Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Thailand, seorang pahlawan telah lahir. Dan ia, Jenderal Sonthi Boonyaratkalin yang telah mengenyahkan perdana menteri yang—boleh jadi—korup, telah berjanji akan menangani pemberontakan kaum separatis muslim di selatan melalui dialog, dan banyak lagi. Tapi sebagian orang cemas pada yang dipertaruhkannya: masa depan demokrasi di Thailand.
Kudeta militer sama seperti perang: mudah dimulai tapi sukar diakhiri. Kudeta militer biasanya bermula dari satu titik sebagaimana dialami Thailand pekan lalu. Pada suatu malam yang damai, tank-tank muncul di jalan-jalan umum, stasiun televisi dikepung dan acara-acara regulernya tiba-tiba berubah; lagu-lagu perjuangan berkumandang. Dan keesokan harinya orang pun menyaksikan seorang jende-ral berwajah dingin memaklumkan kekuasaan telah berpindah tangan, meminta maaf atas ketidaknyamanan ini, dan ia cepat berjanji demokrasi akan tegak kembali begitu undang-undang dasar telah direvisi.
Setelah itu, seribu satu kemungkinan terbuka. Revisi undang-undang dasar mungkin tak akan pernah terjadi, dan junta militer mengumumkan sesuatu yang kecut: sayang sekali, pemerintah sementara ini tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan kekuasaan dari kelompok-kelompok yang telah bersekongkol menumbangkannya. Dari situ, junta Myanmar bertahan di pucuk tertinggi negeri hingga 18 tahun; dari situ pula Soeharto tetap duduk di singgasana yang sama sepanjang 32 tahun di negeri ini.
Di Thailand sendiri, yang lebih buruk pernah terjadi. Protes terhadap kudeta militer pada 1991 berakhir dengan banjir darah, dan pemerintah militer yang bertanggung jawab atas kejadian itu mundur setelah intervensi Raja pada 1992. Karena itulah, kudeta yang terjadi di Thailand pada 19 September malam itu telah merisaukan banyak pihak. Memang, sejauh ini belum ada darah yang tumpah—mungkin ada sedikit kematangan para elite militer untuk menghindarinya. Tapi, tiada yang tahu masa depan Thailand setelah kekuasaan berpusat pada Pemerintahan Dewan Reformasi pada Jenderal Sonthi Boonyaratkalin sekarang.
Thailand bawah pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra memang bukan contoh demokrasi yang bagus. Thaksin seorang pengusaha yang melihat setiap kemungkinan untuk melipatgandakan kekayaan sebagai peluang semata. Dengan informasi yang diperolehnya selaku perdana menteri, ia pun menjual perusahaannya, Shin Corp., kepada Singapura. Pengamat melihat gejala korupsi dan nepotisme pada kepemimpinannya. Juga, ketidaksabaran dan kecerobohan dalam mengatasi pemberontakan orang-orang Islam di selatan. Bukankah ini semua berbahaya? Ya, dan kelompok oposisi prodemokrasi telah memutuskan mendukung Jenderal Sonthi.
Di Thailand ada Thaksin yang otoriter dan oportunistis, ada kelompok prodemokrasi yang tidak begitu yakin bahwa demokrasi bisa membendung Thaksin. Pengusaha-penguasa ini menampilkan citra populis yang dengan efektif disebarluaskan oleh partainya, Thai Rak Thai. Thaksin menyuplai banyak dana pinjaman, pemeliharaan kesehatan dan pembangunan bagi masyarakat miskin. Dan buahnya jelas: kemenangan gemilang dalam pemilu 2001, juga kemenangan dalam pemilu 2005 yang dinyatakan tak sah.
Menyingkirkan Thaksin bukan hal buruk, tapi mengatasi persoalan lewat protes yang melumpuhkan, bahkan kudeta, telah memperburuk kesehatan demokrasi di negeri itu. Sejak 1930-an, Thailand mengalami 18 kudeta. Dengan kata lain, Thailand amat berpengalaman dalam hidup bersama kudeta, tapi tidak bersama demokrasi. Kalau sudah begini, Jenderal Sonthi mungkin saja bukan pahlawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo