ADA yang menghubungkannya dengan peringatan Hari Kemerdekaan 17
Agustus baru lalu. Tapi ada pula yang mengaitkannya dengan kabar
yang semakin keras terdengar akhir-akhir ini bahwa kota Kisaran
akan segera dikukuhkan sebagai ibukota Kabupaten Asahan. Yaitu
ketika hampir secara tiba-tiba, team keindahan kota yang baru
saja terbentuk, akhir Juli lalu mengeluarkan instruksi: agar
seluruh warga kota Kisaran mengecat rumahnya (termasuk rumah
pertokoan) dengan warna yang telah ditentukan. Ketentuan lebih
lanjut menetapkan: warna kuning telor untuk bangunan-bangunan di
kawasan Jalan Imam Bonjol, Cokroaminoto, Rivai, Malik Ibrahim,
Anwar, Sibogat dan Jalan Sutomo. Warna biru muda: Jalan Listrik,
Cipto dan Jalan Diponegoro. Merah jambu: Jalan Masmansur. Hijau
muda: Jalan Kartini, Panglima Polem, Pattimura dan Jalan Bakti.
Biru laut: Jalan Wahidin, Haji Misbah dan Jalan Haji Miskin.
Putih: Jalan Singamangaraja, Teuku Umar dan Jalan Pasar Lama.
Dan setelah warga kota merogoh kantong untuk membeli
berkaleng-kaleng cat, apa hasilnya? "Rasanya kok gelap, seperti
dalam gua", kata seorang warga kota ketika malam-malam melintasi
Jalan Listrik yang berwarna biru laut. Tapi lebih dari itu,
mengitari kota ini siang hari bagaikan menyaksikan tumpahan
bermacam warna tinta di atas lantai tanpa bentuk yang jelas. Dan
jangan lupa, sejak warna-warna itu mengecat dunia kota Kisaran,
para penarik beca sudah hafal benar ke arah mana tujuan
penumpangnya kalau terdengar tegoran: "He, bang, berapa ke jalan
biru?" Namun sementara hampir semua bangunan dalam kota mentaati
instruksi tadi, masih tersisa sebuah masjid dan sebuah gereja
yang tetap dalam warnanya semula. Dalam ketentuan seharusnya si
masjid mendapat warna merah jambu, sedang gereja kebagian warna
hijau muda. "Bagaimana mungkin masjid ini akan kami cat merah
begitu", gerutu seorang pengurus masjid kepada TEMPO.
Sampah
Di tengah kota yang sudah berwarna-warni itu, mencari tempat
pembuangan sampah agaknya masih juga menjadi masalah kota
Kisaran. Pada mulanya barang sisa yang jumlahnya 36 ton sehari
itu dibuang di kampung Sentang pada bagian tanah yang berlembah.
Namun tak lama penduduk sekitar protes, karena banyak lalat
hijau yang merayap ke rumah-rumah mereka. Lalu dipindah ke jalan
Kartini yang berawa-rawa. Protes penduduk sekitar datang pula,
dengan alasan lalat hijau lagi. Dan entah karena bingung karena
desakan kebutuhan, akhirnya tempat pembuangan dipindah pula ke
kuburan Tionghoa di Jalan Pasar Lama. Mula-mula tenang-tenang
saja. Tapi akhirnya protes muncul lagi dari pengurus Yayasan
Tanah Wakaf Tionghoa Kisaran yang merasa berhak atas tanah itu.
Lama juga tak ada reaksi, baik dari Bupati, Dinas PU (yang
membawahi kebersihan kota) maupun Kantor Agraria setempat.
"Mereka berdagang di sana", ujar R. Makhmud, Kepala PU.
Maksudnya, pengurus yayasan penguburan itu berjual-beli tanah
kuburan dengan cara memasang tarif tinggi untuk tiap petak tanah
kuburan. "Kalau kami berdagang tentu anggota kami yang lebih
dulu ribut, bukan pak Makhmud", bantah Halim Harsono, si ketua
yayasan. Dan mungkin karena fihak yayasan terus memprotes, maka
awal bulan lalu fihak Pemda Asahan mengirim surat permohonan
kepada PNP V Sungai Dadap, agar kiranya fihak terakhir ini
memperkenankan sebagian tanahnya dijadikan tempat pembuangan
sampah. Tanah perkebunan itu terletak 3 km di luar kota
Kisaran. Namun belum jelas benar, apakah permintaan itu dapat
dikabulkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini