SEMULA Ipon hanyalah seorang gadis desa yang tidak sempat
mengenyam bangku sekolah. untuk membiayai hidupnya ia terpaksa
bekerja sebagai tukang masak di perkampungan buruh Filipina di
Kanagarian Kinali, Pasaman, Sumatera Barat. Tapi nasib telah
mengubahnya menjadi "nyonya" seorang insinyur mekanik dari
Filipina, Rusticadizon. Pernikahan, yang mereka lakukan di muka
penghulu liar, melahirkan seorang bayi blasteran, Argentino,
yang kini berusia 8 bulan.
Perkawinan model Ipon itulah yang kini menghebohkan masyarakat
Pasaman. Sebanyak 33 dari 120 orang buruh Filipina, yang
dikontrak untuk membangun jalan antara Pasaman dan Padang
Pariaman, ternyata menikah atau kawin sementara sampai kontrak
"suami" berakhir. Apa yang disebut "kawin kontrak", yang semula
ramai di Kalimantan, sekarang melanda ranah Minang.
Tapi, rupanya, pemerintah daerah dan masyarakat Pasaman tidak
sepenuhnya bisa menerima "sumando" asing. Apalagi buruh
Filipina itu dianggap telah melanggar adat, agama, dan hukum
yang berlaku di masyarakat setempat. Di sekitar tempat
penampungan itu, setiap malam kuping penduduk bising oleh hingar
bingar musik disko. Belum lagi kabar kehidupan bebas antara
pekerja wanita dan buruh asing itu -- sangat menusuk hati
penduduk. "Kehidupan dalam perkampungan itu seperti kambing dan
ayam saja," ujar seorang penduduk.
Protes dari masyarakat ke Pemda dan Bina Marga akhirnya
ditanggapi bupati dan DPRD. September 1982, Bupati Saruji Ismail
bersama anggota Muspida, datang meninjau perkampungan itu dan
mengimbau agar para pendatang menghormati hukum yang berlaku.
Juga diminta agar tidak ada lagi pernikahan liar itu. Saat itu
pasangan yang menikah baru sekitar 21 orang. "Secara pribadi
saya tidak setuju dengan model perkawinan itu. Sebab nanti akan
jadi beban sosial: "akan banyak janda dan anak telantar di
daerah ini," ujar Saruji, yang membenarkan bahwa tidak ada hukum
yang bisa digunakan untuk menindak perkawinan semacam itu.
Namun imbauan itu tidak mempan. Pernikahan tak resmi itu
berjalan terus. Dari 21 meningkat menjadi 33 pasangan. Sebab itu
Bina Marga, selaku pimpinan proyek, mengeluarkan instruksi, 21
April lalu, melarang pernikahan model Ipon itu. Bagi yang telah
telanjur, hubungan mereka dibatasi. Pihak istri tidak
diperkenankan lagi memasuki perkampungan buruh yang dipagari
kawat berduri itu. Sebaliknya, suami mereka diwajibkan kembali
ke tempat penampungan sebelum pukul 10 malam. "Kami hanya ingin
mengurangi permasalahan, bukan untuk menceraikan mereka," kata
pimpinan Bina Marga Kinali, Yusri Zaisa.
Namun pembatasan itu tidak sepenuhnya bisa dijalankan. Sampai
pekan lalu, masih banyak buruh asing yang menginap di rumah
kontrakan istrinya, di sekitar perkampungan mereka. Sebaliknya,
pada tengah malam, ada juga istri yang menyelinap ke
perkampungan suaminya.
Kawin kontrak melanda Pasaman, semenjak kontraktor Construction
Development Corporation of Philipina (CDCP) membangun
perkampungan di Kinali, September 1981. Untuk melayani buruhnya,
CDCP mempekerjakan wanita di daerah itu, sebagai tukang cuci
atau tukang masak. Pergaulan bebas antara wanita pribumi dengan
buruh asing itulah yang kemudian menjelmakan mereka menjadi
"suami istri". Rata-rata perkawinan itu dilakukan di depan
penghulu liar, karena si wanita sudah hamil lebih dulu.
Untuk menikah secara resmi mereka tidak bisa. Seperti kata
Soeratoen, 56 tahun, yang dua anaknya, Ansah dan Isrina,
dikawini buruh CDCP. Ia mengaku tidak berhasil meminta KUA
Kecamatan Pasaman menikahkan anaknya secara resmi. Padahal,
katanya, ketika itu kedua anaknya itu sudah hamil. Sebab itu,
apa boleh buat, dengan bayaran Rp 100 ribu, penghulu liar yang
membuka praktek di sekitar perkampungan itu menikahkan
putri-putri Soeratoen. "Mau apa lagi, daripada punya cucu tidak
jelas ayahnya," ujar Soeratoen pasrah.
Kepala Kanwil Departemen Agama Kabupaten Pasaman, Drs. Rusli
Rasyid, membenarkan bahwa pihaknya menolak semua permohonan
pernikahan buruh-buruh asing itu. Sebab, syarat agama, tidak
bisa dipenuhi calon pengantin pria -- KUA hanya bisa menikahkan
orang Islam. Prosedur perkawinan campuran pun -- yang diminta
undang-undang bagi orang asing yang akan menikahi pribumi --
tidak terpenuhi.
Tapi, walau yang terjadi hanya kawin kontrak, para istri buruh
asing itu tidak peduli. Ipon, yang "nyonya" insinyur itu,
misalnya, tahu benar bahwa perkawinannya tidak sesuai dengan
hukum negara dan agama -- ia membayar penghulu liar Rp 250 ribu.
"Biar saja, kami senang begini," kata Ipon kepada TEMPO. Ia
malah bangga, sebagai orang desa bisa mendapat suami yang
disebutnya berkedudukan tinggi, walau sampai sekarang ia masih
tinggal di rumah sewaan seluas 3 x 3 m.
Ipon, bertubuh montok, bukan tidak tahu pula bahwa perkawinannya
hanya sementara saja. "Saya tahu, kalau kontrak suami saya
habis, ia akan pergi. Tapi buat apa dirisaukan, orang yang sudah
beranak lima pun bisa bercerai," kata Ipon mantap. Hanya saja
sebelum perpisahan itu benar-benar terjadi ia bermaksud
membangun rumah. "Untuk masa depan anak saya," ujar Ipon, yang
tubuhnya sarat dengan perhiasan emas hadiah suaminya.
Kepasrahan yang sama tampak pula pada Soeratoen. Salah seorang
menantunya, Boyiscol, memang hanya sempat beberapa bulan
mendampingi anaknya, Ansah. Buruh asing itu dipindahkan CDCP ke
Irak. "Soal jodoh atau cerai tidak bisa diramalkan," ujar
Soeratoen, yang masih punya seorang menantu Filipina lagi, Eddy
Alfonso, suami Isrina. "Janda" Boyiscol, Ansah, mengaku masih
menerima surat dan kiriman uang dari suaminya di Irak. "Ia
mengatakan rindu pada anaknya. Tapi, kalau tidak kembali lagi,
memang sudah nasib saya," katanya polos.
Karena merasa pasrah itulah para istri buruh asing tidak suka
diributkan dan dikenai macam-macam peraturan. "Saya dapat suami,
kok orang lain yang ribut," sanggah Asnidar, 26 tahun, yang
mendapat suami Thoni Santos. Ia merasa kesal, karena suaminya
patuh pada peraturan hanya pulang siang hari saja. Padahal dari
pernikahannya, ia sudah mendapat putra yang diberinya nama
Filindo, singkatan dari Filipina-Indonesia.
Kekesalan yang sama, tentu saja, juga dilontarkan pihak para
"suami". Edy Alfonso, misalnya, mengeluh: "Kenapa baru sekarang
dilarang -- setelah semuanya terjadi?" Edy, 34 tahun, masih bisa
tetap pulang menginap di rumah istrinya, berkat jaminan
mertuanya. Walau sudah punya 6 anak di negaranya sana, Edy
mengaku mencintai Isrina dan anaknya dari wanita itu. "Kalau
sudah punya anak, bagaimanapun sulit untuk berpisah," ujar Edy,
sambil menyatakan keinginannya untuk menetap di Indonesia.
Yang lebih murung akibat peraturan itu adalah Rhene de Yesus, 28
tahun, yang punya istri di Simpang Tiga, agak jauh dari
perkampungannya. Agak lain dari rekan-rekannya, ia jatuh cinta
pada Marnis, gadis tamatan SMEA. Yesus akhirnya masuk Islam dan
kawin secara Islam dengan Marnis. Sejak keluarnya peraturan itu,
ia tidak bisa melihat istrinya yang lagi hamil. Padahal, Yesus
tidak ingin berpisah dengan Marnis dan ingin tinggal di
Indonesia bila kontraknya berakhir. "Saya akan bahagiakan istri
saya itu karena saya cinta sekali," ujar Yesus, yang mengaku
dulunya duda dan meninggalkan seorang anak di kampungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini