Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berkonflik dengan Banyak Orang

Gatot Nurmantyo kerap bersilang pendapat dengan Ryamizard Ryacudu. Sebagian perwira TNI AU merasa dikambinghitamkan.

2 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Berkonflik dengan Banyak Orang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITETAPKAN sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Juli lalu, Marsekal Madya Hadiyan Sumintaatmadja tak kunjung mengisi posisi barunya itu. Hingga pekan lalu, Hadiyan masih menjalankan tugas sebagai Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara.

Akibatnya, jabatan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan lowong. "Surat perintah penempatannya belum turun dari Mabes TNI," kata Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Pertahanan Laksamana Pertama Umar Arif, Jumat pekan lalu.

Perihal penyebabnya, Umar menyatakan tak tahu-menahu. Adapun Hadiyan menolak mengomentari kepindahannya yang terganjal. "Soal itu lebih tepat ditanyakan ke Kemenhan," ujarnya.

Hadiyan diusulkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menggantikan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan sebelumnya, Laksamana Madya Widodo, yang pensiun pada akhir Juni. Setelah dia lolos di tim penilai akhir yang bersidang pada 17 Juli, Presiden Jokowi menerbitkan keputusan presiden mengangkatnya.

Semestinya, setelah itu, Panglima TNI meneruskan dengan mengeluarkan surat perintah penempatan. Ini jamak dilakukan tatkala TNI menugasi perwira tingginya di institusi lain. Masalahnya, Gatot merasa tak sreg dengan Hadiyan. Ia beralasan tak dilibatkan pada saat pengusulan, padahal sudah menyiapkan perwira lain dari Angkatan Darat.

Perkara ini menambah ruwet hubungan Gatot dengan Ryamizard. Berulang kali keduanya secara terbuka perang pendapat. Di Dewan Perwakilan Rakyat pada awal tahun ini, Gatot menuduh Ryamizard telah memangkas kewenangannya dalam merancang perencanaan kebutuhan alat utama sistem persenjataan di tubuh TNI. Padahal, saat itu, Ryamizard duduk di sebelahnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Pertahanan DPR.

Penyebabnya, kata Gatot, Ryamizard menerbitkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara. Aturan itu menyebabkan Markas Besar TNI setara dengan tiap matra dalam membuat rencana kerja dan anggaran. "Panglima sulit bertanggung jawab dalam pengendalian dan sasaran penggunaan anggaran," ujar Gatot.

Waktu itu, dugaan korupsi pembelian helikopter AgustaWestland AW-101 baru saja mencuat. Gatot menyatakan tak mengetahui pembelian helikopter oleh TNI Angkatan Udara tersebut karena kewenangannya dipangkas Ryamizard.

Pos anggaran TNI memang disatukan dengan Kementerian Pertahanan. Ketika anggaran turun, Menteri Pertahanan sebagai pengguna anggaran membagi dana untuk beberapa pos: Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Panglima TNI adalah kuasa pengguna anggaran di Markas Besar TNI saja, sebagaimana para kepala staf di tiap angkatan. Dengan adanya Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 Tahun 2015, Gatot merasa pengadaan barang dan senjata di tiap angkatan makin jauh dari pantauannya.

Lulusan Akademi Militer 1982 itu kembali "menyerang" Ryamizard- lulusan Akademi Militer 1974- perihal pengadaan Sukhoi Su-35 oleh Kementerian Pertahanan. Pembelian sebelas pesawat tempur Rusia itu dinilai berlarut-larut. Padahal, kata Gatot, prosesnya dimulai 18 bulan lalu dan TNI sudah menyerahkan spesifikasinya.

TNI, menurut Gatot, membutuhkan pesawat tempur yang dilengkapi senjata untuk perang udara dan perang udara-darat. "Kami terus mendoakan semoga para pejabat negara ini segera sadar bahwa ancaman semakin jelas dan Indonesia butuh sistem peralatan persenjataan yang terbaik," ujar Gatot, Selasa dua pekan lalu. "Menjaga wilayah Indonesia yang luas ini tak cukup dengan doa."

Ihwal perseteruan di depan DPR, Ryamizard meminta persoalan tersebut tak dibesar-besarkan. Peraturan Menteri Pertahanan itu dibuat atas koordinasi dengan Menteri Keuangan untuk merapikan penggunaan anggaran.

Menteri Pertahanan memang berperan sebagai pengguna anggaran, tapi pemakaian anggaran oleh lembaga di bawahnya diserahkan kepada setiap lembaga. "Saya kuasakan. Tidak mungkin pengguna anggaran mengatur sendiri," kata Ryamizard, Februari lalu.

Adapun soal pembelian Sukhoi, Ryamizard mengatakan Kementerian Pertahanan masih bernegosiasi dengan Rusia. Pemerintah Indonesia ingin sebagian pembayaran pesawat berasal dari hasil imbal dagang kedua negara. Pemerintah pun berharap dengan harga yang sama bisa mendapatkan sebelas pesawat dari rencana awal sebanyak delapan unit. "Beli Sukhoi itu bukan seperti beli kacang goreng yang langsung bisa dimakan," ujarnya.

Gatot dan Ryamizard juga berbalas pantun dalam isu lain. Ihwal pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, misalnya, Ryamizard menyatakan sebaiknya hal tersebut bukan paksaan. Gatot memang menginstruksikan anak buahnya menonton film itu dengan mengajak masyarakat. Gatot pun segera membalas: "Kalau prajurit itu urusan saya. Ya, harus dipaksa. Menhan tak berwenang atas saya."

Gatot tak hanya membuka front dengan Ryamizard. Kegetolannya mendorong pembongkaran kasus dugaan korupsi helikopter AW-101 membuat sebagian perwira TNI AU kecewa. Gatot dianggap mengkambinghitamkan Angkatan Udara padahal mengetahui pembelian AW-101, yang disebut dia merugikan negara hingga Rp 220 miliar.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, mendengar informasi serupa dari sejumlah perwira TNI AU. Faktanya, kata Connie, pembelian AW-101 sudah disetujui Menteri Pertahanan pada 7 November 2016. Surat tersebut dibuat berdasarkan surat Panglima TNI bernomor R 1589-18/07/25 tertanggal 19 September 2016. Connie mengaku memiliki seluruh dokumen pembelian AW-101. "Kok, bisa enggak tahu?" ujarnya.

Itu sebabnya Connie mendorong Gatot pensiun dini karena kerap membuat runyam hubungan antarlembaga. Apalagi setelah dia mengembuskan isu pembelian 5.000 pucuk senjata oleh sebuah institusi nonmiliter, Jumat dua pekan lalu. Lembaga yang dituding Gatot ditengarai Kepolisian RI. "Panglima menyeret TNI ke ranah politik. Seolah-olah sedang membenturkan lembaga," kata Connie.

Disebut sedang memainkan manuver politik, Gatot tak mempersoalkan. "Mereka punya pendapat sendiri, tak jadi masalah. Tapi saya mengurusi bidang keamanan yang berkaitan dengan kedaulatan," ujarnya.

Anton Septian, Ahmad Faiz, Arkhelaus Wisnu, Syafiul Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus