Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Timur yang Gaib dan Sakral

Karya seorang pelukis Italia yang jatuh cinta pada Indonesia. Ada 36 kanvas dipamerkan dengan tema mitos dan legenda yang hidup di negeri ini.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua tahun silam, warna merah pekat mampir dalam kehidupan Agostinos De Romanis. Sejauh ini, ia memang banyak menggunakan warna terang, cerah, lembut. Tapi sejak bom Bali 12 Oktober 2002, pelukis itu dekat dengan warna-warna alam yang lebih tegas.

Ya, perubahan yang bisa dilihat dalam karya Frame Occulte Della Terra (Pola Gaib di Atas Bumi). Karya itu memperlihatkan seekor burung hitam terbang melayang dengan posisi menyerang. Ia seolah mengintai celah biru yang meninggalkan kesan mendua—seolah merobek tabir merah atau justru mulai tenggelam. "Itu burung kematian yang merefleksikan tragedi bom Bali," ujar Romanis, pelukis Italia yang tengah mengadakan pameran tunggal bertema Rediscovering Indonesia di Gedung Arsip Nasional, 22 November hingga 7 Desember.

Warna-warna alam, warna yang lebih mendekati obyeknya: Indonesia, tanah yang sudah dikunjunginya sejak 1979. Warna-warna yang memantulkan pandangan barunya yang lebih spiritual terhadap dunia ini.

Hasilnya, 36 lukisan yang dipamerkan memperlihatkan figur-figur gaib yang memang mengungkapkan dua tema pilihannya: mitos dan legenda. Dua hal yang merupakan sumber spiritual utama. "Ketika seniman Barat ingin mencari sesuatu yang kontemplatif, ia harus mencarinya di dunia Timur," ujar pelukis yang lahir di Velletri, Italia, pada 14 Juni 1947 ini.

Melihat karya Romanis, kesan sakral memang terasa. Ia banyak menggambarkan figur maya yang menyerupai patung di candi, pura, kuil dan tempat peribadatan di Indonesia. Ia kerap menumpuk sosok manusia itu dalam tabir warna yang bertekstur atau dengan lanskap alam klasik Indonesia—sawah, gunung, jajaran pohon kelapa, hingga sungai. Penempatan ini memunculkan kesan mimpi—surealisme magis.

Lihatlah, misalnya, dua karya yang berhubungan, Dalle risaie elevato al cielo (Dari sawah naik ke surga) dan Sulle risaie discesa dal cielo (Dari surga turun ke sawah). Dengan goresan tebal, Romanis menggambar lapisan warna hijau bertingkat yang diakhiri dengan warna merah bata, yang jika dilihat dari jauh membentuk kontur wajah manusia menghadap ke atas (pada karya pertama). Sedangkan pada lukisan kedua—dengan tingkat kesakralan yang lebih "rendah"—Romanis menggambar figur perempuan berbaju oranye melangkah di antara lapisan warna hijau kekuningan.

Tak bisa dimungkiri, penggambaran mistis tentang Indonesia yang ada pada karya-karyanya sangat dipengaruhi cara pandang eksotis dunia Barat terhadap Indonesia. Ia tertarik dengan ritual, legenda, dongeng, dan kesan-kesan mistis. Wilayah ini memang sangat menarik bagi masyarakat Barat. Mereka memandangnya sebagai bagian spiritual—dunia illogic yang eksotis. Dan karya rupa Romanis mewakili cara pandang ini. Kesan tersebut diperkuat dengan pemilihan alam yang dimunculkannya: alam pedesaan yang serba hijau dan asri—seperti obyek lukisan zaman Mooi Indie.

Namun di luar pengaruh cara melihat Indonesia dari kacamata Barat, sebenarnya Romanis memang sosok yang cukup religius. Lahir dari keluarga pedagang, Romanis tertarik dengan realisme karena dinilainya sebagai bidang yang mencerminkan masalah sosial. Ia pernah menciptakan seri sepuluh lukisan tentang kelahiran pada 1979 dan seri fabulae (dongeng) pada 1988-1991 yang penuh misteri dan fantasi. Tak mengherankan bila karyanya disukai kritikus seni sakral dari Italia, Ennio Francia.

Religiositas karyanya mengantarkan Romanis berpameran di Gereja Katedral St. Mary di Sydney atas dukungan Vatikan. Secara khusus, Romanis juga pernah memamerkan 22 karyanya sebagai penghargaan bagi Paus Yohanes Paulus II di Abbazia Cistercense di Casamari dan Museum Diocesiano di Velletri.

Latar belakang inilah yang membuatnya lebih tertarik mengolah sesuatu yang religius. Tak aneh jika ia menyebut karyanya sebagai neosurealisme onirico—suatu realisme yang mencoba mendekati "langit" atau surgawi. Wajar jika ia lebih tertarik menggambarkan bagian yang sakral dari Indonesia. Apalagi ia tak lama berada di Indonesia. Hanya delapan kali dengan 2 hingga 3 bulan setiap kali tinggal. Lumrah kalau Romanis lebih memilih obyek yang sesuai dengan seleranya. Apalagi ia biasa menyelesaikan lukisannya setelah tiba di Italia.

Hasilnya memang suatu wajah Indonesia yang sudah dipoles dengan sentuhan yang berbeda. Kita melihat polesan itu berupa sosok-sosok magis yang digores Romanis dengan garis yang berkelok-kelok. Dalam setiap obyek, ia mengisinya dengan warna yang telah bertekstur. Dengan pengamatan yang lebih dekat, kita akan melihat semacam motif seperti kertas yang diremas-remas. Lulusan desain panggung akademi seni rupa di Roma ini menghasilkannya dengan cara mencampur beberapa jenis cat dalam kuasnya.

Tekstur ini tak digunakannya untuk semua figur. Romanis terlihat penuh perhitungan dalam menempatkannya. Ia menggunakan tekstur ini jika ingin menonjolkan figur. Seperti yang terlihat dalam The Ancient Love yang diangkatnya dari legenda cinta seorang perempuan dan seorang kesatria berkuda. Dengan tekstur itu, kedua figur perempuan dan kesatria itu sangat terkesan masa lalu dan menyerupai patung. Seolah menggambarkan keabadian legenda tersebut. Berbeda dengan Elevation yang tidak menggunakan tekstur tersebut karena ia lebih mementingkan suasana pembakaran kurban berupa kambing.

Penempatan tekstur sesuai dengan kepentingannya ini memperlihatkan bagaimana Agostinos De Romanis ini seorang pelukis yang sangat memperhatikan sisi estetik. Hal ini sangat terasa dengan caranya menempatkan warna. Semua lukisannya terlihat rapi. Dari dekat terlihat bagaimana warna itu digoreskan dalam ruang-ruang yang sudah dibuatnya dalam sketsa. Hal ini memang menjadikan karyanya terkesan kelewat agung, tidak kontemporer dan kurang nakal. Namun tetap menyenangkan untuk dinikmati, apalagi jika kita ingin melihat wajah Indonesia yang gaib, mistis, dan sakral.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus