Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daerah di sebelah timur Kali Code, Kota Yogyakarta, itu kawasan cagar budaya. Beberapa rumah peninggalÂan Belanda masih terjaga. Di "kompleks" inilah para pejabat era kolonial dulu menetap. Salah satu bangunan bersejarah yang masih terawat adalah Gereja Santo Antonius, atau lebih dikenal sebagai Gereja Kotabaru.
Persis di utara gereja ini, Ernest Douwes Dekker pernah tinggal. "Tepatnya di Jalan Telomoyo," kata Nyonya Imam, janda pakar hukum adat Profesor Imam Sudiyat (almarhum).
Perempuan 93 tahun ini adalah siswi angkatan pertama Sekolah Taman Siswa. Sebagai murid Ki Hadjar Dewantara—nama lain Soewardi SoerjaÂningrat—Nyonya Imam banyak mengetahui keseharian Ernest Douwes Dekker selama di Yogyakarta.
Ia berkisah, Padepokan Taman Siswa biasa menjadi tempat tujuan kedua Ernest Douwes Dekker, setelah Istana Presiden. "Saya tahu karena waktu itu tinggal di Wisma Rini." Wisma Rini merupakan asrama murid perempuan, berada di kompleks padepokan.
Douwes Dekker kembali ke Tanah Air pada Desember 1946, setelah diasingkan empat tahun di Suriname. Dari Pelabuhan Tanjung Priok, ia menumÂpang kereta menuju Yogyakarta. Ia langsung menuju Istana Negara menemui Sukarno. Di Istana, beberapa teman telah berkumpul, di antaranya Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Dr Radjiman, dan Arudji Kartawinata.
Adegan mengharukan terjadi. Sukarno merangkul erat dan berkata, "Selamat datang, Nest." Sukarno selalu memanggil pendiri Indische Partij ini dengan sebutan "Nest", dari nama depan Ernest. Keduanya berkawan sejak di Bandung, ketika Douwes Dekker memimpin Ksatrian Instituut.
Sambil guyon, Douwes Dekker menjawab, "Saya gembira bahwa pada hari tua saya dapat berada kembali di antara saudara-saudara untuk menawarkan jasa saya kepada Republik, kendati sebagai prajurit biasa. Sebab, saya adalah seorang penembak jitu," seperti ditulis Margono Djojohadikusumo dalam Dr. E.F.E. Douwes Dekker.
Di Yogyakarta, Douwes Dekker tinggal sementara di Grand Hotel Yogya (sekarang Hotel Inna Garuda). Sukarno mengangkatnya sebagai Menteri Negara dan Pejabat Sekretaris Politik, juga anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Pada 21 Juli 1947, agresi militer Belanda pertama menggempur Jawa dan Sumatera. Pada 1 Desember 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang dan memerintahkan gencatan senjata. Dalam pertemuan itu, Indonesia diwakili Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim.
PBB meminta Indonesia-Belanda berunding. Terbentuklah Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Porter Graham (Amerika Serikat), Richard C. Kirby (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia). Komisi memprakarsai perundingan di atas kapal Renville milik Angkatan Laut Amerika Serikat.
Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap dan Douwes Dekker. Sedangkan Kerajaan Belanda diwakili Kolonel KNIL Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Pada 17 Januari 1948, Perjanjian Renville diteken. Tapi kesepakatan gencatan senjata tak dipenuhi. Pada 18 Desember 1948, Belanda meluncurkan agresi kedua. Yogya diduduki. Sukarno, Hatta, dan Agus Salim, ditangkap.
Douwes Dekker bersama istri dan putranya sudah tinggal di Jalan Raya Kaliurang 45. Dari kediamannya, dia dan Harumi, sang istri, bisa merasakan guncangan saat Lapangan Maguwo dibom. Peristiwa itu terjadi pada 19 Desember 1948. Esoknya, pasukan Belanda tiba di Kaliurang.
Pada 21 Desember 1948, Douwes Dekker ditangkap militer Belanda di rumahnya. Akhirnya, ia haÂrus meninggalkan rumah di Jalan Kaliurang 45.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo