Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perkawinan Model Ipon

Kawin kontrak melanda pasaman. buruh-buruh cdcp (philipina) menikah atau kawin sementara dengan penduduk pasaman. pemda dan masyarakat setempat memprotes. (hk)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA Ipon hanyalah seorang gadis desa yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah. untuk membiayai hidupnya ia terpaksa bekerja sebagai tukang masak di perkampungan buruh Filipina di Kanagarian Kinali, Pasaman, Sumatera Barat. Tapi nasib telah mengubahnya menjadi "nyonya" seorang insinyur mekanik dari Filipina, Rusticadizon. Pernikahan, yang mereka lakukan di muka penghulu liar, melahirkan seorang bayi blasteran, Argentino, yang kini berusia 8 bulan. Perkawinan model Ipon itulah yang kini menghebohkan masyarakat Pasaman. Sebanyak 33 dari 120 orang buruh Filipina, yang dikontrak untuk membangun jalan antara Pasaman dan Padang Pariaman, ternyata menikah atau kawin sementara sampai kontrak "suami" berakhir. Apa yang disebut "kawin kontrak", yang semula ramai di Kalimantan, sekarang melanda ranah Minang. Tapi, rupanya, pemerintah daerah dan masyarakat Pasaman tidak sepenuhnya bisa menerima "sumando" asing. Apalagi buruh Filipina itu dianggap telah melanggar adat, agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat setempat. Di sekitar tempat penampungan itu, setiap malam kuping penduduk bising oleh hingar bingar musik disko. Belum lagi kabar kehidupan bebas antara pekerja wanita dan buruh asing itu -- sangat menusuk hati penduduk. "Kehidupan dalam perkampungan itu seperti kambing dan ayam saja," ujar seorang penduduk. Protes dari masyarakat ke Pemda dan Bina Marga akhirnya ditanggapi bupati dan DPRD. September 1982, Bupati Saruji Ismail bersama anggota Muspida, datang meninjau perkampungan itu dan mengimbau agar para pendatang menghormati hukum yang berlaku. Juga diminta agar tidak ada lagi pernikahan liar itu. Saat itu pasangan yang menikah baru sekitar 21 orang. "Secara pribadi saya tidak setuju dengan model perkawinan itu. Sebab nanti akan jadi beban sosial: "akan banyak janda dan anak telantar di daerah ini," ujar Saruji, yang membenarkan bahwa tidak ada hukum yang bisa digunakan untuk menindak perkawinan semacam itu. Namun imbauan itu tidak mempan. Pernikahan tak resmi itu berjalan terus. Dari 21 meningkat menjadi 33 pasangan. Sebab itu Bina Marga, selaku pimpinan proyek, mengeluarkan instruksi, 21 April lalu, melarang pernikahan model Ipon itu. Bagi yang telah telanjur, hubungan mereka dibatasi. Pihak istri tidak diperkenankan lagi memasuki perkampungan buruh yang dipagari kawat berduri itu. Sebaliknya, suami mereka diwajibkan kembali ke tempat penampungan sebelum pukul 10 malam. "Kami hanya ingin mengurangi permasalahan, bukan untuk menceraikan mereka," kata pimpinan Bina Marga Kinali, Yusri Zaisa. Namun pembatasan itu tidak sepenuhnya bisa dijalankan. Sampai pekan lalu, masih banyak buruh asing yang menginap di rumah kontrakan istrinya, di sekitar perkampungan mereka. Sebaliknya, pada tengah malam, ada juga istri yang menyelinap ke perkampungan suaminya. Kawin kontrak melanda Pasaman, semenjak kontraktor Construction Development Corporation of Philipina (CDCP) membangun perkampungan di Kinali, September 1981. Untuk melayani buruhnya, CDCP mempekerjakan wanita di daerah itu, sebagai tukang cuci atau tukang masak. Pergaulan bebas antara wanita pribumi dengan buruh asing itulah yang kemudian menjelmakan mereka menjadi "suami istri". Rata-rata perkawinan itu dilakukan di depan penghulu liar, karena si wanita sudah hamil lebih dulu. Untuk menikah secara resmi mereka tidak bisa. Seperti kata Soeratoen, 56 tahun, yang dua anaknya, Ansah dan Isrina, dikawini buruh CDCP. Ia mengaku tidak berhasil meminta KUA Kecamatan Pasaman menikahkan anaknya secara resmi. Padahal, katanya, ketika itu kedua anaknya itu sudah hamil. Sebab itu, apa boleh buat, dengan bayaran Rp 100 ribu, penghulu liar yang membuka praktek di sekitar perkampungan itu menikahkan putri-putri Soeratoen. "Mau apa lagi, daripada punya cucu tidak jelas ayahnya," ujar Soeratoen pasrah. Kepala Kanwil Departemen Agama Kabupaten Pasaman, Drs. Rusli Rasyid, membenarkan bahwa pihaknya menolak semua permohonan pernikahan buruh-buruh asing itu. Sebab, syarat agama, tidak bisa dipenuhi calon pengantin pria -- KUA hanya bisa menikahkan orang Islam. Prosedur perkawinan campuran pun -- yang diminta undang-undang bagi orang asing yang akan menikahi pribumi -- tidak terpenuhi. Tapi, walau yang terjadi hanya kawin kontrak, para istri buruh asing itu tidak peduli. Ipon, yang "nyonya" insinyur itu, misalnya, tahu benar bahwa perkawinannya tidak sesuai dengan hukum negara dan agama -- ia membayar penghulu liar Rp 250 ribu. "Biar saja, kami senang begini," kata Ipon kepada TEMPO. Ia malah bangga, sebagai orang desa bisa mendapat suami yang disebutnya berkedudukan tinggi, walau sampai sekarang ia masih tinggal di rumah sewaan seluas 3 x 3 m. Ipon, bertubuh montok, bukan tidak tahu pula bahwa perkawinannya hanya sementara saja. "Saya tahu, kalau kontrak suami saya habis, ia akan pergi. Tapi buat apa dirisaukan, orang yang sudah beranak lima pun bisa bercerai," kata Ipon mantap. Hanya saja sebelum perpisahan itu benar-benar terjadi ia bermaksud membangun rumah. "Untuk masa depan anak saya," ujar Ipon, yang tubuhnya sarat dengan perhiasan emas hadiah suaminya. Kepasrahan yang sama tampak pula pada Soeratoen. Salah seorang menantunya, Boyiscol, memang hanya sempat beberapa bulan mendampingi anaknya, Ansah. Buruh asing itu dipindahkan CDCP ke Irak. "Soal jodoh atau cerai tidak bisa diramalkan," ujar Soeratoen, yang masih punya seorang menantu Filipina lagi, Eddy Alfonso, suami Isrina. "Janda" Boyiscol, Ansah, mengaku masih menerima surat dan kiriman uang dari suaminya di Irak. "Ia mengatakan rindu pada anaknya. Tapi, kalau tidak kembali lagi, memang sudah nasib saya," katanya polos. Karena merasa pasrah itulah para istri buruh asing tidak suka diributkan dan dikenai macam-macam peraturan. "Saya dapat suami, kok orang lain yang ribut," sanggah Asnidar, 26 tahun, yang mendapat suami Thoni Santos. Ia merasa kesal, karena suaminya patuh pada peraturan hanya pulang siang hari saja. Padahal dari pernikahannya, ia sudah mendapat putra yang diberinya nama Filindo, singkatan dari Filipina-Indonesia. Kekesalan yang sama, tentu saja, juga dilontarkan pihak para "suami". Edy Alfonso, misalnya, mengeluh: "Kenapa baru sekarang dilarang -- setelah semuanya terjadi?" Edy, 34 tahun, masih bisa tetap pulang menginap di rumah istrinya, berkat jaminan mertuanya. Walau sudah punya 6 anak di negaranya sana, Edy mengaku mencintai Isrina dan anaknya dari wanita itu. "Kalau sudah punya anak, bagaimanapun sulit untuk berpisah," ujar Edy, sambil menyatakan keinginannya untuk menetap di Indonesia. Yang lebih murung akibat peraturan itu adalah Rhene de Yesus, 28 tahun, yang punya istri di Simpang Tiga, agak jauh dari perkampungannya. Agak lain dari rekan-rekannya, ia jatuh cinta pada Marnis, gadis tamatan SMEA. Yesus akhirnya masuk Islam dan kawin secara Islam dengan Marnis. Sejak keluarnya peraturan itu, ia tidak bisa melihat istrinya yang lagi hamil. Padahal, Yesus tidak ingin berpisah dengan Marnis dan ingin tinggal di Indonesia bila kontraknya berakhir. "Saya akan bahagiakan istri saya itu karena saya cinta sekali," ujar Yesus, yang mengaku dulunya duda dan meninggalkan seorang anak di kampungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus