BAYANGKAN. Seorang janda membenamkan dua anak gadisnya yang
masih kecil di Danau Guangzhou. Itu diperbuatnya agar ia bisa lega
menikah dengan pacarnya--dan kelak, seperti diinginkannya, akan
resmi tercatat sebagai melahirkan anak pertama.
Michele Vink, yang menuturkan kisah itu dalam Asian Wall Street
Journal, terasa tak bisa menahan diri. "Kalau itu
sungguh-sungguhterjadi," katanya, "mereka benar-benar biadab."
Michele memang tak menyaksikan sendiri peristiwa itu. Ia hanya
menceritakan kembali kisah orang-orang setempat. Namun ia yakin
perbuatan mengerikan itu memang benar berlangsung -paling tidak
sangat mungkin. Dan ia juga percaya: tidak diambil tindakan apa
pun kepada si ibu.
Sebab kejadian aneh luar biasa itu sebenarnya paralel saja
dengan program keluarga berencana RRC. Michele Vink, bersama
seorang wartawan harian kiri Hongkong Zheng Ming, masuk ke
negeri ini beberapa bulan lalu. Keduanya lalu tertarik meliput
usaha besar RRC menjalankan program keluarga berencana.
Hasilnya: laporan panjang yang setengahnyamungkin akan dianggap
fantastis. Tidak mustahil memang ada hal-hal yang terasa
dilebih-lebihkan. Toh sebenarnya begitu banyak keanehan di
negara tirai bambu itu, yang sebelum terjadi mungkin akan
dianggap mustahil. Perubahan politik yang 180 derajat sendiri,
yang datang secara tiba-tiba di bawah Deng Xiao-ping, mulanya
juga agak sulit dipercaya. Juga pembataian besar-besaran di masa
Revolusi Kebudayaan, ketika bondongan besar para pemuda yang
kalap seperti tiba-tiba saja merusak, menggeser dan menggocoh
dan menjungkirbalikkan tatanan lama di seluruh negeri yang luas
itu.
RRC memang mati-matian memerangi jumlah pertambahan penduduk.
Ini program rezim baru--salah satu aspek modernisasinya. Mereka
kini mengampanyekan: satu keluarga satu anak. Dan sebabnya bisa
dipaham: bila stabilitas jumlah penduduk--kini 1,2 milyar--tidak
dijaga, maka politik dan ekonomi negara dikhawatirkan ambruk.
Cukup menakutkan, memang. Bila sebuah keluarga cuma bisa
menciutkan niat mempunyai anak sampai tiga orang, di tahun 2080
jumlah penduduk diperhitungkan bakal mencapai 4,26 milyar.
Sedang dengan ketentuan satu keluarga satu anak, dalam waktu 100
tahun jumlah penduduk diperkirakan akan bisa menyusut sampai 700
juta. Dan ini ideal. Pantas kalau pemerintah jadi begitu
bernapsu.
Tapi tantangannya cukup berat-gampang dipaham. Justru di
kalangan masyarakat Cinalah anggapan "anak membawa berkah"
barangkali paling tertanam. Dan karenanya kampanye beranak satu
tidak cuma dipropagandakan lewat radio atau poster-poster
dinding yang besar. Menurut Michele Vink, pemerintah membentuk
pasukan untuk kepentingan ini--yang diperintahkan bergerak ke
setiap pelosok. Namanya saja pasukan, cara yang ditempuh ya cara
pasukan. Di desa-desa, pasukan KB ini menuntut masyarakat
menggunakan berbagai alat kontrasepsi bahkan tanpa pemeriksaan,
penjelasan maupun penerangan seks.
Tentu, KB sendiri bukan barang baru di Cina. Sejak 1952 gagasan
untuk mengerem ledakan penduduk sudah terdengar. Hanya dalam
kenyataan tekanannya baru terasa pada 10 tahun terakhir. Dan
jadi keras mulai 1979, waktu dibisikkan keharusan untuk hanya
punya anak seorang.
Padahal di mana pun di dunia, atau bagaimanapun terdesaknya
sebuah negeri, angka 1 tak pernah disodokkan dengan keras dalam
urusan KB. Hampir tak masuk akal. "Permintaan gila! " kata
seorang ibu d i pedalaman kepada Michele Vink. Ibu ini, kendati
baru satu kali melahirkan, langsung kena sanksi: yang keluar
dari rahimnya dua orang anak kembar.
Bahkan di kalangan intelektual yang sadar betul perlunya KB,
tuntutan satu anak pun tak sepenuhnya dituruti. Seorang pejabat
statistik di Beijing menyebutkan, 99% kaum intelektual di
kota-kota besar punya dua anak.
Pembangkangan diam-diam ini, di kota besar, nampaknya masih
ditolerir. Sebagai imbangan: disediakan rangsangan berupa
macam-macam fasilitas atau tunjangan bagi mereka yang hanya
beranak satu. Sedang bagi yang lebih, kemudahan yang sudah
didapat diancam bakal dicabut.
SETIDAK-TIDAKNYA, sekarang ini seperti nampak di kalangan
intelektual, anak kedua tak lagi diberi tunjangan. Dan pada
angka 3 baru tindakan keras dilakukan: semua tunjangan yang
pernah diberikan harus dikembalikan--termasuk harga fasilitas
yang pernah dinikmati. Dari sinilah bisa dipahami mengapa ibu di
muka tadi sampai tega menenggelamkan dua anak perempuannya ke
Danau Guangzhou.
Di samping itu masih ada aturan lain yang aneh, dan terasa
diskriminatif pada jenis seks. Tak begitu tegas diumumkan, namun
sangat tegas dipercayai: diperbolehkan punya seorang anak lagi
bila anak pertama ternyata perempuan . . .
Suatu kali, seperti sengaja, Radio Xinhu dalam siaran
pedesaannya menurunkan semacam perdebatan. Diperdengarkan di
situ--secara berani-pendapat seorang wanita intelektual yang
tinggal di desa. Pendapat itu kontroversial . Katanya: program
KB tak semestinya terlalu diketatkan. Anak adalah tenaga kerja
di desa. Sedang di RRC kini semua usaha pertanian diurus oleh
seluruh keluarga. Karena itu terbatasnya anak bisa berakibat
pada krisis. Bisa dipastikan, pendapat ini akan didukung
rata-rata petani.
Namun bukan propaganda namanya kalau masalah ini tak sampai
"diselesaikan". Belakangan Xinhu menyiarkan lagi suara wanita
itu. Ini kini terdengar berbicara dengan sejumlah pejabat -
dalam sebuah acara "dari hati ke hati". Dalam acara itulah ia
secara halus dihadapkan pada berbagai kenyataan yang disebutkan
pahit akibat peledakan penduduk. Data statistik, ketakmampuan
membiayai anak-anak, dan akhirnya runtuhnya perekonomian. Di
sisi lain ia mendapat penjelasan, pertanian di waktu dekat akan
mengalami mekanisasi: tenaga kerja yang besar tak lagi
diperlukan.
Lalu buntutnya, sang tokoh wanita mengeluarkan pernyataan:
bersedia menjalani sterilisasi. Ia merasa "bahagia". Bahkan
menghimbau agar para wanita desa mau membuang kesuburan
dirinya--demi kesuburan negara.
Himbauan itu masih terasa sopan. Sebab nyatanya, tidak semua
pasukan KB mengambil jalan seperti itu dalam mensukseskan
program yang dibebankan. Di desa-desa sterilisasi dilaksanakan
dengan paksa. Yang bisa dipastikan, semua wanita yang berani
mempunyai tiga anak langsung menjalaninya. Bahkan. saking
bersemangatnya, pasukan KB sering memaksa para ibu menjalani
sterilisasi begitu mereka melahirkan bayinya yang pertama.
Michele Vink, bersama temannya dari harian Zheng Ming, mencatat,
bahwa di tiga daerah-- Guangzhou, Dongguan dan Guangdong--"teror
KB" termasuk agak gila-gilaan.
Guangzhou dan Guangdong masing-masing adalah provinsi. Dua
wilayah ini termasuk dalam empat--dari 29 provinsi di RRC--yang
gagal menjalankan KB. Dua yang lain dinilai tak seberapa
mengkhawatirkan, karena termasuk daerah minoritas yang masih
hidup dalam lingkungan sangat tradisional: angka pertambahan
memang besar, tapi jumlahnya sendiri tidak.
KALAU ada daerah yang dir maki-maki dalam hal KB, ya dua
provinsi itulah. Guangdong berpenduduk 57,8 juta jiwa, sedang
Guangzhou 55 juta. Michele Vink sendiri memang menyaksikan: di
Guangzhou, ibukota provinsi, penduduk yang 2,4 juta hidup
bertumpuk-tumpuk seperti di Hongkong. Di Guangdong suasana tak
beda jauh.
Menurut seorang pejabat KB, di tahun 2000 nanti penduduk kedua
provinsi ini cuma boleh bertambah 70 juta. Dengan kata lain
angka pertambahan hanya boleh 1,6%.
Kendati tak dinyatakan, dengan begitu bisa dipastikan pasukan KB
di kedua daerah ini menyatakan perang terhadap pertambahan
makhluk manusia. Lebih-lebih karena medan yang mereka hadapi
cukup keras rupanya: di kedua daerah ini himbauan satu keluarga
satu anak ternyata selama ini tak digubris. Hampir semua
penduduk beranak tiga -- paling sedikit. Tahun ini saja, pada
catatan kotapraja, 26% kelahiran adalah kelahiran anak ketiga.
Reaksioner juga orang orang di sini.
Bahkan menurut pengamat Michele Vink, mereka tak begitu peduli
tunjangan yang mereka dapat dicabut-malahan tak keberatan
membayar denda. Mengapa?
Sebab mereka rata-rata punya keluarga di Hongkong. Dan kedua
daerah ini memang tercatat paling banyak punya hubungan dengan
luar negeri --lengkap dengan bantuan keuangan dari wilayah
Inggris itu. Konon malah tak sedikit anak-anak diselundupkan ke
sana bila orangtuanya tak bisa membiayai. Seorang ibu, kepada si
wartawan, menunjukkan fotoanaknya yang kini sudah sampai ke
Amerika -- hmm, dalam pakaian yang gagah.
Maka di kota-kota besar, di kedua provinsi ini, rumah-rumah
sakit pun menjalankan pengguguran. Harus dikatakan secara kejam,
sebab praktek itu begini: ibu-ibu yang datang memeriksakan
kandungan, tahu-tahu "digarap" diam-diam sehingga anaknya mati
ketika lahir. Ada tambahan berita: kalaupun si anak lahir masih
bernyawa, dokter akan menyuntiknya mati.
Dari catatan yang bisa didapat Michele Vink terlihat: di sebuah
rumah sakit tahun ini saja terjadi 37.000 "keguguran" kahdungan.
Sedang 16.000 yang lain selamat.
Ada lagi penuturan Michele Vink. Tak jauh dari Dongguan,
terdapat semacam daerah kamp kerja. Di sini dipekerjakan para
wanita hamil-dengan berat, sebab memang bertujuan gugurnya anak
yang dikandung.
Wartawan Zheng Ming, kawan Michele, menyaksikan satu kejadian.
Seorang wanita yang hamil--untuk ketiga kalinya--diarak
penduduk. Dibawa ke rumah sakit dalam sebuah gerobak, untuk
menjalani pengguguran.
Michele sendiri melihat seorang ibu hamil tua yang tertangkap
pasukan KB. Ia rupanya melarikan diri ke sebuah desa di
pegunungan untuk menyelamatkan bayinya. Dengan tangan terikat,
ibu itu dimasukkan ke dalam sebuah keranjang besar, dan dibawa
ke rumah sakit. "Pemandangan yang mengerikan," tulis Michele
Vink. "Ibu itu tidak lagi menangis. Wajahnya pucat, tegang ...."
Anggota pasukan KB lantas menjelaskan kepada masyarakat: "ibu
yang nekat" ini harus dijadikan pelajaran. Keinginan punya tiga
orang anak,adalah egoistis. Ini "jangan sekali-kali ditiru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini