Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASUK melalui pintu Wisma Negara yang tak terjangkau mata wartawan, Jenderal Purnawirawan Wiranto dan Jenderal Gatot Nurmantyo duduk di ruang kerja Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan pada Rabu pekan lalu. Jokowi memanggil keduanya menyusul ribut-ribut tentang impor senjata serbu secara ilegal yang dilontarkan Gatot pada Jumat pekan sebelumnya.
Jokowi sudah menunggu ditemani Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Belakangan, datang agak telat, seorang perwira tinggi polisi ikut bergabung. Selama satu jam mereka membicarakan impor senjata itu, tak satu pun kalimat pernyataan terlontar dari para pejabat negara ini begitu mereka ke luar Istana dan bersirobok dengan para wartawan di parkiran.
Juru bicara Istana, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan pertemuan tertutup dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto serta Panglima Tentara Nasional Indonesia Gatot Nurmantyo itu hanya membicarakan rencana ulang tahun TNI pada 5 Oktober pekan ini. "Selain itu, Panglima mengundang Jokowi menonton pertunjukan wayang," ujar Johan pada Rabu pekan lalu.
Tuduhan impor senjata ilegal dilontarkan Gatot saat acara silaturahmi dengan para purnawirawan TNI. Kepada para seniornya, Gatot mengungkapkan ada sebuah institusi yang membeli 5.000 pucuk senjata serbu dengan mencatut nama Presiden. "Kalau informasi ini tidak A-1, tidak akan saya sampaikan di sini," kata Gatot.
Pernyataan itu langsung menyebar ke seluruh dunia karena diucapkan di depan wartawan. Baru setelah acara selesai, TNI menyatakan bahwa pernyataan Gatot bersifat off the record. Gatot kian berapi-api berbicara ketika ia menegaskan akan menyerbu institusi itu karena mendatangkan senjata-senjata secara tidak sah.
Pernyataan Gatot tanpa menyebut dengan jelas nama institusi itu menumbuhkan spekulasi. Apalagi, sehari kemudian, Wiranto menjelaskan bahwa pernyataan Gatot hanya salah komunikasi antarinstansi. Menurut Wiranto, pengimpor senjata itu adalah Badan Intelijen Negara dan jumlahnya hanya 500 pucuk.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menguatkannya dengan menunjukkan surat permohonan pembelian senjata dari BIN pada Selasa pekan lalu. Surat yang diteken Wakil Kepala BIN Letnan Jenderal Teddy Lhaksmana itu dilayangkan pada Mei 2017 untuk pembelian kepada PT Pindad.
Dalam suratnya untuk Ryamizard itu, BIN meminta senjata buat latihan di Sekolah Tinggi Intelijen Negara. Surat ini ditembuskan kepada Asisten Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Strategis, dan Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan.
Lembaga telik sandi tersebut melampirkan spesifikasi senjata yang hendak dibeli, yakni SS2 V2 kaliber 5,56 x 45 milimeter sebanyak 521 pucuk dan 72.750 peluru jenis MU1-TJA1. Ryamizard sempat melarang pembelian senjata jenis ini karena berstandar militer. Izin keluar setelah spesifikasi berubah menjadi senjata untuk sipil. "Mereka memperbaikinya menjadi senjata yang tak mematikan," kata Ryamizard.
Sekretaris Perusahaan PT Pindad Bayu A. Fiantoro mengakui ada pemesanan senjata oleh BIN. Namun jumlahnya tidak sebanyak 517 pucuk seperti yang diungkapkan Kementerian Pertahanan. "Sebanyak 591 senjata nonmiliter," ujar Bayu kepada Ahmad Fikri dari Tempo.
Keadaan pun makin runyam. Sebaliknya, mendapat counter pernyataan Wiranto, Gatot mengatakan bahwa pernyataannya di depan purnawirawan TNI itu bukan untuk dipublikasikan media. Tuduhan Gatot itu kian tak jelas dan menimbulkan spekulasi.
Merasa personelnya ikut memiliki senjata, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso meminta konfirmasi kepada Gatot. Waseso dan Gatot adalah sepupu lain nenek sehingga mereka biasa saling menelepon. "Apa yang dimaksud Mas Gatot itu BNN?" kata Waseso, menuturkan kembali percakapannya dengan Gatot, pada Selasa pekan lalu, kepada Tempo.
Menurut Waseso, Gatot menyangkalnya. "Apakah BIN?" Waseso perlu mengkonfirmasi pernyataan Wiranto ini untuk besannya, Kepala BIN Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Waseso juga ingin menegaskan kembali Gatot tak sedang menyerang Budi Gunawan akibat "konflik" sebelumnya.
Budi Waseso bercerita bahwa hubungan Gatot dan Budi Gunawan pernah kurang baik akibat pergeseran-pergeseran beberapa pos penting di BIN. Berdalih mengantarkan undangan pernikahan anak mereka bulan lalu, Waseso membawa Budi Gunawan menemui Gatot di kantornya di Cilangkap. Setelah itu, kata dia, hubungan keduanya cair kembali. Karena itu, ketika ditanyai soal impor senjata ilegal tersebut, Gatot juga membantah BIN yang melakukannya.
Simpang-siur kian meruyak. Presiden Jokowi pun memanggil Gatot dan Wiranto pada Rabu pekan lalu, terutama setelah Gatot menyambutnya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dari lawatan kerja ke daerah dua hari sebelumnya. Dalam pertemuan di Istana itu, Wiranto yang membuka laporan soal hiruk-pikuk impor senjata.
Menurut seorang pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut, Wiranto melaporkan bahwa kegaduhan itu telah diselesaikan lewat pernyataan pers. Kepada Presiden, Wiranto mengulang pernyataannya bahwa ribut-ribut itu hanya miskomunikasi antarlembaga. Jumlah senjata pun hanya 500 buah.
Belum selesai Wiranto memberi penjelasan, Gatot memotong. Menurut tentara berusia 57 tahun ini, 500 senjata hanya jumlah yang dilaporkan kepada Kementerian Pertahanan. Kepada Presiden, Gatot menunjukkan dokumen pembelian senjata serbu oleh Kepolisian RI berupa bazoka dan antitank.
Gatot tak bisa dihentikan. Ia terus berbicara menyoal impor itu. Menurut dia, impor senjata sudah ada aturannya, mana senjata untuk polisi, mana untuk tentara. Senjata serbu itu, kata dia, seharusnya dipesan TNI. Gatot juga menyinggung soal sistem persenjataan militer yang telah usang akibat anggarannya yang minim dibanding bujet untuk polisi.
Gatot merujuk pada jumlah anggaran tahun ini. Polisi memperoleh Rp 84 triliun, sementara TNI mendapat Rp 108 triliun yang harus dibagi untuk Markas Besar TNI, Kementerian Pertahanan, dan tiga angkatan. TNI Angkatan Darat, misalnya, hanya beroleh Rp 46 triliun. "Apa perlu dipolisikan semua?" ujar Gatot, seperti dituturkan sumber Tempo.
Jokowi kabarnya tak menanggapi pernyataan Gatot. Ia menyilakan para pejabat di ruang kerjanya menyampaikan pendapat. Tak ada tanggapan khusus tentang senjata impor ilegal. Ia hanya berkata singkat ketika menutup pertemuan. "Tolong jangan gaduh," ujarnya.
Wiranto tak bersedia menjelaskan detail isi pertemuan dalam rapat itu. Ia hanya mengkonfirmasi bahwa pertemuannya dengan Presiden bersama Gatot dan Pratikno memang ada. "Tapi tak untuk dipublikasikan," katanya. "Kami membahas masalah negara."
Gatot juga menolak mengkonfirmasi pernyataannya di depan Presiden. Ditanyai berkali-kali soal pertemuan itu, ia tak menjawab. "Saya sudah lapor Presiden, jadi hanya Presiden yang tahu isi laporan saya," ujarnya.
TAK ada Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dalam pertemuan di Istana Presiden pada Rabu pekan lalu itu. Saat pertemuan itu terjadi, Tito sedang berada di Cina untuk kunjungan kerja menghadiri seminar polisi antara dua negara. Ketika ditanyai soal kebenaran kabar bahwa polisi mengimpor senjata secara ilegal, ia meminta Tempo menghubungi juru bicara Polri. "Tolong ke humas saja," ujarnya.
Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, menyangkal kabar bahwa lembaganya mengimpor senjata tempur. Setelah polisi berpisah dari TNI pada 1999, kata dia, polisi hanya mendatangkan senjata nonmiliter.
Pernyataan Setyo ini rupanya mendapat respons. Segera saja, setelah pernyataan itu, beredar video latihan tempur polisi memakai granat dan bazoka lewat media sosial WhatsApp. Menurut Setyo, latihan itu terjadi di Pusat Pendidikan Brigade Mobil di Watukosek, Pasuruan, Jawa Timur.
Senjata tempur itu, kata Setyo, merupakan warisan saat polisi masih di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. "Namanya pelontar granat infanteri," ujarnya. Latihan itu, kata Setyo, adalah sesi pengenalan senjata tempur untuk pasukan Brigade Mobil. Setyo menegaskan granat dan bazoka yang jumlahnya kurang dari 100 itu sudah tak dipakai.
Di luar senjata tempur, Setyo mengatakan polisi pernah memesan 15 ribu pucuk senjata kepada PT Pindad. Namun pabrikan senjata nasional itu hanya mampu menyanggupi sebanyak 5.000 pucuk. Polisi pun memilih mendatangkan kekurangan senjata dari luar negeri.
Setyo tak menjelaskan dari negara mana kebutuhan Polri bakal dipasok. Namun dia memastikan jenis senjata impor yang mereka beli bukan senapan serbu yang mematikan. "Hanya untuk melumpuhkan," ujarnya.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, Brigade Mobil mengimpor senjata dari Arsenal, pabrik senjata Bulgaria, berupa 200 Stand-Alone Grenade Launcher dan 5.932 Round ELV kaliber 40 x 46 milimeter. Senjata ini memiliki daya jangkau hingga 400 meter.
Komandan Brimob Inspektur Jenderal Murad Ismail pada 25 Januari lalu menyatakan senjata tersebut hanya bakal digunakan kepolisian Indonesia. Murad berjanji tak akan menjual atau mengekspor senjata ini kepada pihak ketiga tanpa persetujuan otoritas Bulgaria. Dia buru-buru mematikan telepon ketika Tempo mengontaknya pekan lalu.
Menurut catatan dokumen tersebut, senjata impor itu diterbangkan lewat India dengan pesawat Ukraina Air Alliance dengan nomor penerbangan UKL4024/UKL4025. Pesawat ini membawa tujuh kru dengan kapten Mykhaylo Artemenko. Pesawat ini tiba di Terminal Kargo Bandar Udara Soekarno-Hatta pada Jumat malam pekan lalu. Namun otoritas bandara tak mengetahuinya. "Saya tidak tahu," kata Security Rescue and Fire Officer Soekarno-Hatta Tommy Bawono kepada Joniansyah dari Tempo.
Masalahnya, sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012, kewenangan membeli atau mengimpor senjata api berada di tangan menteri yang menangani urusan pertahanan. Lembaga negara yang dikategorikan sebagai pengguna senjata-senjata itu adalah TNI, kepolisian, kementerian, atau lembaga pemerintah non-kementerian seperti BNN.
Menurut Budi Waseso, senjata BNN lebih spesifik dibanding Polri dan TNI untuk memudahkan identifikasi. Senjata personel BNN dibuat oleh Kalashnikov Concern. Sebelum memakainya, BNN mendapat pelatihan penggunaannya di Rusia.
Pasal 69 undang-undang yang sama menyebutkan setiap orang dilarang membeli atau mengimpor alat industri pertahanan dan keamanan yang strategis tanpa izin Kementerian Pertahanan. Ryamizard Ryacudu tak secara tegas menjelaskan apakah kepolisian sudah meminta izinnya mengimpor 10 ribu pucuk senapan itu. "Tito kalau mau apa-apa pasti memberi tahu. Paling tidak laporan kepada Presiden," ujar Ryamizard.
Setyo Wasisto tak menjawab permintaan konfirmasi tentang izin itu. Ia hanya mengatakan Polri berwenang memberi izin lembaga-negara lain untuk membeli senjata. Misalnya BNN, Direktorat Bea-Cukai, Kementerian Kehutanan, atau Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. "Semuanya harus izin Polri," ujar Setyo.
PENGAMAT militer dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, menilai pernyataan Gatot sebagai manuver politik. Selain soal seringnya menemui ulama sebagai tindakan di luar tugas utamanya memimpin angkatan bersenjata, Connie menunjuk pernyataan Gatot yang acap menyebut keadaan darurat.
"Serangan" kepada Polri soal senjata ilegal itu agaknya ditujukan Gatot untuk menunjukkan keadaan genting. Ia sedang menegaskan posisinya yang mendapat dukungan dari umat Islam. "Kalau mau main politik ingin jadi presiden, silakan lepas baju militer," kata Connie.
Gatot tak keberatan atas tuduhan ia bermanuver politik. "Pendapat-pendapat, ya, kami hargai," ujarnya. Pada Jumat malam pekan lalu, ia menggelar pertunjukan wayang kulit di Museum Fatahillah, Kota Tua Jakarta. Lakonnya Parikesit Jumeneng Noto atau "Parikesit Menjadi Raja", yang menceritakan pelantikan cucu Arjuna menjadi Raja Astina setelah perang Baratayudha.
Hanya, Presiden mengabaikan undangannya. Jokowi memilih menonton film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI bersama masyarakat Bogor di markas komando rayon militer setempat.
Wayan Agus Purnomo, Istman Musaharun, Andita Rahma, Kartika Anggraeni, Arkhelaus Wisnu, Syafiul Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo