Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN potong ikan kayu berwarna gelap berserakan di atas nampan plastik di sebuah toko oleh-oleh di Desa Lampulo, Banda Aceh, awal Desember lalu. Si pemilik toko, Fauziah, mengambil satu per satu potongan ikan sepanjang 15 sentimeter itu dengan hati-hati dan memasukkan ke kemasan kardus bermerek Cap Kapal Tsunami.
Perempuan 46 tahun ini menjelaskan ikan kayu atau keumamah adalah makanan khas Aceh berbahan baku ikan tongkol yang diiris kecil-kecil dan dikeringkan tanpa pengawet. Sesuai dengan namanya, potongan ikan tongkol kering itu mirip serpihan kayu gosong. Menurut Fauziah, ikan kayu sekarang sudah menjadi oleh-oleh wajib dari Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dia mempekerjakan belasan perempuan tetangganya yang lolos dari maut saat bencana tsunami menerjang sebagian daerah di Aceh pada 26 Desember 2004. Fauziah termasuk salah satu korban selamat. Suaminya meninggal tergulung air bah ketika hendak menuju pasar Peunayong seusai gempa besar. Beruntung, kelima anaknya selamat karena berlindung di sebuah bangunan dua lantai.
Fauziah ingat betul saat dia dan kelima anaknya menyelamatkan diri. Ada sebuah kapal kayu nelayan yang terseret gelombang hingga tersangkut di atas rumah. Karena masih berdekatan dengan lokasi berlindung, tanpa pikir panjang dia menarik anak-anaknya naik ke atas kapal. Rupanya, sudah ada 59 orang lain yang bersembunyi di atas kapal kayu itu. "Sambil duduk menggendong (anaknya) yang paling kecil berumur lima bulan," katanya. "Syukur, kami selamat."
Kapal nelayan di atas rumah itulah yang menjadi monumen tak terlupakan bagi Fauziah. Karena itu, dia sengaja menempelkan gambar kapal tersebut pada kardus ikan kayu yang dihasilkannya. "Begitu pula saya pakai merek dagang Cap Kapal Tsunami," katanya tersenyum.
Bisnis ini tidak dengan mudah dibangun Fauziah. Apalagi dia sempat kehilangan semangat hidup dan putus asa beberapa saat setelah bencana. Beruntung, sebuah lembaga swadaya masyarakat datang memberikan pelatihan mental dan keterampilan mengolah ikan kayu. "Semangat saya kembali tumbuh," katanya.
Pada awal 2006, Fauziah membulatkan niat membuka usaha pengolahan ikan kayu yang ia rintis dengan modal awal Rp 500 ribu. Kini usaha produksi ikan kayu ibu lima anak itu meroket dengan penghasilan rata-rata Rp 15-20 juta saban bulan. Bahkan, jika musim haji, dia bisa mengantongi pendapatan hingga Rp 170 juta per bulan. Dari usaha itu, dia bisa menyekolahkan kelima anaknya.
Selain beroleh materi, Fauziah mendapat puluhan piagam penghargaan dari berbagai lembaga. Kini piagam-piagam itu dia pamerkan di dinding tokonya. "Mungkin ini namanya berkah tsunami," katanya.
Pengalaman pahit juga dialami Abubakar Usman, warga Banda Aceh. Pria kelahiran Glumpang Minyeuk, Sigli, 20 April 1949, itu mendapat julukan raja retail Banda Aceh. Dia adalah pemilik 20 gerai supermarket Pante Pirak yang tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar. Abubakar juga membuka bisnis restoran, salon, dan warung kopi di bawah payung Grup Pante Pirak.
Abubakar mengaku bisnisnya sempat ambruk total akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Tiga dari empat gerai supermarket yang baru dibangun saat itu rusak parah. Satu gerai di Krueng Aceh rata dengan tanah, sedangkan dua gerai di Peunayong dan Diponegoro terendam air. Cuma tersisa satu gerai di Desa Neusu. "Miliaran rupiah harta saya lenyap seketika," katanya. "Tiga hari pertama, jiwa saya terguncang dan tak tahu harus berbuat apa."
Satu pekan setelah air bah surut, Abubakar hanya merenung. Namun kesedihannya sirna lantaran sadar hanya harta yang hilang. Keluarga intinya, seorang istri dan empat anaknya, selamat. Setelah mengumpulkan karyawannya yang selamat, dia membangun ulang usaha berbekal satu gerainya yang tersisa di Neusu.
Beruntung bagi Abubakar, Pemerintah Kota Banda Aceh dan rekan-rekannya penyuplai barang dagangan dari Medan membantu. Mereka mengizinkan mengambil barang dagangan tanpa bayaran di muka. Tak sampai satu tahun, Abubakar mampu menghidupkan lagi tiga gerainya yang rusak. Puncaknya, pada 2012, jumlah gerai Abubakar mencapai 30 unit dengan pegawai 700 orang. "Saya bersyukur bisa menghidupkan lagi bisnis yang sempat mati," katanya.
TIDAK hanya melahirkan pengusaha sukses, bisnis pariwisata dan perhotelan juga tumbuh di Aceh setelah bencana. Potensi alam, seperti garis pantai indah Bumi Serambi Mekah, menjadi daya tarik wisatawan.
Gregory Crook, turis dari Selandia Baru, mengaku sengaja ke Aceh hanya untuk berlibur di pantai Lampuuk, yang berjarak 30 menit perjalanan darat dari Banda Aceh. Insinyur teknik sipil ini mengatakan perjalanan melelahkan dari Wellington-Perth-Singapura-Medan-Banda Aceh terbayar lunas oleh keindahan pasir putih Lampuuk. "Lampuuk adalah pantai terindah yang pernah saya jumpai," kata Crook, pertengahan November lalu.
Pria 27 tahun ini memilih tinggal di sebuah penginapan pinggir pantai bernama Joel's Bungalow. Crook merasa betah tinggal di penginapan yang terbuat dari kayu dan bambu tersebut. Desiran angin laut begitu terasa karena penginapan ini persis menghadap ke pantai.
Pemilik Joel's Bungalow, Zulfitri Ahba, mengaku memulai berbisnis di Aceh pada 2007. Sepulang merantau dari Italia, dia menanamkan uang Rp 1,5 miliar untuk bungalo di atas lahan seluas dua hektare. Penginapan itu mempekerjakan penduduk sekitar secara bergiliran.
Zulfitri mematok harga Rp 200-600 ribu per malam untuk satu bungalo. Setiap bulan, dia meraup pendapatan Rp 25-50 juta. "Saya ingin menumbuhkan ekonomi di Aceh meski skalanya kecil," katanya.
Zulfitri ingin membongkar persepsi lama yang mengatakan Aceh tak ramah untuk industri wisata. Sebagai bukti, di sepanjang pantai Lampuuk yang membentang sejauh lima kilometer, berdiri belasan bungalo dan homestay. Belum lagi kafe dan warung yang bertebaran sepanjang pantai.
Ceruk bisnis ini juga diendus pengusaha retail Hermes Thamrin. Meski bukan putra asli Aceh, dia berani menanamkan Rp 100 miliar untuk membangun Hotel Hermes Palace di Banda Aceh pada 2006. Dalam waktu enam bulan, hotel bintang empat itu jadi.
Investasi itu bermula dari kunjungan Hermes ke Aceh pada 2005. Distributor telepon seluler Nokia bernama Global Teleshop kesulitan mencari penginapan di Banda Aceh. Rupanya, ketidaknyamanan itu juga dirasakan sejumlah warga asing dari berbagai lembaga swadaya yang turun tangan ke Aceh. Walhasil, hampir semua pekerja LSM asing itu menginap di Medan. "Karena itu, saya langsung cari cara membangun hotel," katanya.
Hermes lantas tancap gas dengan membeli lahan 8.000 meter persegi di pinggir Jalan T. Panglima Nyak Makam, Banda Aceh. Selanjutnya dia mendatangkan 1.200 tukang bangunan dari Pulau Jawa, yang ia terbangkan dengan pesawat komersial. Meski mahal, Hermes tak punya pilihan lain. Sebab, saat itu belum ada tenaga pembangun hotel profesional di Aceh.
Delapan tahun sudah berlalu, Hermes Palace tetap bertahan. Bahkan Hermes Palace adalah satu-satunya hotel bintang empat di Banda Aceh. Tingkat hunian hotel itu cukup tinggi, terlebih pada pertengahan hingga akhir tahun. Hermes mengaku mampu mengantongi pendapatan sekitar Rp 3-4 miliar per bulan dari hotelnya.
Namun yang membuat dia bangga adalah hampir 95 persen pekerja Hermes Palace adalah masyarakat Aceh. Dia mengaku senang bisa mengajari warga sekitar bekerja profesional di bidang perhotelan. "Awalnya memang susah mengajari mereka, tapi mereka bisa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo