Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBILAN tahun menjadi importir makanan kaleng membuat Rudy Haryanto berhasil merebut kepercayaan perusahaan Cina. Berbekal kepercayaan itu, pria asal Riau ini berikhtiar ”naik kelas”, dari agen penjual menjadi produsen. Ia sedang menyusun rencana besar: mengajak Xiamen Gulong Group Corp. Ltd., produsen makanan kaleng yang selama ini menjadi mitranya, membangun pabrik di Indonesia.
Tujuannya: mendekatkan produk makanan kaleng merek Gulong itu ke pasar Indonesia, sekaligus mengekspornya ke mancanegara. ”Jadi bisa menciptakan lapangan kerja dan menyumbang devisa,” ujar Rudy, Rabu pekan lalu. Bahan baku toh tak jadi masalah. Ikan, daging, sayur, dan kacang-kacangan, seluruhnya bisa dipasok dari Indonesia sendiri.
Gayung bersambut. Lampu hijau diberikan oleh perusahaan pelat merah asal Provinsi Fujian itu. Rudy kini sibuk menimbang-nimbang lokasi pabrik di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang tidak jauh dari lokasi pelabuhan. Paling lambat, pabrik ini beroperasi tiga tahun lagi. Investasi awalnya US$ 20 juta atau sekitar Rp 180 miliar—sebagian besar bersumber dari kantong Xiamen Gulong.
Rudy yakin rencana ini bisa mendulang untung karena dari tahun ke tahun pangsa pasar makanan kaleng merek Gulong di Indonesia cukup besar. ”Terutama pada tahun baru Imlek,” katanya. Produk Gulong, kata dia, juga dikenal di mancanegara dan dipasarkan di 54 negara. Pasar jumbo inilah yang dibidik Rudy. Pada Oktober 2009, perusahaan yang berdiri sejak 1954 itu juga pernah mendapat kontrak dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengadaan makanan buat pengungsi di Kamboja.
Kongsi Rudy dan Gulong hanyalah satu dari sekian banyak ”perkawinan” serupa di Indonesia belakangan ini. Itu tentu kabar baik di tengah perayaan 60 tahun hubungan Indonesia-Cina, yang jatuh pada bulan ini. ”Sekarang lagi tren, banyak pedagang beralih jadi produsen dengan menggandeng investor Cina,” kata Adi Harsono, Chairman Indonesian Business Association of Shanghai. ”Dan pengusaha Cina serius membangun fasilitas produksinya di sini.”
Salah satunya Midea Electric Co. Pte. Ltd. Dua pekan lalu, tersiar kabar, perusahaan elektronik terbesar di Cina itu akan mendirikan pabrik di Indonesia lewat anak usahanya, PT Midea Planet Indonesia. Di tahap awal, investasinya US$ 2 juta. ”Tapi kami siap berinvestasi lebih besar,” kata Steven Jiang, Vice President Asia Pacific The International Division Midea Electric Co. Pte. Ltd.
Kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China salah satu pemicu perusahaan ini memompa kapasitas produksi di Asia Tenggara. Rencananya, Midea akan membangun pabrik perakitan penyejuk udara berkapasitas 100 ribu unit per tahun. Pabrik yang menelan biaya sekitar US$ 30 juta ini akan melengkapi unit produksi Midea yang sudah lebih dulu ada di Vietnam.
Tak cuma melengkapi unit produksi yang sudah ada, perusahaan Cina juga mendominasi pabrikan yang memindahkan basis produksinya ke Indonesia. Dari US$ 540,7 juta nilai relokasi sejak 2009 hingga kuartal pertama 2010, sebagian besar dilakukan perusahaan manufaktur Cina. Mereka bergerak di sektor besi dan baja, elektronik, alas kaki dan barang kulit, serta tekstil dan produk tekstil.
Di antaranya Panasonic Corporation, yang memindahkan pabrik audio digital ke Indonesia. Di industri alas kaki dan barang kulit, ada New Balance dan Mizuno, dengan nilai relokasi US$ 200 juta. Menurut Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, para pengusaha Cina itu bahkan berupaya mencari lahan 10 ribu hektare untuk membangun kawasan ekonomi khusus.
Vice President Director PT Panasonic Gobel Indonesia Rinaldi Sjarif mengatakan biaya produksi untuk pabrik audio digital di Indonesia lebih kompetitif dibanding di Cina. Sedangkan Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia Harijanto berpendapat, industri alas kaki dan barang kulit Cina mulai mengalami pertumbuhan cepat, tapi tidak diimbangi ketersediaan buruh.
Hal itu diakui Adi Harsono. Ongkos produksi di sana, kata Adi, kian hari makin mahal. Sedangkan pendapatan ekspornya tergerus akibat menguatnya nilai tukar yuan terhadap dolar atau euro. Belum lagi imbas akibat kebijakan satu anak, yang lahir pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. ”Mereka sudah memasuki usia dewasa dan menjadi tenaga kerja,” ucap Adi. ”Tapi, karena hidupnya dimanja, mereka tidak setangguh orang tuanya.”
Mereka tidak mau lagi bekerja lembur, dan menginginkan gaji yang lebih besar. Banyak dari mereka yang memilih pulang kampung. Itu sebabnya, setelah tahun baru Imlek, negeri itu kekurangan tenaga kerja. ”Akibatnya, Guangzhou dan Shanghai menaikkan upah minimum regional,” kata Adi. Buntutnya, ya itu tadi, biaya produksi naik. Gejala ini menjadi perhatian khusus di sana.
Cina juga membutuhkan sumber alam yang melimpah di Indonesia. Contohnya habitat laut, minyak sawit, dan gas. Negeri itu bahkan membeli batu bara dari Indonesia, meski memiliki deposit batu bara terbesar di dunia dengan nilai kalori yang tinggi. ”Tapi kandungan sulfurnya besar, sehingga harus dicampur,” kata Adi Harsono. Itu sebabnya sebagian mereka beli dari Indonesia.
DI pertemuan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Singapura, November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Cina Hu Jintao sepakat memperingati 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Cina. Keduanya menyebut 2010 sebagai tahun persahabatan Indonesia-Cina.
Meski sudah enam dekade, sejarah di masa lalu menunjukkan ”persahabatan” itu tidak berlangsung mulus. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, hubungan kedua negara begitu lengket, ditandai dengan poros Jakarta-Beijing. Tapi hubungan itu berantakan setelah peristiwa Gerakan 30 September meletus. Hubungan politik dibekukan. Semua hal yang berbau Cina dilarang. ”Dari buku, tulisan, sekolah, hingga kebudayaan yang berbau Cina,” kata Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Hubungan diplomatik dibuka kembali pada Juli 1990. Sejak itu, hubungan ekonomi dijajaki. Sukamdani Sahid Gitosardjono, pendiri Sahid Group, jalan lebih dulu ke sana. Atas restu Soeharto, para pebisnis—termasuk Sofjan—menyusul kemudian. Namun, jauh sebelum itu, pada 1980-an, Grup Sinar Mas, Salim, dan Lippo menjadi pelopor menanam duit di sana.
Hubungan keduanya kian meningkat di era Presiden Abdurrahman Wahid. Di masa Gus Dur inilah semua hal berbau Cina direhabilitasi. ”Tahun baru Cina jadi libur nasional, sekolah Cina dibuka, koran dan televisi boleh pakai bahasa Mandarin,” kata Sofjan.
Sempat terputusnya hubungan itu, kata Adi Harsono, menjadi pemicu rendahnya realisasi investasi Cina di Indonesia. ”Pengalaman pahit itu membuat kita tidak mengerti Cina, begitu pula sebaliknya,” kata Adi. Tahun lalu, misalnya, realisasi investasi Cina di Indonesia US$ 65,4 juta, turun dari tahun sebelumnya, yang mencapai US$ 139,5 juta. Meski begitu, Adi menilai kepercayaan dan hubungan people to people antara warga Indonesia dan Cina mulai meningkat.
Sofjan mengakui hal ini. ”Dalam satu seminar di Beijing, mereka menyatakan, di antara negara ASEAN, hanya Indonesia yang penting buat Cina,” ujarnya. Karena itu, mereka tidak mau kehilangan Indonesia. Sofjan meminta Cina membuktikan pernyataannya bahwa kedua negara bersaudara dan hubungan keduanya saling menguntungkan. Caranya dengan mendirikan industri pengolahan, menyediakan pembiayaan untuk proyek-proyek infrastruktur, dan membantu manufaktur di Indonesia. ”Jangan cuma beli bahan mentah atau jual barang saja ke sini,” kata Sofjan.
Pemerintah Cina sudah menyatakan komitmennya membantu Indonesia, terutama menyediakan pembiayaan proyek infrastruktur. Hal ini tertuang dalam kesepakatan rapat Komisi Bersama Indonesia-Cina di Yogyakarta awal April lalu, yang dihadiri Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Perdagangan Cina Chen Deming. Betul tidaknya ikhtiar itu, kata Sofjan, harus ditagih saat Perdana Menteri Wen Jiabao—yang kedatangannya pekan lalu ditunda karena terjadi gempa di Yushu, Provinsi Qinghai—datang ke Indonesia.
Dengan pertumbuhan ekonomi 11,9 persen di kuartal pertama tahun ini, Cina jelas lokomotif ekonomi dunia. Dengan pertumbuhan dua digit itu, Sofjan yakin produk Indonesia bisa terserap di Cina. ”Pasar Cina terlalu besar untuk ditinggalkan begitu saja,” katanya. Sedangkan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa masih berkubang dengan sederet masalah.
Itu sebabnya Sofjan menilai kunjungan Wen Jiabao penting buat Indonesia. Menjaga momentum kerja sama dengan Cina lebih menguntungkan ketimbang ribut-ribut soal renegosiasi 228 pos tarif—terkait dengan berlakunya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Cina awal tahun ini. ”Buat apa kita baru berkelahi sekarang untuk suatu hal yang belum tentu besar untungnya,” ujar Sofjan. ”Apalagi karena kita tidak menyelesaikan pekerjaan rumah.”
Meski begitu, ekonom Mirza Adityaswara mengingatkan, kerja sama dengan Cina untuk jangka panjang harus menguntungkan Indonesia. ”Kita harus bisa menaikkan posisi tawar dalam menentukan kontrak,” katanya. Dan keterlibatan Cina dalam proyek di Indonesia tetap harus dikompetisikan dengan transparan dan terbuka. ”Jangan semuanya diberikan ke mereka,” ujarnya.
Setumpuk pekerjaan rumah juga harus dibenahi, dari mengurangi penyelundupan, memberlakukan pajak buat pemasok barang Cina, mengenakan antidumping, hingga meningkatkan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia. Itu semua, kata Sofjan, yang bisa dikerjakan untuk mengurangi dampak perdagangan bebas ASEAN-Cina.
Tahir, Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat dan Pengusaha Indonesia-Tionghoa, mengatakan pemerintah harus lebih serius bekerja sama dengan Cina bila menganggap naga dunia itu penting buat Indonesia. Hingga saat ini, misalnya, Indonesia tidak punya konsulat jenderal di Shanghai. Padahal Shanghai kini menjelma menjadi salah satu pusat keuangan dunia. ”Juga harus ada satu desk sendiri yang khusus ngurusin Cina,” kata pendiri Bank Mayapada ini.
Selain itu, masih ada masalah yang bisa mengganggu upaya Indonesia berburu investasi ke Cina. Gara-gara tumpang-tindih birokrasi, ratusan nota kesepahaman Indonesia-Cina yang sudah diteken jalan di tempat. Di antaranya proyek rel kereta api 300 kilometer di Kalimantan Tengah senilai US$ 1 miliar dan pembangunan pabrik baja di Batulicin, Kalimantan Selatan. Bila situasi ini berlanjut, bukan tidak mungkin Cina meninggalkan Indonesia. Birokrasi yang rumit bisa menyebabkan Indonesia kehilangan momentum.
TIM LIPUTAN KHUSUS
Penanggung Jawab: Padjar Iswara.
Koordinator: Yandhrie Arvian.
Penulis: Yandhrie Arvian, Padjar Iswara, Retno Sulistiyowati, Sapto Pradityo, Nieke Indrietta, Erwin Daryanto, Suryani Ika Sari, Fery Firmasnyah.
Reporter: Rumbadi Dalle, Fery Firmasyah.
Editor: M. Taufiqurohman, Idrus F. Shahab, Bina Bektiati, Nugroho Dewanto, Amarzan Loebis, Arif Zulkifli, Padjar Iswara, R. Baskoro, Mardiyah Chamim, Purwanto Setiadi.
Editor Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh, Sapto Nugroho
Periset Foto: Bismo Agung.
Desain: Gilang Rahadian, Eko Punto, Hendy Prakasa, Kiagus Aulia, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Tri W. Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo