Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gairah dari Sendai

Seperti di Aceh, tsunami yang menimpa Jepang pada Maret 2011 mengubah jalan hidup ribuan orang. Salah satunya Toshimi Abe. Bencana itu menjadi titik balik bagi lelaki 38 tahun ini dalam memilih profesi. Sebelumnya menjadi kontraktor bagian informasi dan teknologi di sebuah perusahaan Jerman, setelah tsunami ia beralih menjadi nelayan.

Toshimi sering melakukan perjalanan ke Eropa saat masih menjadi pegawai. Di sana baru dia tahu masyarakat Eropa, khususnya Prancis, sangat suka makan tiram (oyster). "Saya juga baru tahu bahwa tiram Jepang adalah tiram terbaik sedunia," katanya saat ditemui di kantornya di Sendai, pertengahan November lalu.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti di Aceh, tsunami yang menimpa Jepang pada Maret 2011 mengubah jalan hidup ribuan orang. Salah satunya Toshimi Abe. Bencana itu menjadi titik balik bagi lelaki 38 tahun ini dalam memilih profesi. Sebelumnya menjadi kontraktor bagian informasi dan teknologi di sebuah perusahaan Jerman, setelah tsunami ia beralih menjadi nelayan.

Toshimi sering melakukan perjalanan ke Eropa saat masih menjadi pegawai. Di sana baru dia tahu masyarakat Eropa, khususnya Prancis, sangat suka makan tiram (oyster). "Saya juga baru tahu bahwa tiram Jepang adalah tiram terbaik sedunia," katanya saat ditemui di kantornya di Sendai, pertengahan November lalu.

Ketika tsunami datang, Toshimi menjadi saksi ganasnya air laut memorak-porandakan Sendai, tempatnya tinggal. Gelombang tsunami menerjang kawasan di pesisir timur laut Pulau Honshu, pulau utama Jepang. Sendai, sebagai ibu kota Provinsi Miyagi yang banyak ditinggali nelayan, mengalami kerusakan terparah.

Kehilangan tempat tinggal dan tempat bekerja memaksa dia membuat keputusan penting dalam hidupnya. "Bencana itu mendorong saya beralih profesi menjadi nelayan penangkap tiram," katanya. Pilihan yang tidak sulit karena kebetulan dia memang datang dari keluarga nelayan.

Pada Desember 2011, Toshimi dan seorang rekan mendirikan perusahaan jasa pemasok tiram, Wagaki Co Ltd. Perusahaan ini memberdayakan penangkaran tiram di sungai yang dialiri air laut mengandung plankton. Hasil penangkaran ini dipasok ke beberapa restoran di Jepang dan diekspor ke luar negeri.

Sekitar 20 nelayan penangkar tiram menjadi bagian dari perusahaan ini. Setiap hari mereka harus menyetor hasil tangkapan tiram ke perusahaan milik Toshimi. Hasil tangkapan tiram dan kerang mencapai 600-1.000 kilogram per hari dari para nelayan.

Di pasar domestik, tiram dijual 450 yen (sekitar Rp 47 ribu) per kilogram. "Tiram berukuran besar yang kita dapat biasanya dijual 120 yen (setara dengan Rp 12.500) per ekor," katanya. Setelah masuk menu restoran, harga tiram melesat menjadi 1.000 yen (sekitar Rp 100 ribu) per ekor.

Kisah serupa dialami Norihiro Kumagai, Chief Executive Officer Kumagai-ya Ltd, yang memproduksi jajanan tradisional Jepang kue beras atau mochi di Sendai. Bisnis keluarga yang dibangun pada 1695 ini musnah dalam sekejap akibat tsunami. Sebagai ahli waris, Norihiro diberi tanggung jawab mengembalikan bisnis kebanggaan keluarga itu.

Bersama sekitar 10 karyawan setianya, Norihiro membangun bisnisnya kembali dengan program bantuan keuangan pemerintah. Dana bantuan dipakai membangun gedung dan membeli peralatan untuk membuat mochi.

Namun urusan promosi membuatnya pusing karena tak punya dana. Beruntung, pada akhir 2012, ada produser perusahaan film animasi dari Tokyo yang datang ke Sendai dan ingin membantu korban tsunami.

Saat mampir ke tokonya, sang produser terinspirasi menjadikan toko kue Norihiro sebagai latar belakang cerita di film animasi terbarunya. Pada Januari 2014, muncullah film animasi berjudul Wake Up, Girls, yang populer di Jepang. "Berkat film itu, kini kami dikenal di mana-mana," kata Norihiro.

Lain lagi cerita Hiroshi Sasaki, Kepala Sasaki Shinzo atau Sasaki Sake Brewery yang berdiri sejak 1940. Di pabrik ini dibuat sake terkenal seantero Jepang, Naminooto. Merek ini dikenal beraroma kuat dan cocok menjadi teman makan seafood.

Namun tsunami juga menghancurkan pabriknya. Berbekal bantuan pemerintah, Hiroshi bangkit dari keterpurukan. Dia merelokasi pabriknya ke kota kecil Natori. Setelah berjalan tiga tahun, pabrik ini mampu memproduksi 80 ribu liter sake per tahun untuk membuat enam varian sake merek Naminooto.

Setelah tiga tahun berlalu, bencana ganas itu tidak lagi menjadi "buah" penyesalan. Seperti yang dirasakan Toshimi. "Mungkin kalau tsunami tidak terjadi, saya tidak menjadi seperti sekarang," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus