Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berburu Divestasi Tambang Grasberg

Freeport berkeras menolak melepaskan 51 persen saham kepada Indonesia. Sejumlah pengusaha nasional dikabarkan tertarik membeli saham perusahaan tambang terbesar di dunia itu.

6 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI sebelum Presiden Direktur Freeport-McMoRan Inc Richard C. Adkerson menggertak akan membawa perselisihan dengan pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase pada Senin dua pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana. Pada Ahad siang itu, selama 30 menit Jokowi mewanti-wanti Jonan agar tak kendur berunding dengan Freeport.

Jokowi menekankan tiga hal yang tak boleh ditawar: perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), pembangunan smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian mineral, serta divestasi saham Freeport hingga 51 persen. Ihwal keberatan Freeport mengenai aturan fiskal, pemerintah bersedia duduk satu meja.

Permintaan ini sebenarnya mengulang apa yang disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas finalisasi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan pada 10 Januari lalu. Dalam pertemuan itu, Jokowi meminta negosiasi dengan Freeport dilakukan satu pintu, yakni lewat Jonan. Permintaan agar Freeport melepas saham hingga 51 persen juga pertama kali dilontarkan Jokowi dalam rapat tersebut.

Menurut Jokowi, sudah saatnya Indonesia menguasai saham mayoritas di Freeport karena perusahaan telah beroperasi di Papua sejak 1967. "Presiden bilang kita sudah mampu mengelola Freeport," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, yang mengikuti rapat tersebut, Kamis pekan lalu.

Sejumlah teman diskusi Presiden mengatakan sudah lama Jokowi menginginkan saham mayoritas Freeport dimiliki oleh Indonesia-bisa oleh negara ataupun swasta nasional. Tujuannya untuk memberi sinyal bahwa pemerintah tak tunduk pada kekuatan asing seperti yang kerap dituduhkan lawan politik Jokowi. Presiden mengacu pada kontrak karya kedua yang diteken pemerintah Indonesia dan Freeport pada 1991. Berdasarkan kontrak karya, kepemilikan nasional di Freeport pada 2011 semestinya sudah mencapai 51 persen.

Pemerintah pun secara khusus membentuk Tim Pengkajian Divestasi Saham Freeport di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara. "Presiden bahkan pernah tanya, ’Bagaimana kalau divestasi Freeport hingga 100 persen? Bisa tidak?’," kata seorang teman diskusi Presiden.

Sebelum rapat pada Selasa sore, 10 Januari itu, pasal divestasi tersebut tak tertuang dalam rancangan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang digodok Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Aturan disiapkan agar perusahaan tambang dengan status perizinan kontrak karya seperti Freeport bisa mengekspor konsentrat dengan syarat beralih status menjadi izin usaha pertambangan khusus. Izin ekspor konsentrat Freeport habis pada 11 Januari lalu.

Para menteri bukannya tak paham bahwa Freeport punya kewajiban melakukan divestasi. Tapi, seandainya diminta melakukan divestasi, mereka menduga angkanya hanya 30 persen. Dalam peraturan pemerintah sebelumnya, perusahaan tambang yang memiliki tambang bawah tanah seperti Freeport hanya diwajibkan melepas saham hingga 30 persen-lebih ringan daripada kewajiban di kontrak karya. "Presiden memutuskan divestasi 51 persen sesuai dengan jadwal," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Pesan Jokowi agar perundingan dengan Freeport dilakukan satu pintu membuat Jonan bolak-balik bertemu dengan Richard Adkerson setelah PP Nomor 1 Tahun 2017 terbit. Adkerson sebenarnya bersurat kepada Jokowi minta bertemu langsung. Tapi Presiden menolak menemui dan menyerahkan urusan kepada Jonan. Sikap ini berbeda dengan sebelumnya. Ketika Freeport dipimpin James R. Moffett alias Jim Bob, Jokowi bersedia menerima Jim Bob di Istana. Saat itu Jim Bob bermaksud menanyakan perpanjangan kontrak Freeport yang bakal habis pada 2021.

Maka, sejak Januari itu, Adkerson empat kali menemui Jonan. Dua kali Adkerson bertamu ke rumah Jonan dan sekali mereka bertemu sambil makan malam di sebuah restoran di Jalan Senopati, Jakarta Selatan.

Pertemuan terakhir terjadi pada Senin tiga pekan lalu. Adkerson, ditemani Direktur PT Freeport Indonesia Robert C. Schroeder, datang ke kantor Jonan. Dalam pertemuan itu, Adkerson berkeras bahwa kontrak karya yang diteken pemerintah Indonesia dan Freeport pada 1991 masih berlaku. Dia pun mulai melontarkan gertakan akan membawa masalah ini ke arbitrase bila pemerintah tak mengubah keputusan.

Esok harinya, Freeport mengirimkan surat dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, yang berisi lima poin. Pertama, menolak perubahan kontrak karya menjadi IUPK sebagai syarat mengekspor konsentrat. Kedua, menuntut kontrak karya tetap berlaku-meski ini bertentangan dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Berikutnya, meminta perpanjangan hingga 2041. Keempat, menyanggupi pembangunan smelter. Dan terakhir, menolak divestasi hingga 51 persen.

Ini surat pertama Freeport ke Kementerian ESDM yang diteken oleh Adkerson sejak menggantikan Jim Bob pada akhir 2015. Biasanya surat PT Freeport Indonesia diparaf Chappy Hakim, presiden direkturnya. Ketika surat tertanggal 14 Februari itu sampai ke meja Jonan, Chappy belum mundur dari Freeport.

Atas surat tersebut, Jonan memberikan pilihan kepada Freeport. "Opsi pertama, ikuti undang-undang yang berlaku. Kedua, silakan lobi parlemen untuk mengubah undang-undang. Dan ketiga, arbitrase," ujar Jonan.

Dua hari kemudian, Kementerian ESDM memberikan rekomendasi ekspor konsentrat buat Freeport berbarengan dengan rekomendasi bagi PT Amman Mineral Nusa Tenggara, berdasarkan aturan bagi pemegang IUPK. Kementerian menganggap Freeport setuju beralih menjadi IUPK dan memasukkan sejumlah poin yang dituntut Freeport dalam rekomendasi ekspor tersebut. Freeport menolak tawaran itu.

l l l

DARI sekian tuntutan, pasal tentang divestasi hingga 51 persen itulah yang membuat Freeport gerah. Di Hollywood, Florida, Amerika Serikat, pada Senin pekan lalu, Adkerson menyebut bahwa aturan itu merupakan "bentuk perampasan aset". Sepekan sebelumnya, di Jakarta, Adkerson mengancam akan membawa perselisihan tersebut ke arbitrase dengan tuduhan pemerintah sewenang-wenang mengubah kontrak.

Menurut seorang petinggi Kementerian ESDM, Freeport telah mengemukakan bahwa mereka sebenarnya tak keberatan bila permintaan yang lain tak dikabulkan pemerintah. Ihwal tarif pajak, misalnya, Freeport bersedia mengikuti aturan yang berlaku (prevailing), dan meninggalkan tarif yang berlaku tetap (nailed down) sebagaimana tertera dalam kontrak karya. Demikian juga soal peralihan status perizinan dari kontrak karya menjadi IUPK.

Poin-poin tersebut bahkan sudah dibahas dengan Freeport sejak Kementerian ESDM dipimpin Sudirman Said. Menurut bekas Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, Freeport menyadari bahwa berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemegang kontrak karya mesti mengubah izin menjadi IUPK agar bisa mengekspor konsentrat. "Dari dulu mereka sudah menyampaikan bersedia menjadi IUPK," kata Didu.

Juru bicara Freeport, Riza Pratama, menyanggah telah ada persetujuan. "Kami belum sepakat karena merasa belum ada kepastian invetasi," ujarnya.

Kalaupun melakukan divestasi, Freeport-McMoRan hanya bersedia melepas 30 persen saham di PT Freeport Indonesia. Chappy Hakim, ketika masih menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, mengatakan Freeport-McMoRan tak mau melepas saham hingga 51 persen karena tak mau kehilangan kendali di Freeport Indonesia.

Saat ini kepemilikan pemerintah Indonesia di Freeport mencapai 9,36 persen. Adapun kepemilikan swasta nasional melalui PT Indocopper Investama di Freeport sebesar 9,36 persen-meski seluruh saham Indocopper kini dimiliki lagi oleh Freeport. Artinya, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, Freeport mesti melepas 32,28 persen saham lagi untuk mencapai divestasi 51 persen. Tahun lalu Freeport menawarkan lagi 10,64 persen sahamnya, tapi transaksi itu urung.

Dalam PP Nomor 1 Tahun 2017, kewajiban melepas saham dilakukan perusahaan lima tahun sejak berproduksi. Maka, pada tahun kesepuluh, divestasi mencapai sekurang-kurangnya 51 persen. Frasa "sejak berproduksi" itu membuat Freeport semakin tersudut. Itu berarti Freeport harus melepas sahamnya saat ini juga karena mereka telah beroperasi sejak 1967 bila mengacu pada kontrak karya pertama-atau 1991 bila mengacu pada kontrak karya kedua. "Kalau operasi sudah lebih dari 10 tahun, ya serta-merta," kata Jonan.

Jonan memastikan tak ada kontrak yang dilanggar. Angka 51 persen justru mengacu pada kontrak karya. Soal perubahan kontrak karya menjadi IUPK, pemerintah tak memaksa Freeport, tapi memberi opsi. "Ini tak ada paksaan. Kalau mau mengekspor konsentrat, ya harus jadi IUPK," kata Jonan. "Bila enggak, ya, bangun smelter."

l l l

DALAM rapat finalisasi rancangan PP Nomor 1 Tahun 2017, Presiden Jokowi menepis keraguan para pembantunya terhadap kemampuan menebus saham Freeport. "Kita bisa beli, dana bisa dicari. Kalau tidak dari APBN, misalnya dari dana pensiun," kata Presiden dalam rapat seperti ditirukan seorang pejabat Kementerian BUMN.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah pusat memang diprioritaskan menjadi pemborong pertama saham Freeport. Bila tak bersedia, pemerintah daerah yang diprioritaskan. Selanjutnya badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Bila mereka tak bersedia, perusahaan swasta nasional yang bakal bertindak sebagai pembeli.

Pemerintah sudah menghitung harga wajar saham Freeport. Untuk 10,64 persen saham yang ditawarkan tahun lalu, pemerintah menaksir nilainya US$ 630 juta atau sekitar Rp 8,19 triliun dalam kurs US$ 1 sama dengan Rp 13 ribu. Dengan begitu, bila saham yang dilego sebanyak 32,28 persen, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 24,8 triliun. Ini jauh berbeda dengan hitungan Freeport yang menilai 10,64 persen saham saja harganya US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 22,1 triliun.

Masalahnya, kas pemerintah cekak. Itu sebabnya, Jokowi menginstruksikan untuk mencari sumber lain seperti dana pensiun. Bila rencana ini tersandung, pemerintah menyiapkan holding BUMN pertambangan untuk mencaplok Freeport.

Rencananya empat BUMN, yakni PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam, dan PT Timah, bakal bersatu di bawah payung PT Inalum. Dengan demikian, aset holding BUMN pertambangan bisa menembus Rp 100 triliun. Dengan aset jumbo, holding pertambangan bisa mendapatkan kredit lebih dari cukup dari bank untuk menebus 32,28 persen saham Freeport sekaligus.

Persoalan lain, hingga kini holding pertambangan belum terbentuk. Peraturan Pemerintah tentang Inbreng masih belum rampung digodok Kementerian Keuangan. Meski Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Holding BUMN sudah keluar, pemerintah membutuhkan aturan khusus untuk mengatur transaksi inbreng atau pemasukan antarperusahaan tambang.

Bila para pembeli prioritas tadi batal atau tak bersedia, sejumlah pengusaha dikabarkan sudah menunggu di tikungan. Seorang bankir yang tak mau disebutkan namanya mengatakan pengusaha itu antara lain pemilik Grup Rajawali, Peter Sondakh, dan pemilik Grup Saratoga, Edwin Soeryadjaya. Mereka masuk ke Freeport lewat jalan memutar. Edwin dan Peter tak membeli saham Freeport di sini, tapi saham induknya di Amerika.

Menurut sumber tadi, mereka berencana patungan untuk membeli sekitar 30 persen saham Freeport-McMoRan senilai US$ 6-7 miliar. Nilai kapitalisasi pasar perusahaan tersebut saat ini mencapai US$ 21,47 miliar atau sekitar Rp 279 triliun. Dengan memiliki saham mayoritas di perusahaan induk, mereka bisa mendorong divestasi di PT Freeport Indonesia. "Mereka sudah melakukan roadshow mencari dukungan," katanya.

Perhitungan bisnisnya, bila urusan dengan pemerintah Indonesia selesai, nilai kapitalisasi pasar Freeport diprediksi kembali menyentuh US$ 40 miliar. Bila kapitalisasi pasar Freeport kembali naik, menurut sumber tadi, nilai investasi yang dikucurkan untuk membeli saham perusahaan tambang itu otomatis melonjak. "Mereka juga bisa memperoleh profit lain dari divestasi saham kepada pemerintah dengan harga wajar pasar," ujarnya.

Edwin Soeryadjaya menyanggah berniat membeli Freeport. "Saya tidak ada rencana membeli Freeport," katanya. Orang dekat Peter Sondakh, Darjoto Setiawan, tak mau berkomentar. "Saya sudah pensiun. Silakan tanya Satrio Tjai," ujarnya. Satria Tjai adalah Direktur Pelaksana Grup Rajawali. Dihubungi terpisah, Satrio tak merespons.

Bukan sekali ini Peter Sondakh dikaitkan dengan Freeport. Dalam kawat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada 2006 di situs pembocor, WikiLeaks, terungkap bahwa Peter pernah menyatakan minatnya menjadi pemegang saham non-pengendali Freeport dalam jumlah besar. Minat tersebut disampaikan melalui surat kepada Andrianto Machribie, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia saat itu, yang lantas meneruskannya ke Kedutaan Amerika.

Anton Septian | Akbar Tri Kurniawan | Ayu Primasandi | Yandhrie Arvian | Vindry Florentin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus