TAK hanya orang kota, orang desa pun ada yang berebut membeli kapling. Itu terjadi di Desa Bojong Picung, Cianjur, Jawa Barat. Bedanya, kapling yang diperebutkan di situ tidak dipakai untuk mendirikan rumah, melainkan untuk pekuburan. Pekuburan di sana memang sudah penuh. Bila ada yang meninggal, terpaksa dikuburkan di bagian pinggir, yang berbatasan dengan Sungai Ciranjang. Sayangnya, dari hari ke hari, tepian pekuburan itu terus dikikis air. Sampai, pernah terjadi, mayat yang belum lama dikuburkan tiba-tiba kaki atau kepalanya menyembul keluar - tentu menimbulkan pemandangan yang seram. Haji Zaenal Asikin, 56, sesepuh pesantren Darmaga, yang ada di desa itu, lalu berinisiatif agar penduduk patungan membeli kapling untuk dijadikan pekuburan baru. Di luar dugaan, gagasannya disambut baik oleh warga. Setelah ke sana kemari dicari, akhirnya ditemukan sebidang tanah yang kira-kira cocok. Letaknya, kebetulan, persis di seberang sungai pekuburan yang lama. Tanah seluas 140 tumbak itu dibeli dengan harga Rp 35 ribu per tumbak. Zaenal segera membuka pendaftaran. Dalam sekejap, kapling kubur itu habis dipesan. Ada yang memesan empat tumbak, tiga tumbak atau cuma setengah tumbak - bergantung pada kemampuan keuangan atau jumlah anggota keluarga masing-masing. Beberapa peminat lain terpaksa tak kebagian karena kapling kubur sudah habis di-booking. Persoalan timbul ketika beberapa hari kemudian, Mei lalu, seorang warga desa itu meninggal. Justru dia bukan orang yang ikut berebut kapling kubur. Akan dikuburkan di tempat lama, tak mungkin. Di tempat baru, dia tak punya jatah. Dihanyutkan ke Ciranjang, juga tak mungkin, 'kan? Zaenal lalu mengajak pemilik kapling kubur berembuk. Keputusannya: jenazah dikuburkan di pekuburan yang baru. "Segalanya memang dari Allah. Kami berebut mendapat kapling dengan susah payah. Tapi penghuni pertamanya justru orang yang tidak pernah ikut campur sedikit pun," ujar Zaenal, bernada dakwah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini