Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mulai menggulirkan program pemulihan korban pelanggaran HAM berat. Isi program dikritik lantaran dipenuhi program-program reguler di kementerian dan lembaga.
Bantuan yang disiapkan untuk korban pelanggaran HAM berat dinilai tak ubahnya program untuk keluarga miskin. Pemulihan tak menyeluduh diduga karena pemerintah mengejar acara seremonial peluncuran program di Aceh hari ini.
Dua pertanyaan besar masih belum terang dalam program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat ini: jumlah korban dan kesiapan anggaran. Rencana bantuan juga masih diliputi seabrek persoalan.
JAKARTA – Pemerintah menyiapkan beragam program bantuan sebagai bagian dari pemulihan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Namun program-program itu menuai kritik para pegiat HAM dan pendamping korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Azharul Husna, menilai program bantuan yang diklaim sebagai upaya pemulihan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu itu hanya mencakup dimensi fisik. “Sedangkan dimensi non-fisik, seperti pengungkapan kebenaran untuk pemulihan psikologis korban dan keluarga korban, tidak dipenuhi,” kata Husna kepada Tempo, Senin, 26 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari ini, Presiden Joko Widodo dijadwalkan membuka acara peluncuran penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat. Digelar di Rumoh Geudong, salah satu lokasi perisiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di Kabupaten Pidie, Aceh, hajatan ini menjadi wujud kerja Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Tim ini dibentuk Joko Widodo pada 15 Maret lalu untuk melaksanakan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (TPPHAM). Rekomendasi yang dimaksudkan terutama ihwal pemulihan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana. Itu sebabnya, tim yang diisi perwakilan 19 kementerian dan lembaga beserta sejumlah tokoh masyarakat ini belakangan juga dikenal sebagai Tim Pemulihan Korban Pelanggaran HAM (PKPHAM).
Merujuk pada dokumen rapat tim pada 16 Mei lalu, sejumlah program pemulihan korban pelanggaran HAM telah disiapkan oleh 14 kementerian dan lembaga. Kementerian Sosial, misalnya, akan menggulirkan Program Keluarga Harapan (PKH) khusus bagi korban dan keluarga korban. Kementerian Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, juga menyiapkan bantuan ternak sapi atau kerbau, juga bibit dan alat pertanian.
Rumoh Geudong di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, 23 Juni 2023. ANTARA/Mira Ulfa
Program lain lagi disiapkan Kementerian Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, misalnya, menyusun program jaminan kesehatan premium khusus, beasiswa di politeknik kesehatan, dan rekomendasi kerja di rumah sakit umum daerah. Sedangkan Kementerian Koperasi akan menggulirkan program pendampingan usaha, membuka layanan akses pinjam modal ke Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), serta pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) dengan agunan rendah.
Husna menilai program-program itu tak mencerminkan upaya pemulihan korban pelanggaran HAM berat. “Skema pemulihannya hanya seperti program bantuan sosial,” kata dia. Beberapa bantuan tersebut memang tak ubahnya program reguler di setiap kementerian dan lembaga. Bedanya, pada PKH dibubuhkan frasa “khusus” yang dijanjikan berupa nominal lebih tinggi dari yang selama ini diberikan kepada keluarga miskin.
Kejar Tayang Peluncuran Program
Husna menduga munculnya bentuk bantuan yang seolah-olah sekadar mencomot program reguler pemerintah itu disebabkan oleh penyiapan skema pemulihan yang asal-asalan. Dia mencontohkan persiapan program pemulihan terhadap korban tiga kasus pelanggaran HAM di Aceh, yakni peristiwa Rumoh Geudong 1998, Simpang KKA 1999, dan peristiwa Jambo Keupok 2003.
Pada medio Mei lalu, Husna menceritakan, utusan Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat datang ke Aceh untuk bertemu dengan beberapa sampel korban. Dalam kesempatan itu, pendataan dan verifikasi calon penerima bantuan dilakukan. Namun diduga, karena tidak terkoordinasi dengan baik, masing-masing kementerian dan lembaga hanya menanyakan keinginan korban yang bersifat material. Walhasil, muncullah data keinginan korban untuk mendapatkan modal usaha, jaminan kesehatan, serta renovasi rumah. "Korban menyebutkan apa yang saat itu terlintas, bukan merujuk pada konsep pemulihan itu sendiri," kata Husna.
Baca laporan Tempo tentang topik ini: |
Konsep pemulihan yang hanya berfokus pada rehabilitasi sosial dan ekonomi semacam ini boleh saja dijalankan. Namun, menurut Husna, pemulihan korban pelanggaran HAM semestinya dilakukan menyeluruh dalam upaya mengembalikan martabat korban pada situasi semula sebelum terjadinya pelanggaran.
Manajer Program Indonesia Asia Justice and Rights (Ajar), Mulki Makmun, mengatakan pemulihan korban pelanggaran HAM berat seharusnya dilandaskan pada pemenuhan hak atas penderitaan yang dialami. Pemenuhan hak korban, kata dia, sejatinya bukan dalam bentuk bantuan. "Pemberian bantuan sosial dan bantuan lainnya justru menunjukkan pemerintah memperlakukan korban pelanggaran HAM sama dengan kelompok masyarakat lain," kata Mulki kepada Tempo, kemarin.
Menurut Mulki, supaya pemulihan korban bisa terpenuhi secara menyeluruh, negara semestinya mencari fakta dan mengungkap kebenaran atas pelanggaran HAM. Tindakan ini bisa dilakukan dengan membentuk tim pencari fakta atau komisi kebenaran. Dari situ, negara bisa menjalankan rekomendasi untuk mereparasi korban. "Di antaranya bisa memberikan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, permintaan maaf secara publik, dan menjamin kepuasan korban," kata Mulki.
Paket Bantuan Korban Pelanggaran HAM
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, dari awal sudah ragu akan komitmen pemerintah. Seremoni kick-off yang digelar hari ini menunjukkan bahwa mekanisme pemulihan yang disiapkan pemerintah sejak awal menggunakan skema teknokratik. Skema itu pulalah yang akhirnya melahirkan bentuk pemulihan sekadar berupa pemberian bantuan kepada korban oleh beragam program kementerian dan lembaga. “Skema semacam ini bukan pemulihan hak korban yang sebenarnya,” kata dia.
Sependapat dengan Mulki, Wahyudi mengatakan pemulihan hak korban pelanggaran korban seharusnya dilakukan menyeluruh dengan mengacu pada prinsip restitutio in integrum atau pemulihan ke kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran. Pemulihan tidak sebatas pemenuhan sosial dan ekonomi, tapi juga memberikan jaminan kepuasan bagi korban dengan memulihkan reputasi mereka.
Wakil Ketua Tim Pelaksana pada TPPHAM, Ifdhal Kasim, mengatakan timnya memang merekomendasikan penyelesaian pemulihan berdasarkan keinginan korban pelanggaran HAM berat. Semua keinginan itu ditampung dan telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada Desember 2022. Jokowi lantas memerintahkan kementerian dan lembaga untuk segera memberikan bantuan pemulihan kepada korban guna menindaklanjuti rekomendasi TPPHAM.
"Sedangkan kami (sekarang) ditugasi memantau pelaksanaan rekomendasi itu sampai Desember 2023," kata Ifdhal yang kini menjadi anggota tim pelaksana pada Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Belum Terang Sehabis Kick-Off
Selain bentuk program pemulihan yang dinilai sekadar mencomot program bantuan kementerin dan lembaga, ada dua pertanyaan besar di benak para pendamping korban. Pertama, berapa banyak korban dan keluarga korban yang akan mendapat bantuan setelah program pemulihan diluncurkan? Kedua, apakah pemerintah sanggup memenuhinya dari sisi anggaran?
Dua pertanyaan tersebut mencuat lantaran jumlah korban 12 kasus pelanggaran HAM berat sangat banyak. Korban pelanggaran HAM di Aceh yang disodorkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh kepada TPPHAM pada Januari lalu, misalnya, sudah mencapai 5.193 orang. KKR Aceh tak mengklasifikasikan peristiwa pelanggaran HAM yang dialami para korban. Yang jelas, di dalamnya termasuk korban peristiwa Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok.
Menurut Ifdhal, data korban saat ini belum final. Setelah kick-off nanti, kata dia, tim pemantau akan kembali melakukan pendataan dibantu pendamping korban dan aktivis HAM. "Jadi, data ini akan terus diperbarui," kata Ifdhal.
Adapun Wakil Ketua Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Makarim Wibisono, juga tak bisa merinci total anggaran yang disiapkan pemerintah untuk program pemulihan korban ini. Dia hanya menyatakan anggaran pemberian bantuan pemulihan menempel pada program di masing-masing kementerian dan lembaga.
Keluarga korban peristiwa Simpang KKA mengenang 24 tahun tragedi berdarah itu di Tugu Keadilan Dewantara, Aceh Utara, Aceh, 3 Mei 2023. ANTARA/Rahmad
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, juga menyatakan masih mencari data anggaran yang akan disiapkan. Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan Kementerian Sosial, Herman Koswara, menjawab senada ketika ditanyai hal yang sama.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, juga tak bisa menyebutkan angka pasti. Dia berdalih Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan menyampaikan jumlah anggaran itu dalam acara kick-off hari ini.
Adapun juru bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Endra S. Atmawidjaja, tidak merespons panggilan dan pesan berisi pertanyaan yang dilayangkan Tempo. Dalam program pemulihan korban pelanggaran HAM di Aceh, Kementerian PUPR akan memberikan bantuan berupa pembangunan memorial living park, yang di dalamnya terdapat masjid. Kementerian juga akan menyiapkan program pembuatan irigasi, pembangunan jembatan dan jalan, serta renovasi rumah korban.
Yang sudah pasti, dokumen Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat menunjukkan, setiap program bantuan yang disiapkan setiap kementerian dan lembaga tadi tak luput dari permasalahan dan kendala. Program yang akan dijalankan Kementerian PUPR, misalnya, pelaksanaannya akan terhambat masalah status lahan, status kepemilikan rumah, kriteria penerima bantuan, serta proses desain dan lelang yang membutuhkan waktu. Persoalan lain yang ditemukan hampir di seluruh program bantuan adalah data administrasi kependudukan para korban. Masih banyak pekerjaan rumah tim pemantau selepas acara seremonial Jokowi di Pidie hari ini.
HENDRIK YAPUTRA | IMAM HAMDI | ANT | AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo