Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tak Lagi Berbatas Tembok

Para seniman jalanan mentransformasi piringan hitam sebagai tembok. Cukup menyegarkan meski spirit jalanan berkurang.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIRINGAN itu tak lagi hitam. Delapan jamur payung berbagai ukuran terlukis di permukaannya. Totol hijau mengkilap timbul di kepala jamur yang berwarna kuning dan oranye. Batang cokelatnya seperti sulur melengkung, tumbuh di semak-semak merah. Dengan latar oranye dari cat semprot, piringan hitam (vinyl) itu menjadi cerah sekaligus meriah.

Adalah Zeus, seniman street art, yang menodai kekelaman piringan hitam itu. Bersama lebih dari 50 seniman lain, Zeus mentransformasi media perekam suara berdiameter 30 sentimeter itu menjadi tembok jalanan, tempat mereka biasa menorehkan mural dan grafiti. Karya seniman jalanan dari berbagai kota ini berjejer dalam pameran Vinyl Attack di ruangan sempit Garduhouse, sebuah galeri nonprofit di Jakarta Selatan, 17-24 April.

Asisten Direktur Seni Garduhouse Kenly mengatakan tembok kota mulai membosankan bagi pelaku street art. Mereka mulai beralih ke media lain, seperti kanvas, sepatu, urban toys, dan sekarang dengan vinyl. “Kami ingin tampil lebih fresh,” ujarnya.

Hasilnya tak mengecewakan. Banyak seniman mampu mengatasi karakter piringan hitam dari plastik dan tak rata itu. FTB (seniman street art tak pernah menggunakan nama asli), misalnya, menampilkan tiga huruf namanya dengan airbrush bercorak putih-merah yang meniban latar belakang motif batik cokelat. Hasil semprotannya tetap rapi dan halus.

Para street artist juga mampu keluar dari batasan lingkaran piringan. Salah satunya terlihat dari The Popo, yang menampilkan karakter makhluk gundul putih polos dengan aura emas di sekeliling tubuhnya. Si pelukis memecahkan sedikit bagian piringan di sebelah kiri, dan si gundul di dalam piringan terlihat memakan pecahannya. Sederhana, tapi nakal dan tak terduga.

Begitu juga dengan wajah yang ditampilkan Muth. Piringan bercat biru menjadi rambut kribo gondrong. Muth menambahkan dempulan di bawah piringan guna membentuk bagian mata ke bawah. Dengan pipi cekung serta hidung dan bibir agak besar, muncullah wajah gitaris asal Amerika, Jimi Hendrix.

Sejumlah perupa justru berhasil memanfaatkan kekuatan lingkaran. Salah satunya Rest, yang menjadikan piringan hitam sebagai satu loyang pizza, lengkap dengan potongan sosis dan paprika. Seniman lain, Yeah, mempertahankan fungsi piringan hitam dengan menambahkan tulang tangan dan jari, terbuat dari kardus, yang menggerakkan piringan.

Dalam pameran terlihat sejumlah seniman masih kagok dengan transformasi ke piringan hitam. Beberapa di antaranya tak mampu menghindari jebakan lubang di tengah piringan. Sejumlah seniman menambalnya, tapi beberapa lagi terperangkap lubang kecil itu. Artcowars, yang menampilkan karakter Storm Trooper dalam Star Wars, salah satunya. Lubang kecil cukup merusak wajah putih Storm Trooper.

Pink Girl Go Wild justru menambah 23 lubang dengan berbagai ukuran. Sisi kanan piringan dikikis hingga menyerupai palet. Piringan yang sudah berganti rupa itu memunculkan motif kayu. Meski agak berlebihan, terlihat keberanian si pembuatnya dalam mengeksplorasi kerapuhan piringan.

Sejumlah seniman juga bereksperimen dengan karya tiga dimensi. Happy Arrogant menampilkan monster badut Arroganster, mirip karakter Joker dalam Batman-The Dark Knight, pada dua piringan. Rambut panjang aneka warna monster itu terbuat dari semen putih, terburai ke kiri dan kanan. Kaleng cat semprot dibelah vertikal dan ditempel di pinggir dua piringan, seolah dari situlah rambut Arroganster berasal.

Seniman lain, Bujangan Urban, menghasilkan gramofon dari resin lengkap dengan victrola, pengeras suara berbentuk trompet. Gramofon itu berwarna pink kusam dengan coretan spidol di tubuhnya. Piringan hitam yang terpasang digambari sosok pria meniru Dewa Siwa. Sayang, tak banyak eksplorasi grafiti dalam replika ini sehingga penampilannya terkesan seadanya.

Tapi munculnya instalasi layak dipertanyakan karena street art identik dengan dua dimensi dan dibuat dengan cepat untuk menghindari penangkapan aparat. Kerumitan berlebihan justru berpotensi mengurangi spirit jalanan. Kenly mengakui penurunan semangat ini. Menurut dia, hakikat street art adalah bermain di ranah publik. “Sebenarnya begitu dibawa ke galeri saja, semangat jalanan berkurang,” ujarnya.

Dengan kekurangan di sana-sini, pameran ini cukup mampu menampilkan kesegaran. Sama seperti peraturan dan aparat yang tak bisa membatasi mereka mencoret tembok kota, kini tembok pun tak bisa menghalangi mereka berkreasi.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus