GERAKAN kebebasan wanita, atau tuntutan persamaan hak, bagi wanita Moskow ternyata tidak selalu perlu. Nadezhda Pavlovna, 48, malah tertawa ketika ditanya soal emansipasi. "Kami tidak memerlukannya di sini," katanya. "Kami sudah melewati tahap seperti itu. Emansipasi sudah menjadi bagian dari gaya hidup kami." Untuk mengetahui seluk-beluk kehidupan wanita Moskow, dua wanita Swedia - Carola Hansson dan Karin Liden - mewawancarai 13 orang. Ini merupakan wawancara tak resmi, di luar pengawasan pemerintah Rusia, sehingga kedua pewawancara itu perlu berjuang keras melawan bahaya dan menyusup ke sana-kemari. Maklum, rakyat Rusia bukan sasaran yang halal untuk interview. Hasil rekaman mereka sudah dijadikan buku, berjudul: Moscow Women, Thirteen Interviews. Petikannya, berupa penuturan dari dua di antara 13 perempuan itu, dimuat dalam majalah Sweden Now, November lalu. Nadezhda Pavlovna merupakan potret kehidupan wanita yang gemah-ripah. Ibu dua anak ini ketika ditemui untuk wawancara tengah mengikuti suatu kursus di Universitas Moskow. Ia, untuk sementara, tinggal di kompleks mahasiswa di Bukit Lenin. Sedang rumahnya yang tetap di Alma-Ata, Kazakhstan. "Karena halamannya terlalu luas, sebagian saya manfaatkan untuk bikin kolam renang," tutur Nadezhda mengenai rumahnya di sana. Tampangnya khas Rusia: wajah agak bundar, dengan hidung tak begitu mancung, dan sedikit tulang menonjol. Rambutnya yang pirang agak kemerahan ia sisir ke belakang dan ia ikat dalam simpul. Nadezhda bertubuh molek, gerakannya gesit, dan tampak selalu yakin - begitu mengesankan, sekaligus tampak keibuan. Cuma, pada awal wawancara, Nadezhda mencoba menahan diri untuk tidak berkata banyak. Maklum, anggota partai. "Tapi ia segera lebih santai ketika kami menghendakinya untuk menceritakan segala ihwal kehidupannya," kata Carola Hansson. "Bahkan menjadi lebih hidup, dan sering pula membuat kami terbahak-bahak." Di Alma-Ata, Nadezhda mengajar pada sebuah college calon guru, semacam IKIP. "Saya tak pernah melakukan pekerjaan lain," tuturnya. "Sebab, begitu selesai sekolah dulu, saya langsung mendapat tugas di sekolah guru itu. Lalu saya menggarap disertasi untuk gelar doktor, dan setelah rampung kembali lagi mengajar pada lembaga yang sama. Saya memberikan beberapa mata pelajaran." Kehidupan sehari-harinya bervariasi. Pagi hari mengajar empat jam. Sampai di rumah sekitar pukul satu atau dua siang, karena begitu dari kelas ia menyempatkan diri berbelanja. Sendirian ia makan siang di rumah, lalu membaca dan menyiapkan bahan kursus. "Sekitar pukul enam, seluruh keluarga berkumpul. Kami makan malam bersama, lalu membagi tugas membereskan rumah dengan suami saya, yang sebenarnya masih capai karena baru pulang kerja. Lalu waktu santai." Mereka menghabiskan waktu satu atau dua jam di taman, setiap hari. Atau sekali-sekali berenang bersama kedua anak mereka. "Musim semi ini saya akan menanam bunga mawar kembali, tapi sebelumnya akan saya urus dulu strawberi," tutur Nadezhda. Suaminya ahli geofisika. Ia berlangganan pelbagai jurnal teknik. "Sering, menjelang tidur tengah malam, ia menemukan sesuatu yang bisa dimanfaatkan." Memang, "kami biasa tidur lewat tengah malam. Masing-masing sibuk membaca." Pada hari Sabtu atau Minggu, keluarga ini menikmati udara segar di pegunungan. "Kadang-kadang berkemah selama beberapa hari." Tentu bersama kedua anak mereka, plus anjing peliharaan. Meski Nadezhda seorang anggota Partai, untuk mencapai kenyamanan hidup seperti itu ternyata diperlukan perjuangan pahit juga. Pasangan ini menikah pada 1952. "Ketika itu saya sudah mulai bekerja, dan suami saya baru saja menyelesaikan sekolah." Mereka sepakat tidak segera melahirkan anak. "Sebab saya ingin mendapat gelar doktor, dan suami saya ditugasi di Kirghiz. Saya sekolah di Leningrad." Karena itu, kesempatan Nadezhda menemui suaminya hanya pada liburan musim panas. Padahal ketika itu pesawat terbang belum lancar benar. Sehingga ia harus menghitung waktu dengan baik supaya tidak luput dari jadwal sekolah. "Keadaan itu berlangsung selama empat tahun." Sampai-sampai sewaktu Irinka, anak pertama mereka, lahir, sang suami tak bisa menemani istrinya. Sebab, waktu itu "pekerjaannya di lapangan baru saja mulai - tentu tak bisa ditinggalkan. Saya baru bisa menemuinya di Kirghiz ketika Irinka berusia delapan bulan." "Tapi itu lebih merupakan masa sulit bagi suami saya daripada bagi saya sendiri. Saya tinggal di Leningrad, bersama banyak orang di apartemen mahasiswa - sedangkan dia . . . duh, jauh dari mana-mana, di tempat terpencil. Harus saya akui dia hebat: selama empat tahun itu saya tak sekalipun mendengar suara sumbang dari dia. Saya selalu dalam keadaan baik, katanya." Hanya sekali suaminya menjenguk Nadezhda. Kenapa tidak menyerah, melepaskan profesi lalu bergabung bersama suami? "Wah, itu tidak bisa terjadi atas diri saya." Kalau dipikir-pikir, waktu itu memang agak gila-gilaan. Tapi bagaimana lagi - tak ada hal lain yang bisa saya kerjakan. Kini keadaan sudah lain. Pasangan-pasangan muda tidak lagi dihadapkan pada situasi seperti saya dulu. Mereka bisa menikah, punya anak, dan tetap dengan tenang meneruskan belajar." Dulu tidak. Ia merasa menghadapi tekanan berat justru ketika kuliah pasca sarjananya selesai dan pergi ke tempat suaminya. "la bekerja di suatu dusun, dan saya diam di rumah selama enam bulan bersama bayi saya. Saya tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya dipaksa diam begitu selama enam bulan lagi. Pendidikan saya akan sia-sia, tentunya. Selama enam bulan itu pun saya hampir setiap hari menangis. "Sebuah kepastian mesti saya dapatkan untuk mengakhiri semua itu. Kami meninggalkan tempat itu. dan pada musim gugur saya mulai bekerja." Suatu hari, ketika menanyakan pekerjaan yang lebih cocok kepada seorang profesor kenalannya, ia malah mendapat tanggapan yang menyakitkan: "Suamimu geolog. Kenapa kamu mesti repot-repot cari kerjaan segala? Apa gajinya kurang cukup menaopang keluarga?" katanya. "Rasanya sakit sekali dibilang begitu," tutur Nadezhda. Maka, ketika pada kesempatan lain si profesor bilang begitu lagi, ia dengan ketus menimpalinya, "Istri Anda seorang profesor pula. Apa dia tidak mampu mencukupi kebutuhan Anda, kok Anda harus capai-capai bekerja?" Nadezhda memang sangat gandrung pada profesinya sekarang. "Sewaktu berusia 15 tahun, saya tak pernah berpikir untuk melahirkan anak, diam di rumah, dan memiliki seorang suami. Tidak. Saya merasa pemikiran seperti itu tak pantas untuk martabat wanita. Jauh sebelum menikah, saya sudah berkali-kali membicarakan masalah kedudukan wanita dengan bakal suami saya, melalui surat-menyurat." Kini, sebagai suami-istri, mereka memang hidup dalam persamaan hak menurut cita rasa Eropa. "Juga kewajiban," katanya. Lalu, dalam masyarakat, apakah wanita mendapat posisi yang sama dengan pria? "Oh, tentu saja dong," jawab Nadezhda yang anggota Partai itu. Di Partai sendiri Nadezhda pernah menduduki pelbagai jabatan. Misalnya, "beberapa tahun saya memimpin pendidikan sekolah Partai untuk para guru. Wanita kami sangat progresif. Lihat saja, misalnya, kalau dalam satu kantor ranting Partai ada empat wanita dan tiga laki-laki. Yang pegang komando pasti wanita." Nadezhda memang tak menceritakan, mengapa Soviet tak pernah punya seorang seperti Indira Gandhi, Thatcher, Ny. Bandaranaike, atau Ny. Kilpatrick sekalipun. Pada masa orangtua Nadezhda masuk usia remaja dulu, ketika Rusia di bawah Tsar, seorang wanita bukan dari keluarga bangsawan memang tak sekolah. "Ibu saya buta huruf," kata Nadezhda. "Kakak-kakak dan orangtuanya bilang, buat apa menyekolahkan anak gadis - toh bakal dapat jodoh juga. Nadezhda lahir di Ukrania, dan pada usia lima tahun keluarganya pindah ke Alma-Ata. Ayahnya keturunan Ukrania dan ibunya termasuk bangsa Rus. "Ayah dan Ibu menikah sebagai duda dan janda, masing-masing sudah membawa delapan dan tiga anak. Lalu lahir tiga anak lagi, termasuk saya. Kedua orangtua saya itu aneh. Mereka hidup rukun selama 25 tahun, sementara ayah tidak bisa berbahasa Rusia dan ibu satu kata Ukrania pun tak tahu. Ayah seorang buruh yang tak terlatih, dan buku yang ia baca hanya Injil. Lain tidak. Sekolahnya hanya sampai kelas dua." Dulu, waktu Nadezhda harus meninggalkan orangtua untuk bersekolah ke luar kota, rasanya berat sekali. "Tapi bagaimana lagi: saya harus mengabdi sebagai guru, lantaran tenaga pengajar sangat kurang." Toh kemudian ia berhasil, dan hidup nyaman, menurut ukuran Soviet. Demikianlah sisi ceria kehidupan wanita Rusia. Potret kehidupan yang lain diceritakan tokoh yang lain, yang bukan anggota Partai, Lida namanya. Lida seorang wanita Moskow berwajah pucat, tanpa make up, pendek, dan kelihatan kukuh. Ia tinggal di sudut kota yang bingar: pabrik-pabrik berjejalan, viaduk menyilang membentang, rel kereta tak pernah sepi, dan bis keluar masuk di garasi atau pool masing-masing. Apartemen di sini semuanya sudah berumur, dan kusam. Lida menempati salah sebuah di antaranya, hidup secara komunal. Kamarnya adalah seluruh rumahnya. Tempat tidurnya ada di pojok, dan di seberangnya terletak dipan untuk anaknya: penuh dengan mainan, koran, dan barang-barang rombengan lain. "Kami sulit mengatur tempat duduk," kata Karin Liden, salah seorang pewawancara. "Meja harus dirapikan dulu sebelum saya menaruh alat perekam." Rambut Lida dipotong pendek. Ia mengenakan sweater lusuh, celana cokelat dari woolkasar, dan sepatu lapangan. Penampilannya kumuh. "Saya sudah berusia 31 tahun kini," katanya. "Beberapa tahun lalu, saya mulai bekerja sebagai pelayan alias babu kamar. Kerja dari pukul sembilan sampai enam." Sebelumnya, kerja apa? "Saya ikut tim ekspedisi geologi, berkeliling ke seluruh pelosok. Selama musim panas bertugas di lapangan. Di musim dingin meringkuk di sebuah bilik kecil di medan penggalian. Ya, tentu saja tidak selamanya di kamar. Sebab, kami membuat peta-peta geologi dan melakukan banyak hal lain. "Saya bisa selalu ketemu orang yang baru dikenal, dan pergi ke tempat-tempat baru. Sebuah kehidupan yang menarik. Tentu capai. Tapi saya meninggalkannya bukan lantaran itu. Alasan saya berhenti adalah karena saya ingin punya anak." Dan Lida benar-benar hanya ingin punya anak. Bukan ingin menikah. Dan anak itu, bernama Danilo, sudah berusia dua setengah tahun kini. "Saya tidak pernah kawin. Saya hanya ingin melahirkannya, tanpa harus membentuk keluarga. Saya bukan tipe wanita yang gampang untuk suatu perkawinan." Ia sendiri, sebagai anak, tumbuh tidak di bawah naungan seorang ayah. Ibunya bekerja di pabrik kegiatannya melumasi onderdil-onderdil motor dengan bahan kimia dan oli. Pulang ke rumah sudah dalam keadaan k.o. Apalagi kakinya yang sebelah sudah tidak beres lagi. "Berat sekali dia," tutur Lida. Lida bersekolah selama sepuluh tahun. "Setelah itu, mandek di tengah jalan meskipun saya sudah setengah mati berusaha melanjutkannya. Habis saya bekerja, sehingga kurang cukup waktu untuk belajar. Wanita kami sangat progresif. Lihat saja, misalnya, kalau dalam satu kantor ranting Partai ada empat wanita dan tiga laki-laki. Yang pegang komando pasti wanita." Nadezhda memang tak menceritakan, mengapa Soviet tak pernah punya seorang seperti Indira Gandhi, Thatcher, Ny. Bandaranaike, atau Ny. Kilpatrick sekalipun. Pada masa orangtua Nadezhda masuk usia remaja dulu, ketika Rusia di bawah Tsar, seorang wanita bukan dari keluarga bangsawan memang tak sekolah. "Ibu saya buta huruf," kata Nadezhda. "Kakak-kakak dan orangtuanya bilang, buat apa menyekolahkan anak gadis - toh bakal dapat jodoh juga. Nadezhda lahir di Ukrania, dan pada usia lima tahun keluarganya pindah ke Alma-Ata. Ayahnya keturunan Ukrania dan ibunya termasuk bangsa Rus. "Ayah dan Ibu menikah sebagai duda dan janda, masing-masing sudah membawa delapan dan tiga anak. Lalu lahir tiga anak lagi, termasuk saya. Kedua orangtua saya itu aneh. Mereka hidup rukun selama 25 tahun, sementara ayah tidak bisa berbahasa Rusia dan ibu satu kata Ukrania pun tak tahu. Ayah seorang buruh yang tak terlatih, dan buku yang ia baca hanya Injil. Lain tidak. Sekolahnya hanya sampai kelas dua." Dulu, waktu Nadezhda harus meninggalkan orangtua untuk bersekolah ke luar kota, rasanya berat sekali. "Tapi bagaimana lagi: saya harus mengabdi sebagal guru, lantaran tenaga pengajar sangat kurang." Toh kemudian ia berhasil, dan hidup nyaman, menurut ukuran Soviet. Demikianlah sisi ceria kehidupan wanita Rusia. Potret kehidupan yang lain diceritakan tokoh yang lain, yang bukan anggota Partai, Lida namanya. Lida seorang wanita Moskow berwajah pucat, tanpa make up, pendek, dan kelihatan kukuh. Ia tinggal di sudut kota yang bingar: pabrik-pabrik berjejalan, viaduk menyilang membentang, rel kereta tak pernah sepi, dan bis keluar masuk di garasi atau pool masing-masing. Apartemen di sini semuanya sudah berumur, dan kusam. Lida menempati salah sebuah di antaranya, hidup secara komunal. Kamarnya adalah seluruh rumahnya. Tempat tidurnya ada di pojok, dan di seberangnya terletak dipan untuk anaknya: penuh dengan mainan, koran, dan barang-barang rombengan lain. "Kami sulit mengatur tempat duduk," kata Karin Liden, salah seorang pewawancara. "Meja harus dirapikan dulu sebelum saya menaruh alat perekam." Rambut Lida dipotong pendek. Ia mengenakan sweater lusuh, celana cokelat dari wool kasar, dan sepatu lapangan. Penampilannya kumuh. "Saya sudah berusia 31 tahun kini," katanya. "Beberapa tahun lalu, saya mulai bekerja sebagai pelayan alias babu kamar. Kerja dari pukul sembilan sampai enam." Sebelumnya, kerja apa? "Saya ikut tim ekspedisi geologi, berkeliling ke seluruh pelosok. Selama musim panas bertugas di lapangan. Di musim dingin meringkuk di sebuah bilik kecil di medan penggalian. Ya, tentu saja tidak selamanya di kamar. Sebab, kami membuat peta-peta geologi dan melakukan banyak hal lain. "Saya bisa selalu ketemu orang yang baru dikenal, dan pergi ke tempat-tempat baru. Sebuah kehidupan yang menarik. Tentu capai. Tapi saya meninggalkannya bukan lantaran itu. Alasan saya berhenti adalah karena saya ingin punya anak." Dan Lida benar-benar hanya ingin punya anak. Bukan ingin menikah. Dan anak itu, bernama Danilo, sudah berusia dua setengah tahun kini. "Saya tidak pernah kawin. Saya hanya ingin melahirkannya, tanpa harus membentuk keluarga. Saya bukan tipe wanita yang gampang untuk suatu perkawinan." Ia sendiri, sebagai anak, tumbuh tidak di bawah naungan seorang ayah. Ibunya bekerja di pabrik kegiatannya melumasi onderdil-onderdil motor dengan bahan kimia dan oli. Pulang ke rumah sudah dalam keadaan k.o. Apalagi kakinya yang sebelah sudah tidak beres lagi. "Berat sekali dia," tutur Lida. Lida bersekolah selama sepuluh tahun. "Setelah itu, mandek di tengah jalan meskipun saya sudah setengah mati berusaha melanjutkannya. Habis saya beketja, sehingga kurang cukup waktu untuk belajar. Pekerjaan saya di malam hari menyortir surat-surat." Kehidupannya, seperti diakuinya sendiri, "centang perenang. Saya sebetulnya tidak tahu apa yang sebe narnya saya ingini." Ia pernah ingin jadi pelaut, atau bekerja di kapal sebagai juru masak, atau lainnya "pokoknya, bisa berlayar seperti laki-laki." Ya, tentu saja tak terkabul. Kemudian mencoba menjadi ahli geologi, tapi tak diterima masuk sekolah untuk itu. Akhirnya, memasuki sekolah niaga untuk mempelajari mesin bubut. Setelah dua tahun mengikuti kursus di situ, ia bekerja. "Lingkungan kerja saya semua lelaki. Yah, apa boleh buat. Toh saya menyukai pekerjaan itu. Cuma, agak kikuk sebagai satu-satunya wanita. Dan meskipun saya mampu bekerja seperti seharusnya, kelompok kerja saya tetap kurang menyukai kehadiran saya." Itu di Moskow. Karena tidak betah, dan sempat pula mengalami kecelakaan, Lida akhirnya angkat kaki ke Siberia. Ya, Siberia. Bekerja dalam bidang konstruksi. Malah sempat pula menjadi asisten redaksi sebuah koran lokal di wilayah yang penuh tantangan itu. "Dan, akhirnya, saya mendapatkan impian saya: diajak ikut bergabung dalam tim ekspedisi geologi pada suatu musim panas." Tiga tahun bekerja dalam tim itu, Lida sempat bepergian ke berbagai tempat. "Teman-teman sekerja bilang, kalau pernah bekerja di lapangan seperti itu pasti kangen untuk kembali lagi. Dan saya memang kangen begitu lagi, terutama ketika musim semi tiba. Hutan belantara, dengan bau dedaunan dan tanah basah, duilah . . . memabukkan. Lalu sesekali ketemu beruang. Orang semuanya bekerja keras. Suasananya betul-betul menyenangkan." Tapi apa daya. "Saya sudah punya Donilo. Lagi pula, saya tak berani meninggalkan pekerjaan yang sekarang." Lida merasa, "laki-laki ternyata lebih banyak punya pilihan. Mereka bisa pergi ke mana pun dengan lebih gampang. Sebaliknya, ke sudut mana pun seorang perempuan pergi, pasti masih selalu ditanya: Apa kerjamu? Kenapa harus kerja keras seperti lelaki ? Toh bakal merawat anak? Pokoknya, selalu masih dipandang sebagai wanita." Itulah keadaannya. "Bahkan di Moskow, ya, sama saja." Karena ia harus seharian bekerja, Danilo, anak satu-satunya itu, ia serahkan pada tempat penitipan. Hanya Jumat malam sampai Minggu siang Danilo diambil pulang. Pada hari-hari itu, ibu Lida juga biasanya datang berkunjung. Bagaimana sikapnya mengenai masa depan? "Yah, saya sangat kurang memperhatikan masa depan. Rasanya tak pantas untuk bermimpi, kalau pada kenyataannya tidak ada gambaran sama sekali untuk mewujudkannya. Tak mungkin, memang, hidup tanpa impian. Misalnya, saya selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak saya. Banyak hal tak bisa saya berikan untuk dia, meski saya tetap mengusahakannya." "Sulit pula untuk mengungkapkan harapan. Lebih banyak terbukti, keinginan dan kenyataan selalu berbeda banyak. Misalnya, soal apartemen. Sudah lama saya mengimpikannya, tapi tak pernah terlaksana. Saya juga sebenarnya ingin punya pakaian yang bagus. Saya iri, Iho, sama wanita yang berdandan rapi. Tapi saya tak pernah mampu. Untuk sepatu saja, saya merasa berat: ini merupakan musim dingin ketiga kalinya saya mengenakan boot ini. Saya tak mungkin mengeluarkan 80 rubel untuk mendapatkan sepasang sepatu baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini