Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAIN gombal dan drum adalah benda penting untuk Adji Koesoemo, 43 tahun. Perca rombeng dipakainya untuk memisahkan air dengan plankton. Tong dipakai untuk membiakkan jasad renik yang hidup di laut itu. Dua benda ini menyokong Adji menghasilkan bahan bakar minyak dari plankton. Adji, drop out dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, telah memproduksi bahan bakar minyak dari plankton dalam skala kecil di rumahnya, di Griya Mahkota Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Temuan itu bermula pada naiknya harga bahan bakar minyak, 2005. Ia memeras otak untuk mendapatkan bahan bakar murah. Minyak bumi yang sekarang diproduksi massal berasal dari fosil. Di antaranya dari tumpukan plankton mati. Yang dilakukan Adji berbeda. Ia mengolah plankton hidup menjadi minyak. ”Semua biota laut bisa untuk bahan bakar minyak,” katanya Kamis pekan lalu.
Ia menggambarkan, untuk memproduksi minyak konvensional, fosil hasil pengeboran dicampur dengan natrium hidroksida sebagai katalisator. Menurut Adji, natrium hidroksida memecah asam lemak menjadi gliserin dan methyl ester. Melalui pemutaran 600-700 per menit pada suhu tak lebih dari 60 derajat Celsius, didapatlah minyak mentah yang bisa diolah untuk bahan bakar minyak.
Tapi Adji menemukan metode mudah dan murah. Bahan bakunya adalah plankton laut dan plankton hasil pembiakan di air tawar yang diberi makan pupuk organik cair produksinya sendiri. Ia memang dikenal sebagai pembuat pupuk organik cair. Setelah dipanen, plankton dilumuri zat tertentu, yang dia rahasiakan namanya. Adji takut, jika nama zat itu dibuka, harganya segera melangit. ”Barangnya ada di pasaran,” katanya.
Campuran itu menghasilkan 30 persen minyak mentah, 10 persen ampas, dan 60 persen air. Untuk memperoleh bahan bakar minyak, kata Adji, pada minyak mentah itu ditambahkan natrium hidroksida. Agar jernih, minyak disuling. Perlu tiga hingga lima jam untuk mengurai plankton menjadi minyak mentah, ampas, dan air. Minyak mentah berada di lapis atas, air di tengah, dan ampas pada dasar bejana. Menurut Adji, plankton dari laut lebih bagus hasilnya dibanding plankton hasil biakan air tawar.
Untuk menghilangkan unsur garam dalam minyak, bahan bakar mentah itu dialiri listrik 30 ribu watt. Ongkos produksi minyak dari plankton ini tergolong murah: Rp 380-500 per liter. Menurut Adji, dari satu meter kubik air tawar yang di dalamnya dibiakkan plankton, dihasilkan 9-14 liter minyak mentah.
Plankton yang dibiakkan di air tawar bisa dipanen setiap sepuluh hari. November tahun lalu, Adji membagikan 300 liter bensin kepada siapa pun di halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta. April lalu, ia mengirim 80 liter bensin hasil olahannya ke Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Surabaya. Adji menjamin teknologi temuannya itu bisa diterapkan untuk produksi minyak secara massal.
Dosen Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Tontowi Ismail, mengatakan plankton memang bisa dibiakkan dan diolah menjadi minyak. Tapi tak semua jenis plankton berkandungan minyak besar. Kalaupun ada, ”Ongkos membiakkan dan mencari plankton juga besar,” katanya.
DI Palu, Sulawesi Tengah, Voll Johanes Bosco, 55 tahun, membuat bahan bakar yang terdiri atas 80 persen air dan 20 persen premium. Hanya lulus sekolah menengah atas, bapak tiga anak ini pegawai negeri sipil yang bekerja di stasiun pemancar Radio Republik Indonesia Palu.
Voll berkeyakinan emisi karbon dioksida dan karbon monoksida yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor memiliki energi.
Berbarengan dengan udara yang masuk ruang bakar, campuran bensin dan air dari tangki dialirkan lewat pipa kecil menuju reaktor. Volume campuran bensin-air diatur oleh semacam keran. Adapun bentuk reaktornya seperti pipa tabung yang lebih besar daripada selang pengalir bahan bakar. Di dalam reaktor ini dihasilkan uap bensin yang mengalir ke ruang bakar lewat intake manifold alias leher angsa mesin.
Uap bensin dan udara bertemu di ruang bakar dan dikompresi oleh piston. Api yang dipantikkan busi menghasilkan pembakaran, lalu mesin pun hidup. Boy, sapaan Voll, menyebut proses ini sebagai siklus pertama.
Mesin hidup ini menghasilkan gas buang hasil pembakaran berupa karbon monoksida dan karbon dioksida. Lalu, dari lubang buangan, keduanya dialirkan menuju reaktor. ”Polutan itu bereaksi dengan air di dalam reaktor dan menghasilkan gas metan,” katanya.
Metan berwujud uap bensin ini lalu dialirkan ke ruang bakar lewat leher angsa. Metan lalu bertemu dengan udara di ruang bakar, kemudian dikompresi. Ditambah api yang dipantikkan busi, terjadilah pembakaran. Proses ini disebut siklus kedua.
Energi untuk menjalankan reaktor diambil dari panas gas buangan. Apalagi bila suhu tabung reaktor mencapai 150-200 derajat Celsius, mesin berputar normal. Ketika baru distarter, bunyi mesin memang mbrebet karena metan di dalam tabung reaktor masih dibuat. Tapi, setelah itu, wus… wus… wus…..
Jika mesin dingin, dari tabung reaktor keluar bintik-bintik air. Ketika mesin sudah panas, yang keluar dari knalpot hanya oksigen. Boy masih merahasiakan isi reaktor yang diciptakannya itu. ”Belum bisa saya sebut,” katanya.
Mirip Boy, Djoko Sutrisno, 52 tahun, mengawinkan bensin dan air untuk bahan bakar motor dan mobil. Jebolan kelas II sekolah menengah pertama di Yogyakarta ini membuat tabung elektrolisa yang dipasang di motor atau mobil. Di dalam tabung, air dicampur dengan kalium hidroksida. Air ini dihubungkan ke elektroda agar unsur oksigen dan hidrogen dalam air terpisah. Hidrogen lalu dipanen untuk sumber energi. Biaya untuk membuat mesin ini hanya Rp 75 ribu. Djoko sesumbar, jika biasanya seliter bensin hanya dapat dipakai untuk melalui 12 kilometer, dengan alat temuannya bisa 36 kilometer.
Ide Djoko datang tiga tahun lalu. Suatu malam, dengan penerangan api korek, ia melongok isi aki. Ketika api mendekati lubang aki, terjadi ledakan. Air aki terciprat ke wajah Djoko. Ia bingung mengapa air aki yang berbahan baku air murni itu bisa memicu ledakan. Setelah merenung, ia menemukan jawaban, yakni karena unsur hidrogen dan oksigen dalam air terurai. Hidrogen adalah bahan bakar.
Soal temuan Boy dan Djoko, Tontowi menyatakan perlu dilakukan uji kelayakan pada sistem mesin. Jangan sampai, kata dia, umur mesin yang mestinya 10 tahun tinggal 5 tahun karena mesin digeber untuk proses mengubah air jadi energi. ”Irit bensin tapi onderdil gampang jebol,” kata Tontowi. ”Kan, justru keluar duit lebih banyak.”
Sunudyantoro, Heru C.N. (Yogyakarta) M. Darlis (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo