Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Tua Penggerutu
Kembali ke Indonesia, Douwes Dekker diangkat jadi menteri negara. Penasihat penting Sukarno.
DI ujung Jalan Malioboro, persis di selatan Istana Negara Yogyakarta. Sebuah bangunan tua putih bersih megah berdiri. Warna emas tampak di beberapa bagian di dekat pintu. Tiga tahun lagi bangunan itu genap berusia seratus tahun: Gedung Seni Sono. Ketika ibu kota Republik pindah ke Yogyakarta, rumah itu dipakai sebagai kantor Kementerian Penerangan.
Sebelum 1995, gedung itu tak masuk kompleks Istana. Menurut kritikus dan kurator seni Yogyakarta, Kuss Indarto, ketika itu sejumlah seniman dan mahasiswa memprotes penyatuan itu. "Di era 1970, gedung itu jadi tempat melahirkan bibit seni rupa baru," katanya. Karena gedung itu disatukan oleh pagar Istana, kini tak semua orang bisa masuk Seni Sono.
Di Seni Sono, dulu, menteri negara sekaligus pengurus perpustakaan negara, Douwes Dekker, sehari-hari bekerja. Setelah menyusup dari Belanda ke Indonesia menumpang kapal M.S. Weltevreden, Douwes Dekker menuju Yogyakarta. Tiba di Yogyakarta pada awal 1947, ia mengunjungi Presiden Sukarno di Istana Negara. Sejumlah kawan lamanya menyambut hangat. Selain Sukarno, ada Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, Dr Radjiman Wedyodiningrat, dan Arudji Kartawinata.
Sejarah mencatat, sebuah adegan terjadi. Sukarno mengucap selamat datang, merangkul Douwes Dekker dan memanggilnya Nest—kependekan Ernest, nama depan Dekker. Kedua orang ini berkawan sejak di Bandung, ketika Douwes Dekker memimpin Institut Ksatrian.
Sukarno lalu mengangkat Douwes Dekker sebagai menteri negara pada 1 Mei 1947, duduk dalam kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sjahrir. Douwes Dekker masuk Kabinet Sjahrir III. Republik yang kala itu masih muda berganti formasi kabinet dalam waktu singkat. Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Djoko Suryo, mengatakan Douwes Dekker jadi menteri negara tanpa portofolio alias menteri negara untuk banyak urusan. "Banyak detail sarannya buat Bung Karno tak terekspos," kata Djoko.
Sukarno juga mengangkat Douwes Dekker sebagai penasihat pribadi. Ketika itu, situasi Indonesia sedang kacau akibat Belanda melancarkan agresi. Ketika delegasi Belanda dari Batavia mengunjungi Yogyakarta, Douwes Dekker ikut hadir dalam pembahasan usaha untuk mempersiapkan perundingan antara Belanda dan Republik.
Frans Glissenaar, dalam buku Het Leven van E.F.E. Douwes Dekker, mencatat delegasi Belanda dipimpin Dr P.J.A. Idenburg, anak mantan gubernur jenderal yang membuang Douwes Dekker pada 1913. Dalam laporannya, Idenburg menulis bahwa kunjungan itu disambut oleh Sukarno, Hatta, dan Douwes Dekker sendiri.
Idenburg menulis Douwes Dekker mempunyai pengaruh besar terhadap Sukarno. Douwes Dekker, yang saat itu 67 tahun, kata Idenburg, adalah revolusioner vital. Ia penasihat penting Sukarno. "Douwes Dekker menyatakan diri sebagai orang Jawa yang anti-Belanda," tulis Idenburg, seperti dikutip Frans Glissenaar.
DALAM periode agresi militer Belanda, Sukarno memberi kesibukan lain kepada Douwes Dekker di luar jabatannya sebagai menteri negara: Kepala Bagian Historiografi pada Bagian Dokumentasi Kementerian Penerangan.
Frans Glissenaar berkisah, suatu hari Sukarno memanggil Roeslan Abdoelgani, Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, agar datang ke Istana. Roeslan diperkenalkan kepada Douwes Dekker. Sukarno mengatakan akan memasukkan Douwes Dekker sebagai staf kementerian tempat Roeslan bekerja. Roeslan bertanya, "Apa yang akan saya lakukan dengan orang tua ini?" "Ia mencintai buku, jadi biarkan dia mengatur perpustakaan," kata Sukarno singkat.
Douwes Dekker, demikian Roeslan mencatat, datang tiap hari dari rumahnya di Kotabaru, Yogyakarta. Ketika itu, Douwes Dekker sering berpindah tempat tinggal dari Kaliurang ke Kotabaru atau sebaliknya. Karena itulah, kata Roeslan, Douwes Dekker sangat bergantung pada tumpangan orang lain. Sering pula dari rumahnya di kawasan Kotabaru, dia berjalan kaki kira-kira setengah jam ke perpustakaan.
Douwes Dekker adalah kepala perpustakaan yang tertib. Ia memang punya pengalaman mengelola buku ketika menjadi pengurus perpustakaan Institut Ksatrian.
Douwes Dekker, misalnya, memberi peringatan kepada peminjam buku: "Buku ini dalam keadaan baik. Jangan dilipat. Kalau rusak dikembalikan bayar f.0,30." Selain itu, semua peminjam buku harus meneken bukti peminjaman. Namun banyak anak muda ingin membawa buku tanpa registrasi. "Jika memergoki anak muda bawa buku diam-diam, maka ributlah Pak Tua itu," kata Roeslan.
Suatu saat, Roeslan mendapat keluhan dari seorang pemuda atas sikap Douwes Dekker yang pemarah. Roeslan berkata, " Ah, jangan ganggu si tua penggerutu itu!" Ungkapan "penggerutu tua" itu belakangan dipakai si pemuda ketika bertengkar dengan Douwes Dekker.
Lebih dari itu, Roeslan sebetulnya berusaha mengerti perihal seniornya tersebut: tentang perkembangan gagasan politik Dekker dan pengaruhnya terhadap Sukarno. "Satu hal yang saya pelajari dari Douwes Dekker adalah betapa penting mengorganisasi sesuatu," kata Roeslan.
Douwes Dekker pernah berkata kepada Roeslan bahwa Sukarno mempunyai banyak inspirasi tapi terlalu sedikit bakat untuk mengorganisasi sesuatu. "Sebuah organisasi memerlukan 2 persen inspirasi dan 98 persen keringat," kata Douwes Dekker kepada Roeslan, seperti dikutip dari buku Frans Glissenaar. Sedikit-banyak, Roeslan terpengaruh. Ketika bersilang pendapat dengan Sukarno, Roeslan pernah mengutip Dekker untuk mematahkan argumen Sukarno.
Douwes Dekker terlalu mencintai Indonesia. Suatu ketika ia menulis kembali propaganda tentang Jawa yang ia buat pada Oktober-November 1918. Dalam tulisan itu, Douwes Dekker menggunakan kata Indier dan Indie. Roeslan mencatat, naskah lama itu dicoret-coret dengan pena: kata Indier dan Indie digantinya dengan Indonesiers dan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo