Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Atas Panggung, Jadi Sorotan

Menteri baru datang, dan mereka jadi sorotan. Ada yang dipersoalkan kompetensinya, ada juga yang diungkit masa lalunya.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Di Atas Panggung, Jadi Sorotan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Yusril Ihza Mahendra 48 tahun, Menteri Sekretaris Negara

Batu sandungan datang kepada Yusril Ihza menjelang susunan kabinet diumumkan. Syahdan, adalah anggota Dewan Penasihat Pemuda Partai Demokrat, Alex Asmasoebrata, yang datang ke Istana Negara beberapa jam setelah Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden.

Bekas pengurus Partai Demokrasi Indonesia di era Soerjadi itu membawa segepok dokumen yang mengabarkan penyalahgunaan jabatan oleh Yusril ketika ia Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Ceritanya, kata Alex, saat menjadi menteri pada 2000, Yusril meminta seorang hakim di Pengadilan Negeri Medan agar memberikan "perlindungan hukum" terhadap seorang pengusaha bernama Johan Tanari. "Johan adalah pemilik PT Gunung Mas, klien firma hukum milik Yusril," ujar Alex. Selain membawa dokumen, Alex juga menggandeng hakim itu ke Istana.

Tapi Yusril bukan politisi bau kencur. Menanggapi serangan Alex, ia tenang saja. "Beri saya waktu untuk mempelajarinya," katanya. Dan waktu membuktikan: meski ia dipojokkan, Yudhoyono toh tetap memilihnya sebagai Menteri Sekretaris Negara.

Bukan kali ini saja Yusril jadi sorotan. Ketika jadi Menteri Kehakiman, ia sempat jadi omongan karena memiliki Ihza & Ihza Law Firm, sebuah perusahaan hukum. Dari kantor itu Yusril mengaku mendapat gaji Rp 60 juta per bulan. Soal konflik kepentingan, Yusril berkomentar, "Conflict of interest bisa selalu terjadi. Tinggal bagaimana kita menjaga etika," katanya dalam wawancara dengan Tempo akhir tahun lalu.

Yusril adalah menteri yang berani masuk ke pusaran kontroversi. Saat masih menjadi anggota kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia secara terbuka mengkritik sang atasan. Menurut dia, Megawati adalah presiden yang selalu lambat dalam mengambil keputusan. Pelbagai peluang kerap hilang karena Mega tak cepat bersikap. Padahal, katanya, "Jadi pemimpin itu harus gila-gilaan sedikit."

Pada Desember 2003 Yusril mempersoalkan gajinya sebesar Rp 19 juta yang menurutnya sangat kecil. Bagi guru besar hukum UI ini, meski mendapat pelbagai tunjangan—mulai dari telepon, uang perjalanan dinas, mobil Volvo, hingga rumah dinas—penghasilan itu tak sepadan dengan tanggung jawabnya. "Seharusnya gaji menteri Rp 50 sampai Rp 100 juta per bulan," katanya.

Keluhan Yusril ini membuat geram banyak orang. Ia dinilai tak sensitif terhadap negeri yang tengah dilanda krisis. "Kalau tidak senang, mengapa ia tak segera mundur dari kabinet?" kata J.E. Sahetapy, anggota DPR dari PDI Perjuangan. Yusril tak mundur, bahkan sampai Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu aktif mendukung Yudhoyono sebagai kandidat presiden pada akhir pemerintahan Megawati.

Adyaksa Dault 41 tahun, Menteri Pemuda dan Olahraga

Sepuluh karangan bunga diletakkan persis di depan portal pintu masuk rumah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Selasa pekan lalu. Karangan bunga itu dikirim saat SBY asyik melakukan uji kepatutan dan kelayakan kepada para calon menterinya. Bunyinya menggelitik, "Turut Berduka Cita atas direkomendasikannya menteri preman: Adhyaksa (Dault)."

Pengirimnya? Sekelompok orang yang menamakan diri Kelompok Pendukung SBY. Ketika bunga itu datang, Susilo sedang menggelar konferensi jarak jauh dengan masyarakat di 18 kota. Tak jelas apakah pengirim bunga punya bukti tentang tuduhannya. Yang jelas, Adyaksa adalah orang keempat yang dipanggil SBY untuk menjalani tes calon menteri.

Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, nama Adyaksa mulai dikenal sejak ia menjabat Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) 1999-2002. Selepas dari KNPI, ia pun beberapa kali diusulkan untuk menduduki jabatan di lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu. Di dua lembaga itu, ia terpental.

Saat mengikuti fit and proper test untuk calon anggota KPU pada 2001 di Komisi II DPR, Adyaksa sempat ditanyai soal pemilikan senjata. Dalam rapat Komisi II DPR yang berlangsung tertutup, ia menunjukkan pistol yang dimilikinya seraya menunjukkan izin resmi senjata itu (No. Pol. BPSG/1909/III/1999).

Entah dari mana asalnya, cerita yang berkembang kemudian adalah Adyaksa mengeluarkan pistol untuk mengancam anggota Komisi II. Tapi kepada wartawan ia membantah. "(Pistol itu dikeluarkan) atas permintaan anggota Komisi II yang meminta klarifikasi," ujarnya. Entah karena soal itu atau bukan, yang jelas ia tak lolos seleksi menjadi anggota KPU.

Tak lolos menjadi anggota KPU, ia pun lantas mendaftar menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Tapi karena lembaga itu bertugas untuk mengawasi jalannya pemilu, Adyaksa dicecar seputar keanggotaannya di Dewan Pakar Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia mengakui keberadaannya di Dewan Pakar itu. Namun, "Secara lisan saya sudah mengundurkan diri," ujarnya. Lagi-lagi, ia pun tak lolos dalam seleksi anggota Panwaslu.

Pria berkumis tebal ini adalah putra pengacara terkenal H.M. Dault. Ia memiliki hubungan kekerabatan dengan mantan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Bersama Wiranto pula, ia pernah mendirikan organisasi Garda Merah Putih, sebuah lembaga kajian sosial-politik. Pada saat Partai Golkar mengadakan konvensi calon presiden, ia aktif mendampingi Wiranto. Bahkan Adyaksa adalah orang yang ikut mendaftarkan Wiranto dalam konvensi itu.

Terpental dari seleksi anggota KPU dan Panwaslu, kini pria yang pernah menjabat Ketua Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (1999-2004) itu ikut menghiasi jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.

Saifullah Yusuf 40 tahun, Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

Olok-olok Adhie Massardi akhir September lalu agaknya tak akan terlupakan oleh Saifullah Yusuf. Di sebuah acara politik di Jakarta, mantan juru bicara bekas presiden Abdurrahman Wahid itu sedang meledek Saifullah, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor. "Kalau ingin jadi menteri, ia harus siap terjangkit AIDS (Aku Ingin Ditelepon Susilo)," kelakar Adhie. "Sampeyan kena juga enggak?" Yang diledek hanya tertawa.

Kurang dari sebulan, ledekan itu terbukti. Saifullah menjadi orang yang kesekian yang dipanggil di Cikeas untuk menjalani ujian calon menteri. Posisi yang dipercayakan padanya adalah Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Lahir di Pasuruan, Jawa Timur, Saiful meroket ke pentas politik nasional sejak menjadi penjabat Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, mengantikan Iqbal Assegaf yang meninggal dunia. Pertemuannya dengan Pemimpin Redaksi Tabloid Detik, Eros Djarot, mengantarkan lulusan Fisipol Universitas Nasional Jakarta ini menjadi wartawan.

Kedekatannya dengan Eros pula yang mengantarkan ia terpilih menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP pada Pemilu 1999. Saat tokoh nahdliyin mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa, Saifullah diminta tetap "tinggal" di PDIP sebagai simbol dukungan NU kepada PDIP. Ia juga menjadi jembatan bagi Megawati dan Abdurrahman Wahid yang sedang tak akur.

Awal 2002, seiring dengan lengsernya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan, Saifullah keluar dari PDIP. Ia kembali ke habitatnya dengan masuk bursa pencalonan Ketua Umum PKB, Dalam Muktamar Luar Biasa PKB Januari 2002, Saifullah mulai berseberangan dengan Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid, yang juga pamannya sendiri. Gus Dur—begitu panggilan Wahid—menjagokan Alwi Shihab. Saifullah diberi jabatan Sekjen PKB.

Perseteruan antara paman dan keponakan itu berlanjut, terutama ketika Ketua Umum GP Ansor ini menolak pendirian Partai Kebangkitan Nasional sebagai jalan keluar seandainya PKB pimpinan Gus Dur-Alwi kalah dalam perseteruannya dengan PKB pimpinan Matori Abdul Djalil. Saifullah lebih suka rekonsiliasi ketimbang membentuk partai baru.

Tak cuma itu. Saifullah juga menolak Gus Dur menjadi calon presiden tunggal PKB pada Mukernas yang lalu, juga setelah Gus Dur menolak pencalonan Saifullah sebagai Gubernur Jawa Timur yang direkomendasikan sejumlah kiai. Gus Dur saat itu malah mendukung A.M. Kahfi, yang ternyata kalah.

Perbedaan prinsip itu pula yang menggiring Saifullah ke posisi "tersangka" dalam berbagai pelanggaran, termasuk tudingan kasus korupsi pembangunan kantor PKB. Beberapa kali rapat pleno DPP berupaya menyingkirkannya, tapi gagal. Belakangan, rapat pleno Dewan Syuro PKB atas prakarsa Gus Dur membentuk Tim Tiga untuk menyelidiki Saifullah, tapi tidak menemukan pelanggaran yang dimaksud, dan malah mendepak Saifullah dari posisi sekjen.

Sebenarnya, kiprah politik Saifullah tak lepas dari pengaruh Gus Dur. Sebagai paman, Gus Dur bukan cuma rival, tetapi juga guru politiknya. Gus Dur yang membawa Saifullah ke Jakarta, termasuk tinggal di rumah Gus Dur di Ciganjur pada 1985 untuk meneruskan kuliah.

Belakangan, pengangkatan Saifullah Yusuf sebagai menteri pada kabinet SBY dipersoalkan Ketua Dewan Syuro PKB. Saifullah dan Alwi Shihab dianggap Gus Dur bertindak atas nama pribadi dengan cara tidak etis. "Karena itu ia harus mundur dari kepengurusan PKB," kata Gus Dur. Jika tak ada aral melintang, nasib Alwi Shihab dan Saifullah itu akan ditentukan dalam rapat PKB, Rabu pekan ini.

Setiyardi, Fajar W.H., Widiarsi Agustina, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus