Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
Andaikanlah ini sebuah cerita pendek. Dadang Suradang dan Paimo Wijokongko berdebat tentang suara kokok ayam jantan. ”Kongkorongok,” kata Dadang. ”Bukan, itu kukuruyuk,” kata Paimo. Mereka berdebat dengan amat sengitnya, sampai terdengar la-gi kokok ayam jantan tersebut.
”Nah, coba dengar, kongkorongok kan?”
”Lho, lha wong jelas kukuruyuk begitu kok!”
Perdebatan ternyata bertambah sengit, karena justru setelah mendengarnya sendiri, keduanya semakin percaya bahwa tiruan suara mereka masing-masing adalah yang paling benar. Setiap kali ayam jantan itu berkokok lagi, semakin yakin mereka bahwa kukuruyuk lebih benar daripada kongkorongok, dan sebaliknya kongkorongok lebih benar daripada kukuruyuk. Padahal suara kokok ayam jantannya adalah suara yang itu-itu juga!
Sebagai cerita pendek, saya akan membuat Dadang dan Paimo saling membunuh, sekadar untuk menegaskan ironi perbedaan bahasa atas ”kebenaran” yang sama.
Memang ironis, apalagi dalam kasus onomatope yang sepertinya ”tinggal menirukan” saja suara kokok ayam jantan. Kukuruyuk dan kongkorongok, keduanya memang merupakan fenomena onomatope, yakni keberadaan suatu ”kata” berdasarkan kemiripan bunyinya. Bahkan kata kokok dalam hal ini merupakan bentuk peniruan juga.
Namun, karena ini bukan cerita pendek, melainkan kolom tentang bahasa, yang sepantasnyalah melakukan ”sedikit ulasan”, saya akan memunculkan tokoh Pak RT. Beliau datang memisahkan Dadang dan Paimo yang masing-masing sudah menggulung sarung dan memegang pisau untuk mempertahankan keyakinan mereka.
”Eee, pagi-pagi kok sudah berkelahi, apa masalahnya?”
Dadang menyatakan bahwa kokok ayam jantan itu kongkorongok dan Paimo menyanggah dengan bandingan bahwa kokok itu adalah kukuruyuk. Pak RT tentu saja tertawa terbahak-bahak dan berusaha menerangkan sejelas-jelasnya.
”Begini lho, Dang, Mo, memang benar De Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang setiap katanya bersifat sembarang (arbitrer), yakni tiada hubungan antara kata dan sesuatu yang digantikannya, seperti kata gajah tidak ada belalainya—tetapi untuk itu ia harus memisahkan kata-kata tertentu sebagai perkecualian, yakni kata-kata yang istilah teknisnya bermotivasi: bahwa ada kata-kata yang termiripkan dengan yang digantikannya, karena memang merupakan evolusi fonetik dari suatu peniruan.
”Bagi Saussure, perkecualian itu adalah suatu peracunan terhadap kemurnian konsep kesembarangan, dan karena itu kepadanya mesti dilakukan eksklusi, dikeluarin dari konsep kesembarangan yang betapapun merupakan sistem linguistik tersebut. Bahkan Saussure menyebutnya kecelakaan yang tidak akan merusak hakikat kebahasaan. Nah, barangkali Derrida lantas rada sebel dengan pengertian ’hakikat’ ini, dan membongkar konsep Saussure berdasarkan pendapat Saussure sendiri, bahwa kata sebagai tanda yang termotivasi tidak pernah hanya merupakan peniruan (mimetik), melainkan seba-gian karena kebiasaan (konvensional).”
”Sistem juga dong kalau begitu,” secara bersamaan Dadang dan Paimo menyela.
”Itu dia! Jadi, menurut Encik Derrida, alih-alih terhadap motivasi yang berkemungkinan jadi remotivasi oleh Saussure dilakukan eksklusi sebagai kecelakaan, dikatakannya itu tidak terpisahkan, bahkan bagian dari sistem bahasa. Jadi mimetik atau peniruan dalam proses onomatope adalah juga suatu sistem dalam evolusi fonetik, dan kesembarangan tanda-tanda dengan yang digantikannya justru mungkin hanya bagian dari sistem diskursif yang lebih besar.”
Dadang dan Paimo manggut-manggut. Pak RT menukas.
”Apaan manggut-manggut?”
”Suara ayam berkokok saya katakan sebagai kongkorongok, karena usaha meniru di daerah Pasundan, daerah asal saya, merupakan usaha peniruan dalam wacana bahasa Sunda,” kata Dadang.
”Sedangkan suara ayam berkokok saya sebut kukuruyuk, karena onomatope kokok ayam jantan yang saya kenal berlangsung di Jawa Tengah, sebagai bentuk mimetik dalam wacana bahasa Jawa,” ujar Paimo.
Pak RT tersenyum.
”Nah, itu bisa mengerti sekarang? Begitu aje udah mau baku bunuh!”
”Heran, kokok ayamnya sama, peniruannya bisa lain ya?”
”Iya, bahkan kami mendengar kokok yang sama bersama-sama, tetap saja aye bilang kongkorongok dan si doi bilang kukuruyuk.”
Pak RT tersenyum lagi, tapi lantas menjadi lebih serius.
”Masih untung keyakinan kalian masing-masing bisa diperiksa secara damai pada suara kokok ayam yang sama, artinya karena kata atau tanda menggantikan yang konkret. Ada suaranya. Bagaimana kalau menggantikan yang abstrak?”
”Misalnya?” Lagi-lagi Dadang dan Paimo menyahut berbarengan.
”Bagaimana kalau kebenaran?”
Pikiran keduanya terbuka: Alangkah konyolnya baku bunuh karena perbedaan bahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo