DALAM setahun, empat bulan dihabiskannya di luar negeri," kata
sebuah tulisan tentang seorang tokoh eksekutif. Dan anda mungkin
salah seorang pembaca yang terkagum-kagum, membayangkan
nikmatnya perjalanan bisnis itu:naik turun tangga pesawat,
pindah dari hotel yang satu ke hotel yang lain, teken sana teken
sini, rapat, makan siang, jamuan khusus, dan seterusnya.
"Perjalanan seperti itu tidak saja memuakkan. Tapi juga penuh
Problem khusus." Begitu malah ujar seorang manajer pemasaran
sebuah perusahaan multinasional yang bermarkas di Cleveland,
Amerika Serikat. Ia sendiri menghabiskan 30 persen waktunya
dengan melakukan pelbagai perjalanan.
Bersama manajer ini, ada enam orang lain yang duduk
termenung-menung di bar Philadelphia Centre Hotel itu--bagai
terbenam dalam kesepian. Di sudut yang lebih redup, seorang
pianis memainkan Fly Me to The Moon.
"Anak-anak anda bersikap masa bodoh. Karena mereka tak merasakan
peranan anda dalam hidup mereka sehari-hari." Itu ujar seorang
eksekutif lain berusia 40-an tahun--kepada wartawan David
Diamond dari The International Herald Tribune. Ia tak mau
namanya diumumkan.
Kini, catatan mengenai akibat ketidakhadiran orang tua di rumah
semakin menimbulkan was-was. Sejumlah psikolog ikut turun tangan
menyimak gejala yang sebetulnya sudah berlangsung lama itu.
Masalahnya konon tidak hanya menyangkut rasa terasing dan
kesepian. Melainkan juga bisa mengakibatkan penyakit fisik. Ada
pula yang mengatakan para tokoh bisnis yang banyak bepergian
lebih mudah jatuh ke dalam pelukan alkoholisme, ketimbang mereka
yang 'mangkal' di kantor.
"Masalah ini sebetulnya sangat penting," ujar Marilyn Morgan,
asisten profesor manajemen pada Wharton School. "Maka sungguh
mengherankan, belum ada pihak yang terpanggil untuk melakukan
riset yang luas dan akademis."
Sudah tentu kesimpulan tidak bisa diambil terburu-buru. Banyak
hal masih merupakan pertanyaan. Misalnya, berapa jauh rata-rata
seorang tokoh bisnis bepergian dalam setahun. Dan berapa persen
para eksekutif menghabiskan waktu mereka di luar rumah.
Tapi tahun lalu, perusahaan Heidrick & Struggles Inc.
melancarkan poll di tengah para eksekutif internasional dari 250
perusahaan penting. Hasilnya menunjukkan sejumlah angka yang
mengesankan.
Rata-rata, setiap eksekutif melakukan perjalanan antarnegara 10
kali dalam setahun--masing-masing sejauh 114,5 ribu mil setiap
orang. Di perusahaan Sun Co, misalnya, 6000 karyawan melakukan
perjalanan dengan jumlah total 60 juta mil pada tahun lalu.
Mereka menghabiskan 120 ribu malam di hotel.
Dan kini, beberapa perusahaan mulai mengambil tindakan yang
bertujuan mengurangi perjalanan jauh. Ada pula yang sebaliknya:
memberikan pelayanan istimewa kepada karyawan yang sering
terpisah dari rumah.
Misalnya Laventhol & Horwath, sebuah perusahaan accounting yang
bermarkas di Philadelphia. Karyawan yang ditugasi lebih seminggu
meninggalkan rumah, diberi kesempatan pulang pada akhir
minggu--dengan biaya kantor. Beberapa manajer mengizinkan para
pegawainya yang sedang bepergian menggunakan fasilitas telepon
tak terbatas--untuk berhubungan dengan anak-istri.
Ada pula perusahaan yang membangun jaringan komunikasi modern di
pelbagai kantor cabang. Melalui cara ini, para eksekutif dapat
berhubungan lewat layar televisi dengan rekannya di tempat yang
jauh, tanpa perlu meninggalkan kantor--dan keluarga.
Toh, problem yang timbul dari kebiasaan bepergian tersebut
sangat bersifat individual. "Ada orang yang bisa menikmati
perjalanan kerja, dan mempersiapkan kehidupan dan rumah
tangganya untuk kondisi itu," kata Dr.Bruce Karrh, direktur
medis E.l. du Pont de Nemours & Co. Sementara bagi orang lain,
perjalanan yang sama dapat mengakibatkan persoalan psikologis
yang aneka warna.
Lain pula pendapat Mel Goldsmith, direktur sebuah pusat
pelayanan psikologi di Acorn. "Para eksekutif yang sering
bepergian pada dasarnya tidak memiliki sistem pendukung yang
stabil seperti: keluarga, sahabat dan kolega," katanya. "Mereka
senantiasa berada di tengah manusia dan lingkungan yang asing."
Dokter ini biasa melayani pasien yang dikirimkan secara agak
rahasia oleh pelbagai perusahaan. Ia kemudian menambahkan:
"Mereka terperangkap dalam rasa sepi. Dan kehilangan intimasi
dalam hidupnya."
Perpisahan dengan keluarga, tentu saja, menimbulkan banyak
problem. Rumah tangga yang seharusnya dipimpin sepasang orang
tua menjadi ditangani satu pihak. "Dalam ketidakhadiran suami,
seorang istri bebas memutuskan segala-galanya," ujar Goldsmith.
"Keadaan ini membuka jalan bagi a!koholisme, keserongan dan
depresi.
Ada pula gejala lain. Seorang istri yang sudah biasa 'berkuasa'
di rumah ketika sang suami bepergian, kemudian tak mau
menyerahkan 'kekuasaan' itu setelah sang suami kembali. Kalau
sudah begini, Dr. Goldsmith melihat dua kemungkinan. Pasangan
itu berusaha membina kembali hubungan baik, atau bubar sama
sekali.
YANG terakhir itu diakui pengusaha Cleveland yang kita kutip
tadi. "Begitu pulang ke rumah, anda sudah bukan tokoh yang
berkuasa lagi," katanya. "Anda harus membangun kembali 'karir'
anda sebagai kepala rumah tangga--atau akhirnya hanya sebagai
pasangan yang setara."
"Siksaan utama ialah rasa sepi," ujar seorang eksekutif lain
dari sebuah perusahaan di utara Nework. Ia mengaku jarang
terlibat percakapan dengan orang seperjalanan. Dan, sebagai
gantinya, mencari ketenangan dalam minuman keras.
Pernyataan ini agak paralel dengan kesimpulan John Williams,
ahli alkoholisme yang bekerja pada Morgan Guaranty Trust Co.
Menurut Williams, mereka yang condong kepada alkohol selalu
berusaha mendapat pekerjaan yang ada hubungannya dengan
bepergian jauh. Ia dan beberapa rekannya percaya, "angka
alkoholisme lebih tinggi di kalangan mereka yang kerjanya
bepergian--ketimbang yang menetap di belakang meja."
Memang tidak ada angka statistik yang bisa dijadikan bukti.
Namun perjalanan tidak urung memberikan kesempatan sangat luas
kepada seorang peminum. Setidak-tidaknya kesempatan bersendiri.
Apalagi ada flight tertentu yang menawarkan alkohol
terang-terangan kepada penumpang kelas tertentu.
Toh sampai sekarang, banyak perusahaan besar belum mengubah
kebijaksanaan pokoknya berkenaan dengan kekhawatiran baru ini.
Ujian masuk untuk calon karyawan dinas luar juga belum
dihubungkan dengan kebiasaan minum arak. "Tapi begitu
alkoholisme ternyata mempengaruhi penampilan karyawan
bersangkutan, tindakan harus diambil," kata Goldsmith.
Ada pula sejumlah pegawai yang sebetulnya tidak senang
bepergian--tapi takut kehilangan pekerjaan bila menolak. "Saya
sudah berhubungan dengan 40 sampai 50 perusahaan," ujar Peter
Brill, psikiater yang mengepalai Pusat Studi Pengembangan
Kedewasaan, berafiliasi dengan Universitas Pennsylvania. Umumnya
perusahaan punya semboyan: "Kalau tak tahan panasnya api,
keluarlah dari dapur." Jadi, bila ada karyawan yang tidak betah
dengan jabatannya, lebih baik . . . Dr. Karrh, dari perusahaan
Du Pont, malah menyatakan, belum melihat problem yang serius
dalam hal itu.
Pokoknya belum dicapai kesepakatan. Dan karena itu para
eksekutif tetap hilir-mudik ke sana ke mari, hinggap dan terbang
di sembarang bandar udara, menginap di sembarang hotel, dan
tiba-tiba . . . Seseorang mengetuk pintu. Di depannya berdiri
anaknya, yang segera akan dia rangkul untuk dicium. Si anak
menghindar: "Mama . . . !"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini