Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Indonesia sudah punya pemimpin baru. Kamis dua pekan lalu, mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu diambil sumpahnya oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Marianna Sutadi. Boediono kembali ke Kebon Sirih setelah 10 tahun silam dia pernah menjadi salah satu Direktur Bank Indonesia. Kehadiran Boediono diharapkan bisa memulihkan nama baik Bank Indonesia, yang tercoreng kasus suap di Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri Keuangan di era Presiden Megawati ini juga dihadapkan pada masalah moneter yang tak kalah pelik. Nilai tukar rupiah terus digoyang ke level di bawah Rp 9.300 per dolar. Harga minyak melambung sampai di atas US$ 130 per barel. Inflasi diperkirakan juga bakal menembus dua digit. ”Pemerintah dan Bank Indonesia harus kompak menghadapi semua itu,” katanya ketika menerima M. Taufiqurohman, Anne L. Handayani, Grace S. Gandhi, Eko Nopiansyah, dan fotografer Ramdani dari Tempo, di kantornya, Rabu pekan lalu. Meskipun banyak tersenyum, Boediono tetap irit bicara.
Dengan terus naiknya harga minyak, target-target pemerintah di anggaran pendapatan dan belanja negara diperkirakan meleset. Bagaimana Bank Indonesia akan menjaga ini?
Dalam situasi seperti ini memang diperlukan kerja sama yang lebih erat antara fiskal dan moneter, antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tidak hanya secara umum, tapi lebih konkret dan spesifik. Jadi masalah-masalah pengendalian indikator makro yang menentukan atau mempengaruhi banyak sekali unsur ekonomi dan aspek ekonomi, apakah itu kurs, suku bunga, inflasi, atau pertumbuhan, harus dijaga bersama.
Artinya, meskipun masing-masing independen, jangan ada jarak lagi antara kebijakan fiskal dan moneter. Pengambilan keputusan harus bisa saling menampung kepentingan masing-masing. Untuk masalah fiskal dan moneter seperti defisit atau pembiayaan, kedua belah pihak perlu berkonsultasi. Di masa lalu, ada kalanya (hubungan) itu tidak terlalu smooth. Tapi, dalam situasi seperti sekarang, perlu smooth.
Pertumbuhan triwulan pertama ternyata masih lebih baik daripada tahun lalu?
Ya, sebenarnya pertumbuhan sedang dalam momentum picking-up. Infrastruktur yang mulai dipersiapkan pada periode 2006-2007 sudah banyak yang berada pada tahap implementasi sekarang. Jadi di lapangan memang ada kegiatan. Masalahnya sekarang adalah menjaga stabilitas, terutama ke depan.
Saya yakin, kalau suasana tetap baik, tidak ada geger-geger yang lain, pertumbuhan masih oke, mendekati target tahun ini. Tahun depan ya enggak tahu, ya…. Tapi biasanya, pada tahun pemilu, permintaan malah kuat sekali karena orang berbelanja. Konsumsi tahun 2004 meningkat dibanding 2003. Memang spending-nya bermacam-macam. Untuk beli kaus, misalnya.
Investasi juga membaik. Tahun ini, dari laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal, sudah ada pembalikan yang cukup mantap untuk investasi rill di bidang energi, termasuk pertambangan, dan komoditas.
Tapi tekanan harga minyak mentah, minyak sawit, dan pangan kan tidak berhenti?
Memang. Harga pangan, harga komoditas, termasuk minyak kelapa sawit dan minyak mentah, sekarang begitu tinggi. Saya sendiri bukan ahli di bidang itu, ya, tapi kalau harga sudah pada tingkat yang tidak masuk akal, suatu saat pasti akan turun. Saya tidak tahu kapan, tapi memang begitulah mekanisme pasar. Saya masih beranggapan suatu saat akan kembali ke tingkat yang lebih wajar.
Memang ada aspek spekulasi, kesenjangan supply-demand, dan juga aspek ketidakpastian. Total produksi beras di dunia sebenarnya tahun ini tidak turun, lho. Tapi, karena orang takut ada kelangkaan bahan makanan seperti gandum dan jagung, negara yang biasanya mengekspor lalu menghentikannya. Akibatnya, pasar global beras kering. Negara seperti Filipina, tidak tahu kenapa—mungkin ada aspek politiknya—lalu nubruk-nubruk. Kontrak berapa pun mereka ambil. Ini merusak pasar, sehingga suplai makin kering. Tapi harga akan turun juga nanti. Kalau iklimnya bagus, akan kembali lagi.
Apa pengaruhnya di dalam negeri?
Kita harus menerima itu sebagai cost push. Menghadapi inflasi yang disebabkan oleh harga komoditas yang ada di luar kemampuan untuk dikendalikan karena aspek supply-demand memang membentuk itu, apa yang perlu dilakukan? Kalau dari segi bank sentral, ya, meredam dampak sekunder dari kenaikan itu. Dampak primernya adalah akibat kenaikan harga minyak mentah, harga bahan bakar minyak, pangan, dan komoditas naik. Bank Indonesia stop saja sampai di situ. Jangan merembet lagi di luar itu. Kalau merembet ke harga yang lain, akan menciptakan suatu ekspektasi inflasi yang tinggi. Akibatnya, orang lalu memasukkan perhitungan ekspektasi ini ke dalam keputusannya.
Jadi Bank Indonesia akan melakukan kebijakan uang ketat untuk meredam dampak sekunder itu?
Ya, jangan disebut tight money policy. Kita nanti akan melihat aspek likuiditas yang ada di lapangan. Sudah pas atau belum. Suku bunga hanyalah salah satu cara atau instrumen. Instrumen itu banyak, lho. Ada cadangan devisa yang digunakan antara lain untuk mengoptimalkan operasi pasar di dalam negeri. Ini semua akan dipakai secara pas, seimbang satu sama lain. Tujuannya untuk meredam dampak sekunder tadi, supaya jangan merambat lebih lanjut.
Yang paling mungkin dilakukan Bank Indonesia dalam waktu dekat dengan instrumen-instrumen ini apa?
Likuiditas itu kan bisa dikendalikan dengan melelang Sertifikat Bank Indonesia. Bisa dengan cadangan devisa, juga dengan suku bunga. Policy rate itu penting. Ini semua adalah instrumen. Kapan dipakainya, tergantung situasi.
Bagaimana Bank Indonesia melihat harga minyak?
Berdasarkan hukum gaya berat, apa-apa yang naik pasti akan turun. Ada jenuhnya. Saya kok optimistis, dalam situasi tertentu, akan ada penyesuaian. Harga tidak akan terus-menerus melambung. Ya, kita lihatlah. Kalau Amerika sakitnya agak parah, Indonesia bisa ikut kena. Kita tidak bisa menghindar. Tapi saya berharap jangan sakit, deh.
Krisis di Amerika sekarang mula-mula kan krisis keuangan, dari kredit perumahan, tapi kemudian menjadi krisis kredit secara menyeluruh. Tidak hanya di sektor perumahan, tapi juga krisis perbankan karena ada bank yang harus nombok duit, ada yang di-rush. Juga tidak hanya terjadi di Amerika.
Kita berharap krisis itu tidak makin luas. Katanya sekarang mulai reda, ya, tidak apa-apa. Tapi, kalau harga komoditas, pangan, dan terjadi inflasi akibat cost push, tiga-tiganya ini bergabung, bisa saja ekonomi dunia secara keseluruhan lesu. Pada 1929 yang terjadi ya karena itu. Berbagai situasi menumpuk pada suatu saat dan terjadi berantai di semua negara, sehingga terjadi resesi global. Moga-moga yang terjadi saat ini adalah perlambatan saja, jangan resesi. Di Amerika pada waktu itu minus 29 persen. Itu yang harus dihindari.
Kalau menurut perkiraan Bank Indonesia, inflasi dan nilai tukar rupiah sampai akhir tahun berapa?
Bank Indonesia akan menggunakan berbagai instrumen yang ada untuk menjaga dua-duanya. Ya, kalau inflasi, kita tunggu saja dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak dalam dua bulan ini.
Tapi Juni kan musim sekolah dan September-Oktober puasa?
Makanya nanti kita lihat. Kalau dulu, waktu kenaikan pada Oktober 2005... suttt... (tangannya menggambarkan kurva yang naik di udara). Tapi ya kita lihat saja. Memang benar Juni-Juli ada pengeluaran untuk sekolah. September ke atas ada masa paceklik dan bulan puasa. Semua ini rutin dari tahun ke tahun.
Kalau cadangan devisa, aman?
Cukup. Cadangan devisa saat ini US$ 59 miliar. Akhir-akhir ini cukup stabil, meskipun sudah dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk menjaga likuiditas, seperti untuk menyuplai dolar yang kadang kala diperlukan. Tapi secara umum stabil karena ada yang masuk, ada yang keluar. Penerimaan dari minyak kan juga masuk. Kalau harga minyak naik, sebenarnya penerimaan minyak pemerintah juga naik. Selain itu, dari pinjaman pemerintah.
Kalau untuk operasi pasar, tidak akan menggerus cadangan?
Ya, jangan sampai menggerus. Kan, ada kebutuhan yang harus dianggap sebagai keperluan yang tidak boleh tidak harus ada, mau tidak mau menggunakan cadangan devisa. Tapi, seperti yang sudah saya katakan tadi, Bank Indonesia sudah menggunakan instrumen ini untuk operasi pasar, tapi toh cadangan devisa tetap US$ 59 miliar.
Yang kemarin-kemarin menggunakan cadangan devisa untuk operasi pasar sampai berapa?
Angkanya saya belum tahu. Tapi cadangan devisa tidak turun juga.
Dilihat dari sisi perbankan, sejauh mana bank akan terkena dampaknya?
Sejauh yang kami pantau sampai sekarang, bank-bank masih aman. Rasio kecukupan modal dan non-performing loan masih baik. Melihat itu, saya cukup tenang. Memang nanti kalau terjadi hal-hal yang tidak diperkirakan, seperti gejolak di luar yang lebih besar daripada yang kita bayangkan, lalu suku bunga Bank Indonesia harus naik sangat tinggi, saya kira beban pada bank akan besar. Tapi saya tidak mengharapkan itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyoroti masalah gratifikasi, perjalanan dinas, pengadaan barang, dan bantuan hukum yang diberikan Bank Indonesia. Komisi itu dan Bank Indonesia juga sedang mengkaji aturan soal ini. Bisa dijelaskan?
Saya kan baru, saya belum melihat secara detail. Intinya begini, saya terbuka dan setuju. Saya kira ini soal kepatutan, tidak hanya soal aturan. Kita akan membandingkan masalah kepatutan itu dengan instansi dan bank sentral yang lain. Bank Indonesia dan saya ingin membuka diri untuk perbaikan tata kerja aturan internal yang patut, termasuk perjalanan dinas. Yang difokuskan (oleh Komisi Pemberantasan Korupsi) kan masalah perjalanan dinas dengan istri. Ini akan dilihat. Kalau bisa, akan dibuat yang patut. Tapi kadang-kadang ndak bisa juga, ya, misalnya ada acara bilateral. Kadang-kadang undangannya memang harus dengan nyonya. Ya, nanti dilihat kepatutannya sajalah. Biayanya juga harus dilihat, jangan sampai berlebihan. Jangan sampai nanti bank sentral dianggap tidak patut.
Bagaimana dengan masalah bantuan hukum?
Itu memang dari dulu ada aturannya, memang diperlukan. Kalau ndak, orang tidak mau mengambil keputusan. Tapi dalam batas-batas mana dianggap dalam tugas, mana yang tidak, memang harus jelas. Saya belum tahu detailnya. Saya mohon maaf, tapi kami sedang dalam proses membahas dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Apakah anggarannya akan diperketat?
Ya, pokoknya harus diperjelas, aturannya harus transparan, ke mana, untuk apa. Masalahnya kan waktu itu mungkin kurang transparan. Nah, sekarang akan dibikin transparan, yang patut mana. Tapi umum, kok, bank sentral di negara lain juga begitu.
Soal gratifikasi (pemberian hadiah) yang juga disorot Komisi Pemberantasan Korupsi?
Gratifikasi? Kalau tidak boleh, ya, tidak usah diberi. Hubungan kerja bisa baik tanpa gitu-gitu. Dulu memang ada suatu praktek, tapi kalau Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri sudah mengatakan jangan, ya, masa Bank Indonesia mau melakukan itu lagi. Ya, kami kerjakan saja sesuai dengan aturan. Saya optimistis kok semua mengerti, karena aturannya benar dan kita tidak main belakang.
BOEDIONO
Tempat dan tanggal lahir:
- Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943
Pendidikan:
- Bachelor of Economics University of Western Australia, 1967
- Master of Economics Monash University, Melbourne, Australia, 1972
- Doktor Ekonomi Bisnis Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat, 1979
Karier:
- Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu 2005-2008
- Menteri Keuangan Kabinet Gotong-royong 2001-2004
- Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999
- Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo