Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reportase bekas kawasan istana Kerajaan Cakranegara.
Kawasan Puri Ukir Kawi menjadi lahan komersial.
Rencana pemulangan harta Kerajaan Cakranegara sudah terdengar sejak 2001.
PURI Ukir Kawi di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, kembali ramai dibincangkan orang setelah pemerintah Kerajaan Belanda hendak mengembalikan sejumlah benda jarahan di puri milik Kerajaan Cakranegara itu. Puri itu dibumihanguskan dan dihancurkan karena rajanya menolak takluk. Kawasan Puri Ukir Kawi kini tak lagi menyisakan jejak sebagai bekas istana kerajaan di Lombok. Hanya ada papan putih penunjuk nama Lingkungan Ukir Kawi di rumah kepala lingkungan setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kawasan itu menjelma kompleks pertokoan. Pemiliknya pun dari beragam etnis: Bali, Cina, Arab, Padang, dan Sasak. Di ujung selatan bekas puri terdapat kompleks pertokoan Selaparang Square. Ada belasan toko, termasuk tempat karaoke, selebihnya ke arah barat terdapat deretan toko. Di bagian tengah, tepatnya di belakang pertokoan, terdapat Sekolah Luar Biasa Negeri 2 Mataram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari penelusuran Lombok Heritage and Science Society, sebuah perkumpulan pencinta sejarah Lombok, satu-satunya penanda adalah sebidang tembok sepanjang 15 meter dengan ketinggian 6 meter dan ketebalan 50 sentimeter. Tembok itu berada di halaman belakang rumah Tuk Ukir, seorang warga yang menempati bekas kawasan Puri Ukir Kawi.
Peristiwa penaklukan Puri Ukir Kawi, pusat Kerajaan Cakranegara, itu tercatat dalam buku Lombok: Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940 karya Alfons van der Kraan. Tragedi yang berlangsung 129 tahun lalu itu adalah titik nadir perjalanan Kerajaan Cakranegara. Pada 19 November 1894, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal J.A. Vetter mendekati puri Kerajaan Cakranegara. Puri Ukir Kawi sudah lengang ditinggal pergi sebagian besar penghuninya. Dengan leluasa pasukan Belanda yang dibantu penduduk Sasak Timur menyelusup ke semua bagian puri, tanpa terkecuali. Mereka pun menjarah harta benda yang ada. Sebagian orang Sasak Timur dihalau dan dibunuh agar tidak menjadi pesaing. Setelah itu, mereka menghancurkan istana.
Merujuk pada denah yang dimuat dalam buku De Lombok Expeditie (1896) tulisan Wouter Cool—seorang prajurit Belanda yang ikut berperang pada 1894—Puri Ukir Kawi tergambar sebagai sebuah kawasan dengan 16 kompartemen. Setiap kompartemen dilindungi dinding tinggi dan kokoh serta memiliki nama tersendiri lengkap dengan fungsinya, seperti ruangan untuk para istri, anak-anak, dan dayang serta tempat menerima tamu, peristirahatan, persembahyangan, penyimpanan mesiu, gudang, dan tempat pemotongan ternak.
Pintu gerbang Bale Kambang, yang berada di Taman Mayura, bekas kerajaan Cakranegara, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 20 Juli 2023. Tempo/Abdul Latif Apriaman
Sebagian nama itu diambil dari nama daerah di Nusantara, bahkan dunia. Ada ruangan Mesir sebagai tempat tinggal Anak Agung Gde Putu dan ruangan Papua bagi para pembekel atau pamong desa. Sementara itu, tempat penyimpanan harta kerajaan berupa emas, perak, dan uang kepeng bernama ruangan Palembang. Di sebuah ruangan berukuran 3 x 5 meter, pasukan Belanda mendapati peti setinggi 60 sentimeter yang berisi beragam perhiasan perak. Di sebuah kamar dengan ukuran lebih kecil didapati logam emas, batu-batu murni, dan perhiasan berharga lain. Dengan cepat perhiasan itu dikuras. Sebagian kekayaan itu diambil pemerintah Hindia Belanda.
Pada hari itu juga Belanda mengirim 230 kilogram emas dan 3.810 kilogram perak ke Batavia. Pada hari berikutnya menyusul pengiriman 3.389 kilogram perak serta tiga peti berisi batu murni dan beragam perhiasan. Berbulan-bulan setelah penaklukan dan penjarahan itu, prajurit-prajurit Belanda menawarkan batu murni dan perhiasan-perhiasan berharga untuk dijual di kota-kota garnisun Jawa. Setelah menghancurkan istana, Belanda mengasingkan Raja Anak Agung Ngurah beserta keluarganya ke Batavia.
•••
BEGITU rencana repatriasi atau pemulangan harta kekayaan Kerajaan Belanda mencuat, sampai acara serah-terima dilakukan, Anak Agung Made Djelantik, 47 tahun, sering mendapat panggilan telepon yang menanyakan persoalan itu. Ia adalah buyut Anak Agung Made Djelantik Barayang Wangsa—panglima Kerajaan Cakranegara yang turut diasingkan penguasa Belanda bersama Raja Cakranegara ke Batavia. Dia bertindak sebagai juru bicara keluarga guna menjelaskan kepada para penelepon ihwal sikap dan langkah pihak keluarga jika benda bersejarah itu benar-benar akan dipulangkan ke Lombok. “Memang kalau urusan benda berharga pasti ramai,” Agung berseloroh.
Anak Agung Made Jelantik, Keturunan Raja Cakranegara. Tempo/Abdul Latif Apriaman
Agung sudah mendengar rencana pemulangan harta Kerajaan Cakranegara tersebut pada 2001. Saat itu ia bersama beberapa kerabat diundang ke Museum Nasional untuk melihat benda peninggalan Raja Cakranegara dari pengembalian pertama pemerintah Belanda pada 1977. Agung menyebutkan ragam koleksi perhiasan milik kerajaan yang dia saksikan ketika itu, seperti bros bermata berlian, cincin bermata hitam, dan lempengan emas tipis dengan beragam motif yang disebut sebagai bebadong—semacam jimat kekebalan bagi penggunanya. Setelah kunjungan itu, tak ada lagi kabar atau komunikasi.
Agung mengaku tak mengetahui rincian barang apa saja dari peninggalan kerajaan yang dijarah Belanda. Hanya, ayahnya mengatakan ada mahkota raja dan kursi emas yang tak jelas rimbanya. Ia berharap pemerintah mengajak kerabat keturunan raja, pemerhati sejarah, dan pemangku kepentingan berembuk. Tujuannya adalah membicarakan penyimpanan benda-benda dari Belanda tersebut. Ia melontarkan gagasan mendirikan museum khusus di area Taman Mayura.
Museum Negeri Nusa Tenggara Barat tak mau ketinggalan. Upaya koordinasi dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan, sudah dilakukan guna mencari tahu benda-benda apa saja yang dikembalikan. “Mungkin tidak semuanya. Tapi kami berharap ada sebagian yang bisa dikembalikan ke daerah untuk bisa ditampilkan kepada masyarakat,” ujar Kepala Museum Negeri NTB Ahmad Nuralam, Selasa, 18 Juli lalu.
Menjawab kekhawatiran sebagian kalangan akan keamanan penyimpanan harta bersejarah di museum, Nuralam mengatakan pihaknya siap memperbaiki prosedur operasi standar dan meningkatkan standar pengamanan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. “Saya rasa kalau di NTB institusi yang paling siap, ya, museum ini,” ucap Nuralam. “Kalau pemerintah pusat menganggap kurang, masih ada cukup waktu untuk meningkatkan keamanannya sesuai dengan standar yang diinginkan.”
Pendiri Lombok Heritage and Science Society, Zulhakim, mengingatkan semua pihak akan tantangan besar merawat benda-benda tak ternilai itu. Ia memahami harapan warga Lombok agar harta itu dipulangkan ke Lombok supaya mereka bisa melihat jejak sejarah bangsanya lebih dekat. “Pertanyaannya, apakah kita mampu menjaganya sebagaimana Belanda menjaganya selama ini?” kata Zulhakim.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Abdul Latif Apriaman dari Mataram berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berharap Dipamerkan di Lombok"