddy menyambut baik permintaan WCK dan Al-Azhar untuk membuat dapur umum di restorannya. ”Mereka sangat senang kami datang dan mau menggunakan dapurnya sebagai dapur umum,” ujar Benny saat dihubungi pada akhir November lalu. Shirley meminjamkan dapurnya itu secara cuma-cuma. ”Hanya membayar hotelnya,” kata Shirley. Lucy membenarkan hal itu. ”Ibu Shirley sangat mem-bantu.”
WCK membuka dapur umum di Mary Glow hingga akhir Oktober lalu. Shirley menuturkan, dua hari pertama WCK membuka dapur umum, hanya sepuluh orang yang ikut menyiapkan ribuan porsi makanan. Hanya ada dia, satu karyawan restoran, koki dari WCK, serta beberapa relawan WCK dan Al-Azhar. Pada hari ketiga, mereka mulai kewalahan. Shirley pun menghubungi para karyawannya untuk membantu memasak. Saat itu, ada enam karyawan restoran dan enam karyawan hotel yang bersedia membantu. ”Mereka paham kalau ini adalah pelayanan untuk kemanusiaan. Mereka tidak pernah capek,” ujarnya.
Selain itu, Aryatinoor, relawan WCK dari Balikpapan, Kalimantan Timur, menghubungi tentara daerah asalnya untuk membantu. ”Kebetulan saya kenal,” kata perempuan yang sehari-hari bekerja -sebagai pengusaha properti itu. Sepuluh tentara dari Balikpapan datang. Mereka membantu memotong ayam yang jumlahnya mencapai 1.000 kilogram -hingga mencuci beras yang jumlahnya 1.200 kilogram sekali masak. ”Itu semua tidak mungkin hanya dikerjakan beberapa orang,” ujar Aryatinoor.
Shirley Chowindra di dapur Mary Glow. TEMPO/M Taufan Rengganis
Biasanya, menurut Aryatinoor, mereka mulai mempersiapkan bahan-bahan makanan sekitar pukul 07.00. Menjelang siang, sebagian dari bahan-bahan itu dimasak untuk makan para relawan. Setelah itu, barulah mereka memasak menu makan malam buat para pengungsi hingga sekitar pukul 16.00. ”Jadi tidak ada berhentinya,” ucapnya. ”Orang-orang inilah yang luar biasa, jauh-jauh datang untuk membantu orang Palu.”
Menurut Shirley, pada hari pertama, WCK memasak untuk 1.500 porsi. Namun, hari-hari berikutnya, jumlahnya terus bertambah: 3.000 porsi pada hari kedua, 6.000 porsi pada hari ketiga, 10.000 porsi pada hari keempat, dan 12.000 porsi pada hari kelima hingga dapur umum itu berakhir. Pada 1-6 November 2018, karena bahan makanan masih ada, WCK menyerahkan dapur umum itu kepada Shirley. ”Selama enam hari itu kami memasak untuk 6.000 porsi dalam sehari,” kata Shirley.
Shirley mengatakan makanan itu dibawa ke posko-posko pengungsian dengan termos. Hal ini agar makanan itu tetap hangat meskipun lokasinya cukup jauh dari Mary Glow. Relawan dari Al-Azhar-lah yang bertugas membawa termos-termos itu ke tenda-tenda pengungsian dan membagi--bagikannya kepada korban gempa.
Selama 8 Oktober-6 November 2018, menurut Benny Abdullah, Al-Azhar mencatat sebanyak 220.800 porsi bisa disalurkan di 25 posko pengungsian, baik di Kota Palu, Kabupaten Sigi, maupun Kabupaten Donggala. ”Sekitar 16 ribu porsi dari jumlah itu diberikan untuk relawan yang membantu,” ujar Benny.
Selama 8 Oktober-6 November 2018, menurut Benny Abdullah, Al-Azhar mencatat sebanyak 220.800 porsi bisa disalurkan di 25 posko pengungsian, baik di Kota Palu, Kabupaten Sigi, maupun Kabupaten Donggala. "Sekitar 16 ribu porsi dari jumlah itu diberikan untuk relawan yang membantu," ujar Benny.
Menurut Shirley, setelah gempa mengguncang, banyak saudara dan kerabatnya yang menyuruh dia pergi meninggalkan Palu. Bahkan salah satu saudara Shirley yang berada di Makassar menyuruh dia menggunakan jalur darat untuk menuju ke sana. ”Palu mau tenggelam, lari,” kata Shirley menirukan ucapan saudaranya di telepon. Namun Shirley bergeming. ”Kalau saya lari, kasihan kota ini, siapa yang akan menjaga?” tutur Shirley.
Hal itulah yang membesarkan keyakinan Shirley untuk tetap tinggal di Palu. Berulang kali ia mengatakan tak sampai hati melihat warga sekitar kesusahan mencari makanan. Karena itu, Shirley mengaku sangat senang atas kedatangan WCK yang mau membuat dapur umum di restorannya. Walaupun WCK tak memintanya ikut memasak, Shirley tetap membantu sejak awal dapur umum itu dibuka. Pikiran dan badan yang lelah tak ia rasakan. ”Baru setelah dapur umum selesai, terasa capeknya, kaki bengkak-bengkak,” ujar Shirley, lalu tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo