KESEDIAAN Sudono Salim (Liem Sioe Liong) untuk memberikan 1% saham salah satu grup perusahaannya kepada koperasi ternyata sangat problematik, dengan implikasi sosial ekonomi yang akan ditimbulkannya. Pemindahan 1% saham ini, yang oleh Liem disebut "biaya sosial", seperti dikatakannya dalam wawancaranya dengan majalah TEMPO, kalau benar akan dilaksanakan nanti akan merupakan suatu respons yang unik terhadap suatu cita-cita pemerataan ekonomi masyarakat. Koperasi, tanpa menaruh satu sen pun, akan mempunyai 1% saham, dan karena itu akan punya hak atas pembagian dividen. Apa yang dilakukan Pak Harto baru-baru ini di Tapos, Bogor, Jawa Barat, di depan beberapa pemilik perusahaan besar merupakan sesuatu yang tidak konvensional, sekurangnya dari gaya dan isi pidato beliau. Di samping penekanan ketidakabadian harta benda di dunia ini, dan kewajiban untuk bersyukur menikmati hasil kemerdekaan republik ini, sekurangnya ada dua hal yang bisa kita tangkap dari pidato beliau itu. Pertama, pemilikan sebagian saham perusahaan-perusahaan besar oleh koperasi dilihat Pak Harto sebagai langkah untuk mengurangi kesenjangan sosial, yang nampaknya belum bisa dikurangi setelah 20 tahun pembangunan ekonomi. Sekalipun apa yang dikemukakan di Tapos hanya merupakan imbauan, dan bukan kebijaksanaan nasional yang resmi, dan tidak akan dituangkan dalam satu SK, bobot imbauan akan begitu rupa, sehingga para pemilik perusahaan yang hadir akan rikuh kalau tidak memenuhinya. Kedua, koperasi sudah dipilih sebagai golongan penerima hibah saham, sekalipun dalam usaha pemerataan ini mungkin ada golongan masyarakat lain yang tidak kalah berhak dari koperasi. Tapi sebagai presiden, yang tahu secara mendetail masalah pertanian, Pak Harto punya simpati dan ikatan emosional yang erat dengan dunia koperasi. Gagasan beliau di Tapos itu mengingatkan saya terhadap Kebijaksanaan Ekonomi Baru (KEB) PM Mahathir di Malaysia beberapa tahun berselang. KEB ini, yang tujuannya adalah meningkatkan penguasaan ekonomi golongan bumi putra Malaysia, mengusahakan agar pada akhir dekade ini, golongan bumi putra akan memiliki 3O% saham perusahaan-perusahaan Malaysia. Ide Tapos dan KEB Malaysia punya semangat yang sama. Perbedaannya terletak pada besaran kuantitasnya dan mekanisme pencapaiannya. Kalau sasaran PM Mahathir di Malaysia tidak tercapai pada saat yang ditentukan karena faktor kultural dan eksternal, maka gagasan Tapos, mungkin karena peran Pak Harto yang unik, akan menjamin kelancaran starnya. Bagi koperasi sendiri, yang tanpa modal satu sen pun nantinya akan menerima dividen terus-menerus, efek jangka panjangnya, dalam segi pendidikan berwiraswasta, tidak akan menguntungkan. Bahkan ada risiko fungsi koperasi akan terpeleset, hingga koperasi tidak lebih dari sekadar suatu yayasan sosial, yang setiap kuartal atau setiap tahun menerima sumbangan perusahaan. Cuma, di sini bentuk sumbangannya berupa dividen. Memang tidak semua koperasi akan otomatis menerima bagian saham perusahaan-perusahaan besar. Yang berhak hanya koperasi yang akan ditentukan oleh Departemen Koperasi. Tapi siapa yang menjamin bahwa dalam daftar itu nanti tidak terselip beberapa Koperasi Karyawan perusahaan multinasional, yang satu-satunya bisnisnya adalah memberi kredit pembelian barang-barang elektronik bagi anggotanya. Bagi perusahaan-perusahaan Om Liem dan kawan-kawan, efek keuangannya akan lebih menguntungkan bila dana untuk koperasi ini dibukukan sebagai pos biaya perusahaan biasa, karena jumlah ini akan bisa dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Tentunya tak ada yang ingin melihat bahwa nantinya perusahaan-perusahaan besar hanya berfungsi sebagai donatur koperasi. Ide Pak Harto tentang partnership antara perusahaan-perusahaan besar dan koperasi perlu dikembangkan lebih luas lagi, bukan terbatas pada sekadar pemilikan saham, tapi melihat kerja sama ini sebagai suatu kesempatan buat koperasi untuk secara aktif belajar berwiraswasta dari mitranya. Keterkaitan koperasi dengan perusahaan-perusahaan besar harus dilihat sebagai suatu kesempatan koperasi untuk mengamati bagaimana partnernya mempraktekkan manajemen, supaya koperasi bisa belajar manajemen, kalau kelemahan manajemen betul merupakan masalah kronis koperasi, seperti yang dikeluhkan selama ini. Tapi, kalau dari perkawinan ini, koperasi cuma berperan sebagai sleeping partner, semua pihak akan rugi. Om Liem mungkin akan berpikir bahwa dana yang besar buat koperasi lebih baik disalurkan ke kegiatan yang lebih menguntungkan. Kalau satu persen saham PT Indocement bernilai Rp 60 milyar, dan 1% dari PT Astra International bernilai sekitar Rp 45 milyar maka dari kedua perusahaan itu saja akan terkumpul lebih dari Rp 100 milyar sebagai saham koperasi. Kalau hasil dividen 15% digunakan sebagai standar, dividen yang menjadi hak koperasi dari kedua perusahaan itu saja akan berjumlah sekitar Rp 15 milyar. Tapi dari jumlah ini hanya Rp 3,75 milyar yang bisa dibagikan kepada koperasi sebagai dividen, karena yang 75%, seperti yang diusulkan Pak Harto, akan digunakan untuk membayar cicilan saham. Kalau dari dua perusahaan ini saja akan bisa terkumpul dividen buat koperasi hampir Rp 4 milyar, maka bisa dibayangkan besarnya dividen yang akan diterima koperasi, bila semua 30 perusahaan yang berkumpul di Tapos itu ikut melaksanakan imbauan Pak Harto itu. Ini belum termasuk dividen dari perusahaan lain di luar ke-30 perusahaan itu, yang mungkin, karena desakan moral, akan melakukan hal yang sama. Karena di sini terlibat jumlah dana yang tidak kecil, bisa berkisar antara Rp 50 milyar dengan perkiraan konservatif, insting pengusaha Om Liem akan segera menghitung: Pabrik apa yang bisa didirikan dengan modal sebesar itu, dan berapa banyak. Bagaimana kalau dana itu, misalnya, digunakan untuk mendirikan pabrik, atau membuka perkebunan di daerah minus, yang selama ini dihindari para investor? Ini akan membantu pembangunan ekonomi daerah bersangkutan, akan meningkatkan kesempatan kerja, dan akan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Dan yang paling penting adalah penggunaan dana seperti ini akan menciptakan pemerataan sosial ekonomi, antargolongan sosial ekonomi yang lebih luas dan antardaerah, secara lebih riil. Untuk tahun-tahun pertama, mungkin proyeknya akan rugi. Tak jadi soal apakah kerugian ini akan dianggap sebagai biaya ekonomi atau biaya sosial. Dana yang diinvestasikan toh sudah dianggap sebagai sumbangan, yang sudah dihapuskan dari pembukuan perusahaan. Yang penting, masyarakat setempat sudah menikmati peningkatan kesejahteraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini