MENJADI doktor, bukan dokter, kini terasa gampang. Dalam jarak dua minggu IKIP Jakarta meluluskan lima doktor baru: Sabtu pekan lalu dua doktor dan Sabtu dua minggu sebelumnya tiga. Scjak akhir 1970-an, promosi doktor di berbagai perguruan tinggi negeri memang tcrasa meningkat. Contohnya, dari sejak berdiri, 1949, hingga 1976 - praktis selama 27 tahun - UGM hanya meluluskan 17 doktor. Tapi dari 1977 hingga Mei lalu, hanya dalam delapan tahun, 83 doktor berpromosi di UGM. Memang, ada proyek pengadaan doktor sebanyak-banyaknya. "Dengan lebih banyak memiliki doktor, sebuah perguruan tinggi dianggap lebih mampu mengembangkan ilmu secara mandiri," kata Sidharto Pramoetadi, direktur Pengembangan Sarana Akademis, Ditjen Pendidikan Tinggi. Anggapan itulah yang mendorong pihak Ditjen Pendidikan Tinggi sejak pertengahan 1970-an merintis kemudahan-kemudahan bagi proram doktor. Dan pada 1978, di direktorat jenderal itu dibentuk tim manajemen pengadaan doktor (TMPD). Tim ini menunjuk sembilan perguruan tinggi negeri menjadi perintis pelaksana program: UI, IPB, ITB, Unpad, UGM, Unair, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, dan IKIP Malang. Artinya, perguruan tinggi yang lain tak dibolehkan menguji calon doktornya sendiri. Sarjana di luar perguruan tinggi tersebut bila kepengin jadi doktor dipersilakan memilih salah satu dari kesembilan perguruan tinggi itu sebagai pembimbing dan pengujinya. "Dasar penunjukan itu, ya, kemampuan akademis perguruan tinggi itu sendiri," kata Pramoetadi pula. Tugas TMPD, antara lain, memberikan beasiswa bagi calon doktor. Sebelumnya, para calon doktor dibiarkan berjuang sendiri. Pihak almamater tahunya cuma menguji disertasi mereka. Sistem ini memang masih berjalan meski sudah ada TMPD. Cuma, tentu, tak mendapat pasaran lagi. Dan program doktor gaya lama semakin tak menarik setelah ditetapkan jalur pendidikan di perguruan tinggi lewat peraturan pemerintah, 1980. Ditetapkan, perguruan tinggi membuka jalur diploma alias tanpa gelar, jalur sarjana, dan jalur doktor. Jalur doktor dibagi dua jenjang. Seorang sarjana tak bisa langsung mengambil doktor. Ia dipersilakan mencari magister dulu - gelar di atas sarjana, yang diperoleh dengan cara kuliah dua tahun, dengan menyusun tesis. Sesudah lulus, baru ia boleh mengambil ancang-ancang penelitian untuk doktornya. Pendidikan khusus doktor berada di fakultas baru, yang disebut fakultas pascasarjana, yang sengaJa dlbentuk dl kesembllan perguruan tinggi yang ditunjuk itu. Gaya baru ini ditiru dari perguruan tinggi di Amerika, sedangkan gaya lama adalah warisan aman Belanda, tutur Pramoetadi. ROMLAN Haris Loebis, dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, merasakan kemudahanprogram doktor gaya baru. Karena USU belum berhak menguji doktor, ia mengikuti kuliah pascasarjana di Unpad, Bandung. "Saya mendapat beasiswa Rp 110.000 per bulan dari TMPD," kata Romlan, yang lulus sarjana biologi dari UGM pada 1978. Disertasinya masih dalam tahap pembahasan. Bila nanti promotornya menyetujui, ia akan meneliti masalah lingkungan di muara Sungai Deli dan Sungai Selat Malaka, Sumatera Utara. Bagi Romlan, tak ada kesulitan apa pun, selain, "Saya harus hidup hemat di Bandung," kata bapak dua anak ini. Program ini tentu saja akan semakin lancar bila si calon doktor itu berasal dari perguruan tingginya sendiri. Achmad Djunaidi, 47, dosen di IKIP Jakarta, 25 Mei lalu memperoleh doktor untuk disertasinya mengenai pengajaran bahasa Inggris di sekolah menengah umum. Dengan beasiswa TMPD Rp 150.000 per bulan dan subsidi biaya penelitian Rp 750.000, Achmad menyelesaikan program doktornya sekitar tiga tahun. Besar beasiswa dari TMPD antara Rp 3,5 juta dan Rp 4,5 juta. Ini termasuk proses yang cepat. Program doktor gaya baru membatasi kuliah magister selama dua tahun, kemudian dilanjutkan dua tahun lagi, dan sctahun untuk penelitian. Total dibutuhkan waktu lima tahun. Ini bisa diperpanjang dua tahun. Tapi bila si calon tak juga merampungkan penulisan disertasinya, ia digolongkan drop out. Tapi yang bernasib malang seperti itu terhitung jarang. Menurut Prof. Dr. Masrun, sekretaris Lembaga Pendidikan Doktor UGM (universitas tertua di Indonesia ini baru akan meresmikan fakultas pascasarjananya Agustus tahun ini), di lembaganya sejak 1977 baru dua calon doktor di-drop out. Karena jarangnya yang drop out dan begitu banyak yang lulus (hingga tahun ini sudah ada 200-an doktor gaya baru), ada kritik bahwa kebanyakan mutu disertasi doktor dengan beasiswa tak memuaskan. Seorang peneliti senior di Lembaga Penelitian Penyakit Hewan, Bogor, menyayangkan, para doktor sekarang tak banyak yang mau memasyarakatkan buah pikirannya dan hasil eksperimennya. Ini mencurigakan, katanya. Jangan-jangan disertasi mereka pun tak kuat. Direktur Pengembangan Sarana Akademis tentu saja membantah pendapat itu. Bobot keilmuwanan scseorang tak hanya bisa dibuktikan lewat tulisan ilmiahnya, kata Pramoetadi. Tujuan utama program pascasarjana adalah untuk meningkatkan kemampuan para dosen. Itu sebabnya, "80% dari sekitar 4000 mahasiswa pascasarjana adalah tenaga pengajar". Bahkan Setijadi, bekas pembantu dekan II Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta, yang kini menjadi rektor Universitas Terbuka, yakin bahwa sistem program baru lebih memungkinkan menghasilkan doktor bermutu karena adanya bimbingan. Tapi bisa jadi rendahnya mutu pendidikan di sekolah dasar dan menengah berpengaruh pula di pendidikan tinggi, termasuk kualitas doktornya. Dalam sebuah tulisannya di harian Sinar Harapan, Jakarta, 7 Juni, Peter Hagul, doktor di UGM, mengatakan: dosen-dosen pendidikan pascasarjana suka heran tentang mutu mahasiswa mereka. Sebenarnya, mereka layak lulus sarjana saja belum, tulis Peter. Dan mereka itulah yang bakal dipromosikan menjadi doktor. Bambang Bujono. Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta) dan Syahril Chili (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini