Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di sela-sela guncangan gempa

Penelitian/ramalan para ilmuwan tentang gempa bumi. (sel)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI cerita tentang Haicheng, sebuah kota industri berpenduduk 90.000. Ia terletak di Cina Utara, sebelah timur Beijing, dan sebelah utara Semenanjung Liaotung. Malam tanggal 4 Februari 1975, suhu di daerah itu cukup rendah dan mendekati titik beku. Meski begitu hampir tak seorang pun tinggal di dalam rumah yang hangat. Kebanyakan malah menahan cuaca dingin di berbagai tempat di alam terbuka, sambil menonton film-film yang sengaja diputar, seperti di musim panas saja. Padahal, itu bukan suatu tamasya. Yang sebenarnya terjadi adanya ramalan tentang akan tibanya sebuah gempa bumi yang besar di daerah itu. Dan gempa itu memang benar terjadi. Pada pukul 19:36 malam itu, tanah terangkat dengan getaran panjang. Dan ketika bencana usai, tiap sembilan di antara sepuluh rumah rusak berat atau hancur. Tapi, untungnya, kurang lebih 100.000 jiwa terselamatkan - di dalam dan di sekitar kota. Berkat adanya ramalan. Keberhasilan semacam itu konon diraih orang Cina beberapa kali di tahun-tahun kemudian, tapi sangat kurang penjelasan mengenai apa dan bagaimananya. Di Uni Soviet, 1978, para ahli berhasil meramalkan dengan tepat akar terjadinya gempa dahsyat di Pegunungan Pamir, hanya beberapa jam sebelum gempa benar-benar tiba. Tak pelak lagi, ikhtiar peramalan gempa yang ilmunya masih terbatas itu sangat menentukan bagi nasib jutaan manusia yang hidup di wilayah bumi yang rawan dengan guncangan. Jumlah energi yang dibebaskan sebuah gempa sangat luar biasa. Energ gempa bumi besar Good Friday d Alaska, 1964, sebanding dengar 12.000 kali energi bom atom Hiroshima. Sebagai bandingan, pada letus an dahsyat gunung api St. Helens tahun 1980, jumlah energinya hanya sebesar 500 bom atom Hiroshima. Kedua jenis kekuatan alam itu hanya bisa dikalahkan dahsyat angin topan, yang bisa membebaskan energi sebanding setengah juta ton bom atom dalam satu hari ketika masih di atas samudra. Toh di seluruh dunia, korban gempa bumi setiap tahun mencapai 10.000 hingga 100.000 orang, dengan kerugian harta seharga US$ 7 milyar. Jumlah korban memang bervariasi, tergantung pada lokasi gempa itu terjadi. Tahun 1976, misalnya, tercatat 700.000 orang mati - kebanyakan di Cina. Gempa bumi bisa meratakan kota, seperti terjadi di Lisabon tahun 1755, dan seketika membunuh 800.000 orang, seperti terjadi tahun 1556 di Provinsi Shensi di Cina. Di Amerika Serikat, gempa paling tersohor ialah yang bangkit di San Francisco tahun 1906. Meski begitu yang berakibat paling besar ialah yang di dekat New Madrid, Missouri, AS, 1811 dan 1812. Gempa ini terdiri dari satu rangkaian, dan sempat mengubaharah aliran sungai besar Mississippi. Tentu saja, California merupakan daerah kegiatan seismik paling aktif di AS. Negara bagian itu pernah mengalami 12 kali gempa besar sejak 1906 dan kini, para ahli malah memperkirakan bahwa suatu gempa besar akan melanda kawasan itu dalam dasawarsa mendatang. Berdasarkan suatu penelitian pemerintah daerah, jika gempa besar men jotos daerah sekitar Los Angeles, jumlah kematian diperkirakan akan mencapai 20.000 jiwa, kerugian harta US$ 69 milyar, dan semua kegiatan normal terhenti. Sasaran yang dipegang kini, sebuah ramalan jangka pendek yang tepat, masih merupakan impian belaka karena ilmunya memang masih sangat muda. Seperti dikemukakan Prof. T.V. McEvily dari Universitas California di Berkeley, "Banyak ilmuwan kini menyadari bahwa kita masih di anak tangga paling bawah, dan bahwa kita sebenarnya tidak tahu cara meramalkan gempa bumi. Di AS, di tepi barat Sungai Hudson, para ilmuwan di Pusat Pengamat Geologi Lamont-Doherty dari Universitas Columbia sibuk dengan komputer dan alat peremuk contoh batuan. Dan di lereng bukit sekitar Denver, di tengah Taman Menlo yang rindang di California, juga di berbagai laboratorium lainnya dari Ithaca, New York, hingga Palo Alto, California, semakin banyak ilmuwan merenung dan mencari. Di lapangan, para ilmuwan dan insinyur secepatnya menuju lokasi terjadinya suatu peristiwa seismik, hampir-hampir sebelum usai sebuah guncangan. Mereka semua ingin belajar dan mengetahui bila di mana dan berapa kuat - gempa besar bakal datang. Ironis, memang, cara terbaik untuk belajar justru dengan mengamati sebuah gempa - kemudian mempelajari dokumentasi kejadian sebelumnya untuk menemukan suatu pola peristiwa yang mungkin bisa memberi petunjuk sebagai tanda waspada. Jadi, sebenarnya apa itu gempa bumi? Ia adalah guncangan yang bangkit bila tegangan yang secara pelan-pelan menumpuk dalam kerak bumi tiba-tiba terlepas. Itu secara khas terjadi di sepanjang jalur rekahan batuan kerak bumi yang dinamakan patahan. Tegangan itu biasanya menumpuk di tepian bagian-bagian kerak bumi yang bergeser sepanjang suatu patahan. Para ilmuwan sekarang meyakini, kerak bumi sebetulnya terdiri dari sejumlah lempeng raksasa, yang masing-masing digerakkan oleh apisan bumi yang terletak di bawah lempeng itu. Di beberapa tempat, seperti di sepanjang Patahan San Andreas di California dan Patahan Semangko di Sumatera, lempeng yang satu bergerak secara mendatar sepanjang sisi lempeng yang lain. Di bagian bumi yang lain, seperti di sepanjang pantai Peru di Amerika Selatan dan sebelah barat Pulau Sumatera serta sebelah selatan Pulau Jawa, tepi satu lempeng menukik ke bawah lempeng yang berbatasan. Gempa bumi terjadi karena, di saat bagian kerak bumi berupa lempeng itu bergesekan, di daerah itu menumpuk tegangan. Seperti halnya sebuah pegas baja, batuan kerak bumi juga bersifat melenting, dan energi bisa saja tersimpan ke dalamnya. Di saat jumlah tegangan itu melebihi kekuatan ikatan, akibat gaya gesek, ikatan itu terlepas - dan batuan pun meloncat kembali mencari keseimbangan baru, serta dengan cepatnya menjalar sepanjang patahan tadi. Di tempat terdapatnya pergerakan lempeng secara besar sepanjang lempeng yang lain, seperti pergesekan Lempeng Pasifik dengan Lempeng Amerika Utara sepanjang Patahan San Andreas, hanya dua pertiga dari upaya mencari keseimbangan baru itu menghasilkan pergesekan sepan jang patahan itu sendiri. Sisa pelepasan tegangan itu, untuk lokasi di atas, terbagi melalui wilayah Amerika Serikat bagian barat dan menyebabkan gempa serta rekahan tanah di bagian timur California serta daerah pegunungan negara bagian tetangga. Lebih sukar untuk dianalisa ialah gempa bumi "intralempeng" seperti yang pernah terjadi dan menghancurkan wilayah Lembah Mississippi Tengah, antara St. Louis dan Memphis, 1811 dan 1812. Lebih banyak berdasarkan pengetahuan historis daripada pengertian ilmiah bila para ilmuwan menggolongkan wilayah itu sebagai kawasan berisiko besar. Meski begitu, diketahui, peristiwa gempa sebenarnya hampir selalu membunuh secara tidak langsung. Di lapangan terbuka, misalnya, orang biasanya cukup aman sekalipun terjadi gempa dahsyat. Rekahan bumi jarang sekali terjadi di permukaan. Tapi orang kebanyakan celaka atau terbunuh akibat kejatuhan reruntuhan bangunan, atau oleh pecahan kaca yang beterbangan, benda yang menimpa, banjir karena jebolnya bendungan, kebakaran, atau ledakan akibat rusaknya sistem saluran listrik atau gas, longsoran tanah, atau tsunami, gelombang pasang samudra. Gelombang semacam itu pula yang menyebabkan tewasnya persentase terbesar dari para korban pada gempa bumi dahsyat di Jepang Utara, Mei tahun lalu. Memang, agar bisa membahas masalah gempa, para ilmuwan, perancang rencana darurat menghadapi bencana alam, dan petugas lainnya memerlukan jalan untuk membandingkan berbagai gempa. Cara yang paling terkenal ialah Skala Magnitude Richter, yang mengukur ketinggian gelombang getaran suatu gempa yang tercatat pada seismograf. Penilaian kekuatan, menurut skala itu, berdasarkan jarak seismograf itu dari pusat gempa serta kedalaman sumber gempa. Skala itu ditara secara logaritmis: gempa dengan magnitude 7 menghasilkan gelombang sepuluh kali lebih besar dibanding gempa dengan magnitude 6. Perbedaan dalam pernyataan energi lebih besar lagi: gempa bermagnitude 7 melepaskan sekitar 30 kali lebih banyak energi dibanding yang bermagnitude 6. Gempa besar San Francisco 1906 bermagnitude 8,3 sedang gempa Good Friday, yang tahun 1964 melanda Alaska, 8,4. Jika dibandingkan dengan gempa yang melanda Coalinga awal Mei lalu, yang bermagnitude 6,5, tenaga gempa San Francisco 900 kali lebih dahsyat. Skala yang lebih mudah dipahami ialah Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang Disesuaikan). Skala Mercalli ini mengukur gempa berdasarkan gejala yang terjadi di permukaan bumi. Lebih banyak guncangan, lebih banyak kerusakan, lebih besar pula intensitasnya. Pada Intensitas II, misalnya, gempa hanya dirasakan sejumlah kecil orang yang memang sedang beristirahat - terutama di lantai-lantai atas sebuah gedung bertingkat. Pada Intensitas VI, berbagai benda berat - seperti lemari bergerak dan sejumlah plesteran tembok bisa retak dan jatuh. Pada Intensitas XII, kerusakan menyeluruh. Terlihat gelombang tanah bergerak, dan berbagai benda terlempar ke udara. Jelas, penilaian berdasarkan Skala Mercalli tergantung pada jauh dekatnya pengamat dari episentrum - serta kekuatan gempa itu sendiri. Skala magnitude Richter dalam hal ini lebih obyektif, tapi sangat banyak yang bisa mempengaruhi gelombang seismik antara sumbernya dan alat seismograf itu. Para ilmuwan semakin banyak menggunakan pendekatan ketiga, atau "saat seismik", yang bisa mengukur secara lebih tepat suatu gempa bumi besar. Cara ini merupakan produk dari daerah rekahan, laju perambatan rata-rata sepanjang patahan, dan kekuatan batuan yang membelah. Bagi kerusakan akibat gempa, nilai yang penting ialah percepatan mendatar: berapa banyak dan berapa cepat tanah berguncang dari kiri ke kanan bila gempa melanda. Tidak hanya diperhitungkan besar kemungkinan terjadinya gempa sendiri, tapi juga besarnya guncangan yang mungkin akan terjadi, dan di wilayah seluas apa. Ini tergantung pada ciri jenis batuan yang terkena. Dari situ pula disimpulkan, gempa dengan magnitude yang sama bisa melahirkan akibat yang berbeda. Gempa New Madrid, misalnya, memunculkan kerusakan berat dalam wilayah yang jauh lebih luas dari yang diakibatkan gempa besar San Francisco. Kebanyakan ahli peramal gempa tergolong muda usia. Demikian juga ilmu yang mereka hayati, seperti sudah dikesankan. Bidang ilmu itu berumur kurang dari 25 tahun, dan lahir terutama akibat diakuinya secara umum teori Tektonik Lempeng Jagat. Teori ini telah melengkapi ilmu pengetahuan dengan suatu alat bagi ramalan gempa jangka panjang. Para peneliti mengetahui bahwa gempa biasanya terjadi di tempat dua lempeng berbenturan. Mereka mengetahui pula bahwa pantai barat Amerika Selatan terancam Lempeng Nazca yang menukik ke bawahnya, seperti juga Lempeng Samudra Hindia menukik ke bawah Lempeng Euro-Asia yang merupakan landasan pulau-pulau besar Indonesia. Juga bahwa Jepang telah lama terancam suatu gempa besar. Atau bahwa bagian selatan Patahan San Andreas di California merupakan daerah yang sudah lama tak pernah mengalami suatu gempa besar sejak 1857, dan suatu waktu kelak pasti akan dilanda. Tapi, yang tidak mereka ketahui - dan mereka bertekad mengungkapkannya - ialah di mana sepanJang daerah itu, gempa bumi pertama kali akan melanda, dan kapan. Pengetahuan itu tentu bisa lebih bermanfaat dibanding ramalan umum yang hanya menetapkan waktu "menjelang akhir abad ini". Yang akan mereka rumuskan pada pokoknya ialah suatu ramalan yang dini, yang bisa diandalkan dan cukup rutin seperti halnya ramalan cuaca. Untuk itu, mereka harus tahu lebih banyak tentang guncangan bumi betapa itu tergantung pada jenis patahan dan panjangnya rekahan. Jika itu diketahui, mereka bisa memperkirakan berapa banyak guncangan akan terjadi di suatu tempat. Itu sebabnya beberapa ilmuwan memusatkan penelitian mereka untuk memberi arti pada seismogram gerakan kuat, yang direkam seismograf yang letaknya berdekatan dengan suatu pusat gempa. Gelombang seperti ini, serta penilaian intensitas guncangan, plus kerusakan selama suatu gempa berlangsung, akan membantu untuk merumuskan standar arsitektural yang dirancang bagi keperluan bertahan. Agar membantu mempersempit jangka ramalan mereka, dari lingkup dasawarsa menjadi lingkup hari, para ahli geofisika memanfaatkan apa saja - sejak teknik paling sederhana dari 75 tahun lalu hingga teknologi paling dini dan piawai. Mereka berusaha keras menemukan cara-cara yang lebih baikuntuk mengukur jumlah tegangan yang telah terhimpun dalam suatu daerah batuan di kiri kanan suatu patahan, dan meneliti setiap gejala untuk bisa menetapkan yang mana merupakan petunjuk bagi suatu gempa raksasa. Kawat, dan batangan kuarsa, diletakkan melintang - langsung di atas suatu patahan - agar bisa dengan sangat teliti diukur berapa besar satu sisi bergeser relatif terhadap sisi lain. Pengukuran geodesik tentang berapa banyak sebuah garis alas - yang melintang di atas suatu patahan - berubah panjang pendeknya dilaksanakan dengan menggunakan reflektor laser dan reflektor satelit. Bahkan mereka menggunakan sepasang teleskop radio, yang bisa mengukur perbedaan waktu tiba seberkas gelombang cahaya yang dipancarkan sebuah kuasar berjarak milyaran tahun cahaya dari bumi. Pertanda paling jelas menjelang sebuah gempa besar ialah serangkaian guncangan awal - tapi tidak semua gempa besar disertai alamat seperti itu. Jadi, para ahli geofisika berpaling ke arah lain: Peralatan ukur kecondongan. Banyak yang hanya berupa tabung kaca berisi air yang dihubungkan pipa mendatar. Ini mengungkapkan setiap perubahan pada kelandaian permukaan tanah - dan kegiatan tektonis apa pun yang mungkin ada. Alat ukur gaya berat, yang mampu menetapkan perubahan teramat kecil dalam ketinggian tanah, karena kekuatan gaya berat di permukaan bumi tergantung pada jaraknya dari pusat bola bumi. Berbagai peralatan elektronis, yang mampu mengukur perubahan teramat kecil dalam medan magnetis setempat serta dalam kelancaran penyaluran listrik dalam batuan. Para ahli geofisika meyakini, bila berbagai batuan itu menerima tegangan hingga separuh titik retak mereka, batuan mulai membesar dan ribuan rekahan kecil merambat ke seluruh tubuh batuan itu. Rekahan itu kemudian terisi air, dan itu mengubah sifat magnetis dan elektris batuan itu. Pengukuran kadar radon air sumur: yang merupakan salah satu cara mengungkapkan perubahan semacam itu. Pengertiannya: perekatan batuan itu menghasilkan permukaan luas baru yang dipengaruhi air tanah, hingga melarutkan jumlah lebih besar gas radio aktif itu. Para ilmuwan sekarang juga mempelajari berbagai ihwal yang sampai belum lama berselang masih dianggap termasuk bidang dongeng. Pada kesempatan tertentu, terlihat cahaya aneh yang mengerikan di udara - hanya sesaat menjelang atau sewaktu guncangan gempa melanda. Cahaya itu mungkin berasal dari muatan listrik di atmosfer yang dihasilkan gesekan tepian batuan sepanjang suatu patahan. Menurut cerita rakyat di Cina, "bunyi gempa" segera mengawali musibah yang segera tiba. Menurut Charles F. Richter, penemu pertama. skala magnitude, bunyian itu bisa dibandingkan dengan suara seperti "guruh, tembakan senapan, atau bunyi lalu lintas berat pada jarak tertentu." Itu langsung dihailkan oleh peralihan gelombang energi elastis dari permukaan tanah ke udara. Sementara para ilmuwan itu menggunakan peralatan mereka untuk menyusun suatu dokumentasi yang dini, mereka juga berusaha memelihara dan memperluas arsip sejarah gempa. Mengetahui kapan terjadi gempa bumi selama kurun waktu yang panjang memungkinkan mereka mendapatkan suatu pola yang bisa dimanfaatkan untuk menarik kesimpulan daur ulang yang "layak" antara satu dan lain gempa. Di Peru, misalnya, dokumentasi dilakukan sudah sejak kedatangan para penjajah dan misionaris Spanyol yang pertama. Jepang, dalam pada itu, bisa bangga memiliki suatu kronologi kegiatan gempa sejak 400 tahun lalu. Orang Cina bahkan memiliki pengamatan tercatat yang menjangkau kembali hingga 2.000 tahun. Memang, Cina menjadi pusat perhatian bagi minat seismologik. Orang Cina bukan tanpa kekeliruan mereka tidak berhasil meramalkan gempa Tangshan 1976 yang sempat merenggut sekitar 650.000 nyawa. Meski begitu, dengan suatu angkatan sebesar 10.000 ilmuwan, dilengkapi dengan suatu jaringan pengamat amatir sebanyak 100.000 orang, para insan Cina itu serius betul. Ahli-ahli mereka mengawasi peralatan piawai, sementara para amatir merekam berbagai hal, misalnya perangai aneh berbagai jenis satwa. Konon, sesaat menjelang suatu gempa, kuda, sapi, dan babi berlari-lari tanpa sebab yang jelas. Ayam dan itik beterbangan, anjing menyalak. Ular keluar dari lubang persembunyian di musim dingin - dan mati beku. Menurut cerita rakyat, perangai aneh dan menyimpang itu merupakan alamat sebuah gempa, tapi tak seorang pun tahu pasti benarkah itu. Para ilmuwan di Beijing memang berusaha mengetahui lebih banyak tentang kegelisahan satwa sebagai petunjuk. USGS, badan pemerintah AS, dalam pada itu, telah mengeluarkan US$ 600 ribu - sejak 1976 - untuk membiayai penelitian serupa. Salah satu proyeknya pernah melibatkan lebih dari seribu pengamat amatir di California Selatan, yang melaporkan berbagai hasil pengamatan mereka, tapi tak satu pun yang ternyata mengawali suatu gempa. Bidang observasi lain juga mendapat rangsangan berkat ramalan Cina yang berhasil di Heicheng itu yaitu penataan urutan kegiatan seismik. Serangkaian gempa kecil ternyata membentuk suatu busur dari arah barat daya ke timur laut. Agaknya, suatu permukaan yang telah berubah bentuk - mungkin di dalam kerak bumi - telah mencetuskan setiap peristiwa pada gilirannya. Permukaan itu merambat secara pelan, sekitar 100 km setiap tahun. Para ahli seismologi Cina menggambarkan sebuah garis melalui deretan episentrum gempa kecil itu di peta. Dan, ketika garis diperpanjang, mereka lihat: garis itu ternyata menuju Heiching. Maka, mereka pun bisa memberi peringatan untuk waspada. Sungguh menarik, bagi program ramalan gempa di Jepang tersedia dana empat kali lebih banyak daripada yang disediakan bagi penelitian serupa di AS. Di Cina, 10.000 pekerja sepenuh waktu terlibat dalam penelitian gempa di tahun 1975 di Amerika Serikat barangkali hanya terdapat 1.000 peneliti, itu pun termasuk yang sambilan. Toh kebanyakan yang kini terlibat berkeyakinan akan berhasil. Ketika membicarakan beberapa rekan yang tampak ragu akan sukses ilmu ramalan itu, Lynn Sykes dari Lamont-Doherty mengatakan, "Menurut saya, mereka itu terlalu pesimistis. Jika memperhatikan California atau Alaska - dibanding tahun 1968, ketika kita hampir tak punya gagasan tentang tempat terbaik yang harus diawasi untuk menjaga gempa yang akan datang - saya kira sekarang kita bisa menetapkan enam lokasi di California yang diketahui, dalam jangka panjang, katakan sepanjang dua dasawarsa mendatang, berkemungkinan besar akan merupakan lokasi gempa cukup besar." Bahkan, ramalan yang men jangkau 10 atau 12 tahun - masih tergolong jangka panjang - sudah sangat membantu untuk menentukan, apakah membangun suatu reaktor nuklir di wilayah tertentu cukup bijaksana atau peraturan bangunan apa yang seharusnya diterapkan di kawasan dimaksud. Bruce A. Bolt, profesor ilmu seismologi di Universitas California, Berkeley, merasa bahwa di Amerika Serikat kemampuan untuk meramalkan berapa banyak permukaan tanah akan berguncang di suatu lokasi tertentu lebih penting bagi upaya mengurangi kerugian akibat gempa daripada ramalan tentang gempa itu sendiri. Hanya mengetahui saja - bahwa suatu wilayah akan bebas dari gempa selama jangka cukup lama karena masih di awal kurun "tenggang seismik"-nya - bisa merupakan suatu perangsang bagi investasi yang hanya memerlukan sekian waktu untuk menghasilkan suatu keuntungan. Secara ekonomis, memang tepat bila membangun di suatu daerah yang baru saja dilanda gempa. Para ilmuwan menyadari pula, mereka harus sangat berhati-hati tentang ramalan mereka. Dan harus sadar betul akan reaksi masyarakat umum akibat ramalan itu. Ada sebuah ramalan keliru oleh dua ilmuwan AS berusia muda di tahun 1979. Kisahnya, dalam suatu pertemuan. di Argentina, Brian Brady dari Dinas Pertambangan AS dan William Spence dari USGS, keduanya bertugas di Denver, meramalkan terjadinya tiga gempa di lepas pantai Peru. Yang pertama dan yang terkecil, kata mereka, akan bangkit sekitar 28 Juni 1981 disusul gempa lebih besar pada 10 Agustus dan 16 September. Ramalan itu berdasarkan penelitian Brady atas merekahnya batuan dalam tambang, yang kemudian ia terapkan pada sistem patahan yang jauh lebih besar di Peru. Tapi tak ada gempa di sana. Dan sampai sekarang pun tidak. Yang ada tak lain kehebohan. Masyarakat Peru panik, orang membeli bahan makanan dan berbagai perlengkapan penyelamatan, bahkan sejumlah penduduk Lima meninggalkan ibu kota itu. Para ang gota Dewan Nasional AS untuk Penilaian Ramalan Gempa Bumi, yang menolak ramalan itu sejak semula, menyatakan mereka akan tenang-tenang saja bila berada di pantai Peru pada tanggal-tanggal yang diramalkan terlalu teliti itu. Surat kabar yang terbit di Lima mempertanyakan ramalan itu. Dan John Filson kepala kantor penelitian gempa bumi dari USGS di Reston, Virginia, terpaksa pergi ke Lima untuk menenangkan pers dan masyarakat. Spence sendiri mengeluarkan suatu pernyataan pembatalan ramalannya, dengan panjang lebar, sebelum jatuhnya tanggal di bulan Juni itu. Sedang Brady baru menarik kembali ramalannya pada 20 Juli. Tapi ia masih yakin bahwa setiap saat, sekarang, gempa besar akan melanda di suatu titik pada garis pantai Peru yang hampir 2.500 km panjangnya. Seperti juga para ahli seismologi lainnya, Clarence R. Allen dari Caltech, yang menjadi direktur dewan penilaian tadi, prihatin terhadap kesukaran yang dihadapi para ilmuwan. Belum lama Allan menulis, "Ada kekhawatiran bahwa peristiwa ramalan Peru itu belum selesai seluruhnya. Para seismolog selama beberapa tahun menunjukkan bahwa, berdasarkan konsep "tenggang seismik" yang sudah diterima secara luas, beberapa bagian dari daerah pantai Peru dan Chili bagian utara barangkali mewakili lokasi yang paling mungkin dilanda suatu gempa besar, seperti yang pernah terjadi di tahun 1868." Yang dikhawatirkan ialah bahwa seseorang, secara kebetulan atau berdasarkan perhitungan yang keliru, tiba-tiba meramalkan suatu gempa yang akhi rnya memang benar terjadi pada tanggal yang disebutkannya. Para ahli seismologi, dalam hal itu, menghadapi problem untuk meyakinkan masyarakat umum bahwa metode ramalan, meski tampaknya tuntas, sebetulnya tak punya dasar dalam kenyataan. Tapi bagaimana bila gempa benar-benar patuh pada ramalan? Seberapa jauh masyarakat harus diberitahu, dan pada saat apa? C. Barry Raleigh, direktur Lamont-Doherty, berkata, "Kemampuan kita untuk memberi makna pada hasil observasi (daerah patahan), dan menghubungkannya dengan kemungkinan terjadinya suatu gempa bumi, semakin mantap. Bahkan kemajuan itu hampir bisa memastikan bahwa sebuah gempa besar diramalkan akan melanda salah satu wilayah metropolitan di Cina, Jepang, atau Amerika Serikat dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. "Lalu, bagaimana orang harus menghadapinya? Dan apa dampak ramalan itu pada jaringan kehidupan sosial dan ekonomis wilayah yang diramalkan? Kita tidak terlalu mengerti jawaban pertanyaan seperti itu. Kita masih dalam kegelapan tentang cara terbaik untuk menyimpulkan dan menyiarkan suatu ramalan umum ." Sedang Robert Wallace dari USGS memperki rakan orang tak akan menghiraukan suatu ramalan gempa bumi - kecuali yang diramalkan dengan kepastian 50% atau lebih. Di AS, setiap ramalan yang dikemukakan pertamatama harus melalui Dewan Nasional Penilaian Ramalan Gempa Bumi, suatu komite permanen yang terdiri dari sejumlah ilmuwan, baik dari pemerintah maupun perguruan tinggi. Dewan ini memberi pertimbangan kepada direktur Badan Penelitian Geologi. Jika terdapat konsensus bahwa salah satu ramalan memang tepat, direktur badan itu yang akan mengumumkannya, dan memberitahukannya kepada gubernur negara bagian yang bersangkutan. Dalam praktek, para pejabat negara bagian dan pejabat setempat akan diberi informasi - bahkan selama proses penilaian ramalan berlangsung. Suatu "tenggang seismik" yang "bunting tua" kini terdapat di California bagian selatan. Tapi tak satu pun berani menyerukan suatu pengungsian Kota Los Angeles. Para ahli seismologi baru bisa memperkirakan kemungkinan suatu gempa bermagnitude lebih besar dari 7% akan melanda, dan kini telah meningkat hingga 13% di California. Tapi lebih tepat dari itu mereka belum sanggup. Bahkan, mereka mungkin tak akan lebih tepat lagi, kecuali suatu gempa besar memang betul terjadi, hingga mereka bisa meninjau kembali dokumentasi teramat teliti yang telah dihimpunkan begitu saksama. Berkata Robert Wallace, "Pada suatu ketika, orang hanya mungkin mengejar sejumlah terbatas kelinci. Tapi di "sana" selalu terdapat kelinci, selalu ada pertanda yang perlu ditelusuri maknanya - dan orang harus bisa memilih antara yang memang bermakna dan yang tidak. Tapi itulah hakikat ilmu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus