Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berkeliling dengan Syair Smong

Sastra klasik Simeulue menyelamatkan rakyat dari amuk tsunami.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cita-cita Yopi Andrian mengenalkan diksi smong sebagai pengganti "tsunami" terus membara. Seniman Aceh ini berkeliling dari panggung ke panggung untuk syiar smong.

Pada Jumat dua pekan lalu, pria 43 tahun itu mengkampanyekan smong di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam kenduri memperingati sepuluh tahun smong Aceh. Pada pekan ketiga November lalu, ia melakukan hal yang sama di Banda Aceh, dalam simposium kopi internasional. Jauh sebelumnya, ia berkeliling ke sejumlah tempat di Aceh. "Saya akan terus berkeliling untuk syiar smong," kata Yopi.

Bagi orang yang lahir di Simeulue itu, smong menjadi darah daging. Pulau berjarak 150 kilometer dari pantai barat Sumatera ini pernah dihantam smong pada 1907. Risalah Belanda yang diterbitkan Martinus Nijhoff pada 1916 menyebutkan smong menghancurkan pantai barat Simeulue dan membawa banyak korban—walau catatan pasti jumlahnya tak ada.

Besarnya jumlah korban kala itu membuat warga Simeulue mengabadikannya dalam seni tutur, untuk mereka teruskan ke anak-cucu. Inilah sebabnya, pada smong 26 Desember 2004, "hanya" tujuh orang meninggal di Simeulue. Padahal pulau ini berpenduduk setidaknya 78 ribu orang, yang sebagian besar tinggal di pantai. Sekitar 2.000 rumah hancur.

Kesadaran budaya bahwa orang Indonesia tinggal di daerah rawan bencana itulah yang hendak Yopi tularkan. Ia bawa syair smong ke sejumlah daerah rawan bencana, seperti Yogyakarta, Malang, dan Bali. Yopi berkisah, sejak kecil, ia mendapat pengetahuan smong dari kakek-nenek dan orang tuanya. Ia menikmati syair smong dari nandong, musik tradisional Simeulue. Ini adalah senandung yang diiringi gendang.

Tempo menikmati nandong di Simeulue pada Maret tahun lalu. Gendang bertalu bersahutan, mengalahkan ombak siang yang bergerak malas menepuk bibir pantai Dihit, Simeulue Tengah, Kabupaten Simeulue. Belasan lelaki dewasa bergantian bernyanyi dengan irama naik-turun, melafalkan syair sarat pesan kearifan lokal. Puluhan anak menonton, sesekali menyahut.

Mereka seperti sedang bertutur, merekam kisah terserak, tentang Simeulue. Pulau seluas 200 ribu hektare ini menghampar di tengah Samudra Hindia. Penghasil rotan dan cengkeh ini bersanding dengan linon atau gempa dan smong atau tsunami yang bisa datang tak tentu masa. "Naluri kami berkata, jika ada gempa, bergegas lari ke bukit," ujar Kepala Desa Dihit Labuan Sani.

Sani pun mendirikan sanggar seni, Maredem Maso, untuk merawat smong. Ia ingin smong lebih dari sekadar dendang penidur anak, tapi dinyanyikan di panggung dan pesta. Seiring dengan gendang bertalu, Sani bersenandung dalam bahasa Simeulue.

Aher tahon duo ribu ampek (Akhir tahun dua ribu empat)
Akduon mesa singa mangila (Tak seorang pun yang mengetahui)
Pekeranta rusuh masarek (Pikiran kita kalut semua)
Aceh fulawan nitimpo musibah (Aceh emas ditimpa musibah)

Simeulue masih menyimpan saksi smong 1907, Rukiah, yang menyatakan berumur 112 tahun ketika Tempo temui tahun lalu. Ia bermukim di Salur, Teupah Barat. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue. "Saya masih kecil waktu itu, mungkin enam tahun," katanya.

Ia mengenang saat digendong lari oleh orang tuanya ke bukit. Nurliani, menantu Rukiah, menyatakan telah tahu kisah smong sejak kecil. Karena itu, saat gempa besar disusul tsunami sepuluh tahun lalu, semua warga Simeulue lari ke bukit. "Dulu tak kami hiraukan. Baru saat smong 2004 kami percaya." Nurliani pun melahirkan anak, dan ia beri nama Putra Smong.

Nurliani ingat bait syair smong yang kerap ia dengar. Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, maheya mihawali fano me singa tenggi, ede smong kahanne. Artinya: jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segeralah cari tempat kalian yang lebih tinggi, itulah smong namanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus