Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang anak bernama Marjane merindukan pangkuan Tuhan. Marjane, seperti anak-anak berusia 10 tahun yang lain, penuh rasa ingin tahu dan kaya oleh imajinasi. Ia kerap membayangkan Tuhan bisa saja seperti seorang kakek tua yang diselimuti rambut putih panjang, yang selalu Ada, selalu siap untuk mendengarkan keluh-kesah si kecil yang senantiasa merasa sendiri dan ditinggalkan.
Tapi novel grafis berjudul Persepolis karya Marjane Satrapi ini meledak di setiap pojok dunia bukan hanya karena kemampuan Marjane mewakili masa kecil kita. Buku pertama dengan judul Persepolis: The Story of a Childhood merupakan novel grafis karya Marjane Satrapi yang ditulis dalam bahasa Prancis (dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris dan Indonesia) dan beredar pada tahun 2000. Buku ini adalah sebuah potret yang jujur tentang masa kecil Marjane di tengah kerusuhan revolusi di Iran. Lahir di Rasht, Iran, pada 1969, Marjane adalah anak tunggal dari pasangan intelektual yang sangat progresif untuk ukuran Iran. Mereka memilih menyekolahkan anaknya di Lycee Francais, sekolah Prancis yang liberal, dan membiarkan anaknya membaca buku-buku politik jauh sebelum teman-teman seusianya paham politik.
Dengan garis yang sederhana, hitam-putih—yang diakuinya sebagai pengaruh dari seorang komikus Prancis—Marjane melukis dan bersaksi tentang Marjane kecil yang polos, lucu, cerdas, terkadang bandel, dan tak jarang mengharukan atau bahkan membuat hati pecah luruh berantakan. Kerinduannya untuk berbincang dengan Tuhan adalah salah satu adegan yang sungguh mewakili imajinasi jutaan anak—apa pun agamanya—sekaligus menyentuh. Bahkan, ketika Marjane kecil mulai membaca dan membayangkan Marxisme, tanpa paham artinya, dia ”berbincang dengan Tuhan” dengan mengatakan wajah Marxis yang diselimuti rambut putih itu mengingatkan dia pada wajah Tuhan yang dia bayangkan. Bedanya, rambut Karl Marx lebih keriting.
Pengalaman Marjane melalui revolusi di Iran pada 1979 ketika Shah Iran digusur dan para mullah memimpin ini menjadi sebuah perjalanan yang menarik dari mata seorang anak yang begitu polos sekaligus cerdik. Marjane ikut bergairah ingin ikut demonstrasi anti-Shah, tapi kedua orang tuanya melarangnya. Dia diam-diam turun ke jalan bersama pembantunya. Setiba dia di rumah dengan dada yang hampir meledak karena bangga, sang ibu yang hampir mati ketakutan malah menamparnya dengan marah. Marjane duduk di tepi tempat tidur dengan pipi merah dan hati merana karena tak paham kemarahan orang tuanya.
Setiap langkah Marjane sebagai seorang anak yang ingin memahami keadilan—melalui Tuhan yang dia anggap berjenggot itu—kemudian bisa berkembang menjadi langkah anak yang marah. Ketika Paman Anoosh yang disayanginya ditangkap dan dieksekusi pemerintah, Marjane tak lagi bisa merasa akrab pada Tuhan. Dia marah dan dia meronta….
Ketika kekuasaan Shah runtuh dan saat awal pemerintahan Ayatullah Khomeini, perang Iran-Irak meletus. Masa kecil hingga remaja Marjane diwarnai dengan pengalaman berlari ke ruang bawah tanah, dada berdegup setiap kali bom meletus, tapi toh mereka tetap mencoba hidup dengan diam-diam mengadakan pesta remaja dan saling melirik dengan lelaki seusianya di warung hamburger. Di antara kepedihan karena ditinggal mati oleh berbagai orang yang disayangi, Marjane remaja masih mencoba mengatasi kesulitan dan kepedihannya dengan humor. Gambaran bagaimana ibunya ngomel tentang ibu-ibu yang rebutan makanan di supermarket, sementara dia sendiri kemudian ikut menimbun beras, membuat kita tersenyum dalam rasa sedih. Perang membuat akal sehat semakin jauh.
Halaman akhir dari novel ini adalah sebuah adegan yang tak terlupakan. Marjane yang tumbuh menjadi remaja yang kritis dan sadar keadilan itu tak bisa bertahan dengan sosok otoritas Iran. Di usianya yang menginjak 14 tahun, ketika dia menyukai musik rock dan mengenakan gelang dan jins seperti halnya remaja normal lain, dia akhirnya merasa tak tahan untuk tidak menggampar kepala sekolahnya yang bawel. Pada titik itulah orang tuanya merasa tak mungkin membiarkan anaknya menetap di Iran dalam situasi politik seperti itu. Mereka mengirimnya ke sekolah Prancis di Austria. ”Ketika orang menghinamu…,” kata sang nenek saat Marjane tidur di dadanya pada malam terakhir sebelum ia terbang ke Wina, ”ingatkan dirimu bahwa mereka adalah orang tolol. Tak ada yang lebih buruk daripada sikap pahit dan dendam…, jaga harga diri dan jadilah dirimu sendiri….”
Marjane berjanji menjadi dirinya sendiri. Dan dengan air mata mengalir di pipi, dari balik kaca di bandara, dia melihat ibunya yang pingsan dan digotong oleh ayahnya. Mereka harus melepas anaknya dengan kepedihan.
Inilah karya Marjane yang belum tertandingi, bahkan oleh karya berikutnya, Persepolis 2: The Story of a Return, yang mengisahkan pengalaman Marjane di Austria dan perjalanannya pulang ke Iran dan menikah dengan Reza. Beberapa tahun setelah itu, Marjane menerbitkan Embroideries, yang berkisah tentang perbincangan 10 wanita tentang seks, dan Chicken with Plum, yang menceritakan sebuah cinta yang terlarang. Meski demikian, Marjane memiliki ciri khas yang sama pada setiap karyanya. Selain garis lukisannya yang tegas dan sederhana dengan karakter yang sangat ekspresif, Marjane sering melukiskan peran utamanya sebagai tokoh abu-abu (meskipun tokoh utamanya adalah diri sendiri). Tokoh-tokoh utama pada serial Persepolis dan Embroideries serta Chicken with Plum tak selalu sempurna, bahkan sesekali diperlihatkan sangat keras kepala dan anti-otoritas. Karya-karya Marjane juga selalu penuh dialog jenaka, meski dengan humor yang pedih di tengah rasa sakit dan gempuran perang, dan merobek hati.
Setelah meledaknya serial Persepolis, tentu saja Marjane meraih berbagai penghargaan bertubi-tubi atas keberhasilannya menciptakan karya yang begitu mengharukan sekaligus lucu. Serial Persepolis kemudian menjadi berlian yang diperebutkan pihak perfilman Barat. Berbagai tawaran datang untuk mengangkatnya ke layar kaca dan layar lebar. ”Ketika itu, datang tawaran untuk membuat Persepolis menjadi serial TV. Bahkan ada yang menawarkan untuk membuat film yang akan dibintangi oleh Jennifer Lopez sebagai ibu dan Brad Pitt sebagai bapak saya,” kata Marjane Satrapi kepada Asmayani Kusrini dari Tempo saat Festival Film Cannes. ”Tapi saya tidak bisa membayangkan kalau Persepolis akan dimainkan oleh manusia. Saya ingin tetap dalam bentuk animasi.”
Saat itulah, menurut pengakuan Marjane, ia menyadari, jika Persepolis akan diangkat menjadi film, Marjane tidak akan sanggup membuatnya sendiri. ”Dan hanya dengan Vincent-lah semuanya bisa selesai seperti yang saya inginkan,” kata Marjane sembari memandang Vincent dengan mesra, dan mereka saling menggenggam tangan. Vincent adalah Vincent Paronnaud, sesama komikus dan animator yang tengah menjalin hubungan dengan Marjane. Bersama Vincent pula Marjane kemudian melukis dan menyutradarai Persepolis versi film yang kemudian menjadi pembukaan Festival Film Cannes ke-60 dan juga JiFFest, Jumat pekan lalu.
Film yang kemudian diganjar Prix Du Jury Cannes 2007 itu sempat melahirkan kontroversi karena ada sepucuk surat dari sebuah organisasi film di Iran kepada kedutaan Prancis yang isinya mengeluhkan soal keputusan Cannes memutar Persepolis. Film itu dianggap menampilkan gambaran yang mengganggu tentang revolusi Islam di Iran. Bagi Marjane, satu-satunya yang membuatnya jadi masalah besar adalah perhatian media yang berlebihan.
Kepada Tempo, Marjane mengaku, meski merindukan Iran, dia sudah merasa nyaman dengan kebebasan berekspresi di Prancis, negara yang ditempatinya sejak 1994. ”Saya tinggal di Paris, salah satu kota terindah di dunia, dengan pria yang saya cintai, mengerjakan pekerjaan yang saya sukai, bahkan saya dibayar untuk itu.” Dan karena itu, setelah Persepolis, Marjane kemudian mengaku sebagai ”manusia internasional”.
Leila S. Chudori, Asmayani Kusrini (Cannes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo