BENDI Parangtritis tidak mau kalah dengan bis kota. Para sais merayu penumpang dengan fasilitas ful musik dan ful angin (a.c. tidak perlu di bendi). Sungguh, keasyikan yang tak tepermanai duduk dempetan dibelai angin pantai sepoi-sepoi. Inilah daya pikat baru pantai Parangtritis, 27 km di selatan Kota Yogya, selama setahun ini. Bendi versi Yogya adalah andong kecil beroda dua. Penumpangnya pun hanya berdua. Sedangkan andong, rodanya empat bisa menampung enam penumpang. Kini, ada 67 bendi di sana, bergabung dalam koperasi "Plasara". Lewat Plasara inilah, para sais -- umumnya berusia 20-an -- mendapat kredit Rp 750 ribu untuk beli bendi serta kudanya. Bendi mungil itu atapnya warna-warni. Ya, oranye, biru, atau merah. Singkatnya, desain dan dekornya dibuat berwarna-warni. Di belakang jok ada gambar dan tulisan macam-macam. Misalnya Paris-Dakar, Full Music, Karena Kamu, atau Gadis Pantai. Dan sebulan belakangan ini, aksesori bendi trendy itu dilengkapi lagi dengan "kotak Nabi Sulaiman" alias tape recorder bertenaga aki 12 volt. Pengeras suaranya dipajang di dua tiang penyangga atap. "Sejak bendi ada tape, penumpang meningkat," tutur Tujiyono, 22 tahun. Bendi bujangan lulusan SMP dari Desa Kretek, Bantul, itu suatu sore awal April lalu dicarter sepasang muda-mudi. Yang lelaki minta disetelkan lagu dangdut Dokter Cinta. Tapi sang cewek ngotot minta lagu-lagu Franky & Jane. "Lagu Franky dan Jane cocok diputar di pantai," komentar cewek hitam manis itu -- mahasiswi sebuah perguruan tinggi ekonomi di Yogya. Masih pacaran sudah bertikai. Untung, Tujiyono ada jalan tengah seraya menawarkan Betharia Sonata. "Ah, ndak, cengeng!" sambar si cewek seraya memilih sendiri dari tumpukan kaset yang ada. Ebiet G. Ade pun dicomot. Jreng, mengalunlah Berita kepada Kawan. Muda-mudi itu pun menerawang ke laut bebas, berpegangan bagai tak akan lepas. Bendi menggelinding santai menyusuri tepian pantai, 4 km pulang-balik. Tatkala seliweran bendi berpapasan, suasananya bak pasar malam. Tiap bendi mengumandangkan musik campur-baur. Ada dangdut, rock, pop cengeng, keroncong, sampai langgam Jawa Waljinah. Tak dilaporkan siapa perintis bendi ful musik, tapi yang jelas minat kredit Rp 55 ribu untuk perangkat alat hiburan ini terus mewabah. "Diwajibkan, sih, tidak. Kalau teman-teman memakai tape, dan saya tidak, ya, ndak laku," tutur Parmo kepada Aries Margono dari TEMPO. "Bendi full music, Sir," ujar seorang sais. "No, no, thanks," sahut seorang dari rombongan turis bule. Tarif sekali carter Rp 2.500. Jika musim libur, menurut Tujiyono dan kawan-kawan, sehari bisa mengantungi Rp 15.000 lebih. Kalau sedang sepi, paling banter Rp 5.000. Dari mana para sais melengkapi koleksi kaset mereka? Ya, beli dari obralan di Pasar Bringharjo, Yogya. "Kalau beli kaset baru, bangkrut," kata Tujiyono. Inilah yang namanya berkah melimpah dari "Kotak Nabi Sulaiman".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini