Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saat <font color=#FF0099>Sineas Perempuan</font><font color=#009999> Berkata</font>

Dari Teheran hingga Jakarta, lalu kita ke pelosok Cibinong atau Yogyakarta. Dari Inggris hingga Karachi, lalu kita menemukan hal yang sama. Perempuan masih memiliki cerita yang selalu ditimbun di dalam dada. Kali ini Jakarta International Film Festival menayangkan Persepolis karya novelis grafis Marjane Satrapi sebagai pembukaan, dan Chants of Lotus karya empat sutradara perempuan Indonesia sebagai penutup. Perempuan bukan berbicara soal tubuh (yang disiksa) atau anak (yang diculik dan dipaksa kawin), bukan cuma persoalan pemerkosaan atau HIV, tapi juga perang dan korban perang. Tempo kali ini mengisahkan para perempuan yang bercerita.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stevie Wonder, Julio Iglesias, Pink Floyd. Mata si kecil Marjane mendelik. Ia mendekati jejeran lelaki di sebuah jalan di Teheran yang berjualan kaset-kaset rock dan pop secara diam-diam, seolah mereka menjual heroin. ”Mau apa…? Iron Maiden?”

Marjane akhirnya membeli kaset Iron Maiden, grup musik cadas asal London yang digawangi vokalis Bruce Dickinson itu. Ia membawa pulang ”barang dekaden” itu dengan selamat, meski di jalan Marjane kepergok dua perempuan tua, yang menginterogasinya karena melihat pin Michael Jackson tersemat di dadanya. Di rumah, ia mengalami ekstase, melepas jilbabnya, berjingkrak, mendengarkan gempuran sangar musik heavy metal sembari ”mencabik-cabik” raket. Dalam imajinasinya, Marjane merasa dirinya seperti gitaris Iron Maiden, Dave Murray, yang gahar dan berambut panjang itu.

Itulah Persepolis, film yang berhasil meraih penghargaan dalam Festival Film Cannes tahun ini dan menjadi pembuka JiFFest ke-9. Baru kali ini sebuah film animasi menjadi pembuka JiFFest. Film ini sempat menjadi kontroversi di Cannes karena dianggap menggambarkan perubahan sosial di Iran di mata seorang perempuan yang sejak kecil dididik orang tuanya dengan demokratis. Oleh Mehdi Kalhor, penasihat kebudayaan Presiden Iran Ahmadinejad, film ini dianggap membawa gagasan Islamofobia.

Film ini diangkat dari novel grafis karya Marjane Satrapi, 38 tahun, yang menulis dan melukis berdasarkan pengalaman pribadinya. Ilustrator yang lahir di Iran dan kini menetap di Paris itu menjadi saksi perubahan politik di Iran pada 1970-an, saat pemerintahan Shah berpindah ke Imam Khomeini dan kemudian terlibat perang melawan Irak. Lalu pengalamannya saat remaja dikirim ke Wina dan akhirnya pada usia 20 tahun ia kembali ke Teheran, menjadi mahasiswa seni rupa.

Semua ini sebelumnya dituangkan Marjane dalam seri novel grafis—sebuah komik yang dipuji kritikus mana pun karena gambar-gambarnya sederhana, hitam-putih, tapi mampu menampilkan banyak situasi secara kuat. Ia mengadaptasi komiknya itu, memadatkan, menghidupkannya ke dalam sebuah animasi.

Cannes adalah tempat berseminya para sutradara Iran. Dari festival inilah debut pertama sutradara-sutradara Iran, dari Abbas Kiarostami sampai Samira Makhmalbaf. Film-film mereka memikat karena menampilkan bahasa film berbeda. Mereka berbicara persoalan sosial Iran, tapi secara tak langsung. Dan kini muncul sebuah film animasi yang berani mengungkapkan segala ”anomali” di Iran apa adanya. Misalnya adanya pengawal revolusi yang kerap menggerebek pesta-pesta anak muda, menteror keluarga yang menyimpan alkohol, atau menahan kaum muda yang pacaran, meski kemudian para serdadu itu ternyata bisa disogok.

Film animasi ini menampilkan bagaimana pandangan hidup liberal Marjane (saat kecil suaranya diisi oleh Gabrielle Lopes dan saat remaja oleh Chiara Mastroianni) dibentuk keluarganya yang berwawasan luas: Ebi, ibunya (dinarasikan Catherine Deneuve, yang sehari-hari adalah ibu Chiara), Taji, ayahnya, dan juga neneknya.

Keluarga Marjane yang cenderung sosialis tidak menyukai Shah. Si kecil terbentuk dalam suasana ini dan sering mengangankan dirinya memimpin demonstrasi besar. ”Gulingkan Shah, gulingkan Shah!” demikian ia berlatih di ruang tamu. Namun, ketika Shah Iran tumbang oleh Revolusi Iran pada 1979, keluarga Marjane kecewa karena muncul pemerintah baru yang bagi mereka tidak demokratis. Sahabat mereka ditangkap dan dianiaya. Salah satu yang paling membuat sedih Marjane adalah ketika pemerintah baru menangkap pamannya yang komunis, Paman Anoosh. Ia menyambangi pamannya di penjara, sebelum pamannya itu dieksekusi mati.

Penonton dapat membayangkan bagaimana Marjane yang suka Adidas, Bruce Lee, film Godzilla, dan bermimpi menjadi nabi terakhir itu tiba-tiba hidup dalam sebuah dunia yang dibatasi. Bagian film yang lucu adalah adegan bagaimana ia bereaksi terhadap perubahan itu. Bagaimana tiba-tiba ia ingin menghajar teman laki-lakinya lantaran ayahnya ketika bertugas sebagai agen rahasia Shah Iran banyak membunuh komunis.

Mulanya ia senang pada grup musik seperti Bee Gees dan ABBA, tapi kemudian ia beralih ke grup-grup yang memiliki ”ideologi” perlawanan. Ia mengenakan jaket bertulisan ”Punk not dead” di punggungnya. Ia, yang sering menjelang tidur berdialog dengan Tuhan, tiba-tiba di suatu malam bertanya kepada Tuhan mengapa banyak pembunuhan di Iran dan Tuhan tidak berbuat apa-apa. ”Pergi Kamu,” ia mengusir dan marah kepada Sahabatnya.

l l l

ADA beberapa film penting bertema perempuan dalam festival kali ini. Dirilisnya film Chants of Lotus (Perempuan Punya Cerita), sebuah film dari empat sutradara perempuan Indonesia, Lasja, Fatimah Tobing, Nia Dinata, dan Upi, dalam festival kali ini membuktikan itu.

Dari beberapa film bertema perempuan, kita melihat film yang menyuguhkan sosok perempuan yang berada dalam kecamuk persoalan tapi memiliki sikap untuk menentukan dirinya sendiri. Tontonlah Elizabeth: The Golden Age karya Shekhar Kapur. Ini bagian kedua dari trilogi yang direncanakannya tentang ratu pertama Inggris itu. Film pertama dari trilogi ini, Elizabeth, pada 1998 meraih delapan nominasi Oscar. Cate Blanchett, yang dulu memerankan Elizabeth, kini memerankan sosok yang sama.

Kapur menampik pandangan seorang agamawan dari Italia yang mengkritik filmnya memiliki sikap anti-Katolik. Yang ditampilkan dalam filmnya, menurut dia, adalah sebuah fanatisme dalam agama. Film ini memang memperlihatkan bagaimana Elizabeth I yang tak mau tunduk kepada Raja Philip II dari Spanyol—seorang raja Katolik yang waktu itu sangat berkuasa di Eropa. Pada 1585, sang Raja menganggap Inggris yang dipimpin seorang ratu Protestan sebagai sebuah ancaman bagi agama Katolik. Ia bermaksud melancarkan perang. Sosok Elizabeth—yang saat itu berusia 52 tahun—dilukiskan tak gentar melawan dominasi Philip II.

Kapur memang gemar menampilkan karakter perempuan yang liat. Ingat filmnya Bandit Queen (1994), tentang Phoolan Devi, bandit perempuan yang termasyhur di India karena keberaniannya membela kasta rendah. Ia banyak membunuh anggota geng dari kasta tinggi. Yang menakjubkan, setelah lepas dari penjara, dengan susah payah Phoolan berhasil menjadi anggota parlemen India meski kemudian terbunuh.

Marjane dalam Persepolis sedari kecil juga ditampilkan memiliki jiwa menentang. Di sekolah di Teheran, saat gurunya mengajarkan bahwa di era para mullah tak ada lagi tahanan politik, Marjane langsung mengacungkan jarinya. Dengan lantang Marjane menyatakan bahwa jumlah tahanan politik saat Shah Iran berkuasa hanya 30 ribu dan pascarevolusi justru menjadi 300 ribu orang. Karena sikapnya yang kritis, orang tuanya khawatir. Marjane di usianya yang begitu belia (14 tahun) dikirim ke sekolah Prancis di Wina, Austria.

Film lain adalah La Vie en Rose karya Oliver Dahan, yang mengisahkan Edith Piaf (Marion Cotillard), penyanyi balada yang disayangi oleh masyarakat Prancis. Piaf adalah ikon nasional Prancis. Ketika Prancis diserbu Jerman dalam Perang Dunia II, Piaf banyak menolong gerakan bawah tanah. Syahdan, saat situasi Prancis memburuk, yang membuat daya hidup masyarakat Prancis tetap terjaga sehari-hari adalah lagu-lagu balada Piaf.

Film ini memperlihatkan betapa masa kecil Piaf sangat sengsara. Ia lahir dari lingkaran dunia sirkus. Ayahnya seorang pemain akrobat. Ibunya pemabuk, suka bernyanyi di jalan-jalan.

Ayahnya menitipkan Piaf kepada sang nenek, yang bekerja sebagai germo. Piaf diasuh oleh para pelacur yang di kala senggang suka menyanyi. Pernah suatu kali, seorang pelanggan yang mengamuk menghajar Piaf hingga mata Piaf buta. Para pelacur bahu-membahu mengumpulkan uang dan membawa Piaf ke makam Santa Theresa di Lisieux. Mereka berdoa bersama meminta kesembuhan Piaf—dan ajaib, mata Piaf dapat melihat lagi.

Piaf tumbuh sebagai penyanyi jalanan Paris. Di sebuah trotoar, ketika ia menyanyi, seorang pemilik klub bernama Louis Leplee (Gerard Depardieu) terpukau oleh bakatnya dan membawanya untuk menjadi penyanyi pub. Suaranya dianggap memiliki karakter unik, seolah bercericit melengking, hingga ia dijuluki si burung pipit. Nama asli Piaf sesungguhnya adalah Edith Giovanna Gassion. Piaf dalam bahasa Prancis berarti burung gereja. Dari pub pinggiran itulah karier Piaf menanjak, berhasil menaklukkan hall-hall terhormat, seperti Carnegie Hall di Amerika. Marlene Dietrich, artis Jerman, menyebut bahwa Piaf adalah jiwa Prancis.

Edith Piaf adalah legenda. Yang menarik adalah sikap sutradara yang sengaja tidak memfokuskan diri pada sosok selebriti Piaf. Yang dipotret adalah saat Piaf muncul dari kemelaratan, siapa orang-orang yang membantu di awal kariernya, bagaimana polisi menciduk Piaf saat Leplee ditemukan terbunuh. Film ini tidak menampilkan sosok Piaf dalam lingkaran jetset seniman dan sutradara terkenal seperti Jean Cocteau dan Yves Montand atau saat ia menjadi istri petinju terkenal Marcel Cerdan.

Film ini juga tak mengidolakan Piaf sebagai sosok pahlawan yang memiliki keterlibatan dengan gerakan bawah tanah nasionalis Prancis.

Sutradara menampilkan Piaf sebagai manusia biasa, yang tersinggung saat dihina, yang tak mau menyerah, yang lengkap dengan segala keudikannya tapi mampu bertahan. Film ini memperlihatkan bagaimana gaya hidup Piaf sehari-hari yang urakan, suka mabuk, dan masih tampak kampungan. Itulah yang membuat film ini menarik ditonton. Piaf meninggal pada 11 Oktober 1963, pada usianya yang ke-47, digerogoti kanker liver. Judul La Vie en Rose diambil dari judul lagu terkenalnya pada 1946.

Dari Jerman, festival ini akan menayangkan film Four Minutes karya Chris Kraus yang mengesankan: tentang seorang guru piano tua bernama Traude Kruger yang mengajari para narapidana perempuan di penjara wanita Mannheim. Adalah seorang murid bernama Jenny von Loeben—umurnya 21—seorang pecandu minuman keras dan tersangka pembunuhan. Tabiatnya aneh, emosinya labil, meledak-ledak. Untuk latihan, tangannya harus diborgol. Namun dengan tangan terantai dan memunggungi piano pun dia bisa memainkan piano secara agresif.

Saat latihan, ia dijaga khusus oleh para sipir karena kadang kala ia bisa saja menyerang mereka sambil berteriak: ”Fasis-fasis….” Kruger sadar betapa genialnya anak itu. Ia meyakinkan petugas, Jenny harus diberi sedikit kebebasan. Para sipir tak sepakat dan mereka malah mengunci piano. Film ini memperlihatkan hubungan sosok tua Kruger yang bijak, halus, dengan Jenny yang serba meluap-luap tak terduga. Kontras itulah yang menjadikan film menarik.

Kruger kemudian nekat membawa Jenny ke sebuah kompetisi piano di luar kota. Polisi memburu mereka. Jenny masuk ke panggung. Ribuan penonton melihatnya. Ia memainkan karya Schuman dengan cara tak lazim. Sangat liar, agresif, dan seperti trance. Jari-jemarinya tak hanya memainkan tuts, tapi secara kalap juga memetik dawai yang ada di bagian dalam piano. Ia seperti kesurupan, menabuh penutup piano—seperti memukul tabla atau ketipung. Kakinya di bawah agresif memainkan pedal, menghasilkan bunyi kuat dan lembut secara mengejutkan. Schuman dalam jemari Jenny menjadi demikian sangat ekspresif dan dramatik. Penonton terperangah. Dan ketika Jenny selesai, mereka berdiri memberikan aplaus yang meriah.

l l l

DARI empat film tersebut, kita bisa menyaksikan potret perempuan yang memberontak. Marjane, Elizabeth, Edith Piaf, dan Jenny adalah perempuan yang menampik untuk tunduk, meski pilihan mereka akhirnya berisiko.

Si kecil Marjane saat hidup di Wina ternyata kesulitan beradaptasi. Ia merasa ditampik. Lingkungan sekolah dan tempat kosnya masih menganggap dirinya seorang perempuan—dari sebuah negara yang terbelakang, penuh dengan kekerasan, dan konservatif. Ia kemudian membaca Sartre sampai Bakunin—untuk memahami jiwa Eropa. Ia bergabung dengan subkultur punk Wina dan komunitas hippie anarkis. Di situlah ia mengira akan menemukan ”sebuah rumah”, tapi ternyata gagal.

Beberapa kali di Wina ia berusaha pacaran, tapi pacarnya ternyata homoseksual, dan seorang lain peselingkuh. Di sebuah bar, suatu malam, dalam keadaan krisis identitas, kepada seorang bartender Marjane mengaku berasal dari Prancis, tapi itu membuatnya merasa tak jujur dan dengan galau ia menggelandang dan tertidur di jalanan Wina. Dalam perasaan sepi, ia memutuskan untuk pulang ke Iran.

Di Iran, untuk membangkitkan semangatnya, Marjane kemudian masuk sekolah seni di Universitas Teheran. Lagu Eye of the Tiger dari grup Survivor yang menjadi soundtrack film Rambo mengiringi langkahnya. Tapi, di kampus, ia kembali frustrasi karena untuk belajar anatomi pun ia tak diperbolehkan menggunakan model telanjang. Di ruang kelas, repro lukisan Botticelli yang menampilkan tubuh bugil harus ditutup. Di umur 21, ia kawin—namun gagal. Akhirnya, ia pergi ke Paris dengan harapan menemukan sebuah kebebasan.

Sampai saat ini, Marjane masih menetap di Paris. Kita tak tahu akankah ia pulang ke Iran. ”Saya selalu merindukan Iran. Tapi saya punya kehidupan yang saya dambakan di Prancis. Kebebasan berekspresi yang saya inginkan tidak bisa saya dapatkan di Iran,” katanya kepada koresponden Tempo, Asmayani Kusrini, yang menemuinya di Festival Film Cannes 2007.

Sebuah sikap rindu kebebasan yang mengingatkan pada tokoh Hermilia dalam film Love for Sale: Suely in the Sky karya sutradara Brasil, Karim Ainouz. Film dibuka dengan kepulangan Hermilia ke Kota Iguatu, setelah berdiam di Sao Paulo selama 2 tahun. Pada usia 21 tahun, ia membawa bayi sembari menanti kedatangan pacarnya, yang tak kunjung datang. Dengan nama Suely, ia memutuskan menjadi penjual tiket undian. Hadiahnya? Pemenang boleh tidur dengannya. Ia ingin mengumpulkan uang demi pergi ke tempat terjauh yang bisa dicapai bus dari stasiun kampung halamannya.

Itu juga mengingatkan pada kebimbangan tokoh Ashima dalam film Mira Nair terbaru: Name Sake, yang bertolak dari novel Jhumpa Lahiri. Ashima mengikuti suaminya, Ashoke, untuk tinggal di Amerika. Ashima tetap terikat dengan kultur India. Mereka memiliki anak-anak yang tumbuh dalam dua kultur, Amerika dan India. Ketika Ashoke meninggal, dan anak-anaknya memilih menetap di New York, pada usianya yang ke-45 Ashima memutuskan pulang ke Kalkuta. Ia kembali belajar menyanyi, seperti dilakukannya saat gadis. Betapapun begitu, hatinya ada di dua tempat.

Ia tak pulang dalam arti sesungguhnya. Sutradara Nair mengakhiri filmnya dengan nyanyian Susheela Rahman, penyanyi berdarah Tamil yang berdiam di London. Liriknya seolah mewakili persoalan ”perjalanan” perempuan-perempuan lain seperti Marjane:

How many road have I wonder my own Behind me the bridges have crumbled No question of return Where, then will I call my home?

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus