PERNAH, di desa Seririt dan Pengastulan -- tempat terparah yang
tertimpa gempa di Bali utara -- rakyat harus memasak beras
dalam bentuk bubur. Jatah beras dari yang seharusnya (400 gram
sehari) sampai ke tangan rakyat jauh berkurang. Siapa yang salah
dalam hal ini? "Semua salah", ujar drs. A. Harun Alrasjid, tanpa
mau menyebutkan di mana beras itu tercecer. Harun adalah ketua
team Task Force Penanggulangan Bencana Alam/Gempa di Bali dan
Irian Jaya. Team terdiri dari beberapa anggota
inter-departemental yang dibentuk dalam surat keputusan khusus
Presiden.
Tidak jarang pula, team lokal (yang diketuai oleh Gubernur)
tidak sejalan pendapatnya dengan team pusat. "Tapi kami ini
menilai dalam ruang ligkup yang lebih luas, melihat segala
sesuatu dari segala sudut", tambah Harun, "sementara dari fihak
Pusat soal seperti bencana gunung Agung titak mau terulang
lagi". Harun juga menyinggung bahwa laporan daerah ke pusat
sering tidak cocok dengan keadaan. "Seperti misalnya gempa yang
ada di Irian Jaya. Menurut pendapat kami, laporan tertulis
terlalu dibesar-besarkan".
Uang Paket Saja
Apa yang paling mendesak untuk para korban gempa bumi di Bali
adalah pengadaan beras. Menjelang pertengahan Agustus kemarin,
persediaan beras menipis. Gubernur Bali Sukarmen malah
memperkirakan bahwa sesudah 14 Agustus pembagian akan
dihentikan, karena memang tidak ada beras. Team Pusat juga
menekankan harus adanya persediaan 1.400 ton beras (setiap hari
harus di drop 40 ton dan persediaan tadi untuk 35 hari, sampai
dengan pertengahan Oktober 197). "Ini jumlah tahap bantuan
pertama", kata Harun, "karena setelah 3 bulan, kami harapkan
suasana akan normal kembali". Untung pengadaan bers cepat
teratasi dalam arti jatah cuma terhenti beberapa hari saja
setelah 12 Agustus. Team berpendapat bahwa pengadaan beras baru
mutlak harus ada sebelum 10 September kalau tidak rakyat
kelaparan lagi sementara antri makanan bukanlah hal yang luar
biasa akhir-akhir ini. Pusat juga harus menyediakan sejumlah Rp
300 juta untuk uang lauk-pauk dan lain-lain (yang dihitung dari
Rp 100 per kepala keluarga per hari, Rp 5 juta per hari untuk
persediaan 2 bulan).
"Dan bukanlah salah penduduk kalau mereka tidak mau tinggal di
barak" kata Harun lagi. Karena mereka sudah hidup
sendiri-sendiri atau per keluarga sehingga enggan meninggalkan
sepotong tanah di mana tadinya rumah mereka berdiri. Team juga
menolak saran diadakannya kredit dari Rp 100-Rp 500 ribu dengan
bunga 12% setahun selama jangka 5 tahun. "Siapa yang akan
dijadikan jaminan?" tanya Harun. Selain memakan waktu,
pelaksanaannya akan lebih rumit lagi. "Di samping bank mana yang
akah memberikan bantuan, hingga kini kami belum tahu", tambah
Harun. Sebaliknya pelaksanaan pendirian rumah minimum akan
sangat membantu, karena mereka masih mempunyai harta (sedikit
atau banyak) di bawah puing-puing rumahnya yang runtuh. Misalnya
bagi rumah yang cuma tinggal 20% saja dari sisa bangunan, akan
diberi uang paket bahan bangunan Rp 25.000. Sisa bangunan yang
bisa dipakai dalam jumlah 40o mendapat Rp 20.000, yang lebih
dari itu dan masih tampak sedikit berdiri, Rp 15.000. Semua
ditambah Rp 5.000 sebagai ongkos membangun kembali, secara
gotong royong. Rumah-rumah ini terdiri dari bambu.
Resosialisasi Saja
"Mudah-mudahan usul team diterima, sebab kami ini hanya
mengemukakan saran saja", kata Harun lagi. Untuk Irian Jaya,
team menolak apa yang namanya evakuasi dan long march ke tempat
lain. Ir. A. Effendi dari team Pusat yang mengepalai team dari
Departemen Pertambangan Umum berpendapat bahwa masih ada
beberapa tempat (luas) bagi rakyat di sekitar situ untuk membuka
daerah pertaniannya. Selain tertumbuk oleh soal biaya yang
menggajah kalau jadi pindah, masalah antar suku yang ditimpa
gempa masih dalam taraf saling berperang. Dari hasil hitung
menghitung, rehabilitasi selama 8 bulan memerlukan biaya Rp
435.100. 000. Termasuk ongkos angkut makanan, perbaikan lapangan
udara dan pembuatan gudang. Untuk hal ini Gubernur Sutran
meminta jumlah yang mendekati Rp 988.300.000, termasuk suplai
makanan. Dari jumlah Rp 435.100.000 ini, daerah berhak membayar
Rp 200 juta sendiri (hasil uang sumbangan langsung sekitar Rp
300 juta), sisanya akan dibebankah pada deparemen PUTL,
Perhubungan dan Dalam Negeri. Departemen Sosial sendiri,
bertanggung jawab untuk pengadaan beras sejumlah 768 ton, untuk
jangka waktu 8 bulan mendatang, ditambah dengan uang lauk-pauk
sekitar Rp 30.400.000. "Kami berpendapat sebaiknya diadakan
rehabilitasi dan resosialisasi saja, untuk taraf pertama'?, ujar
Harun. Biaya untuk hal ini, bagi 8.000 jiwa cuma Rp 52 juta. Ini
meliputi pemberian alat-alat untuk berladang, gedung sekolah dan
poliklinik.
Dari ribut-ribut kekurangan heli atau kapal terbang untuk
mengangkut bantuan akhir Agustus ini Sentani malah kebanjiran
pesawat terbang. Seorang pejabat di Jayapura bahkan berkata:
"Kami tidak tahu apa yang akan diangkut, dengan sekian banyak
heli". Setelah sebelumnya senen-kemis pesawat heli sebuah saja
dari jenis Puma dan 2 Hughes 500, kini ada sebuah Cessna AURI, 2
heli Nomad dan 2 Puma. Tambah si pejabat itu lagi: "Kami malah
pelesir ke Wamena dengan Cessna. Juga ketika 17 Agustus, Cessna
sebar pamplet di perbatasan".
Hingga 24 Agustus, bantuan yang diterima lewat Departemen Sosial
dalam jumlah uang saja ada Rp 113.016.525, $S 2Q.000 dan $AS
5.755,95. Uang asingnya masih utuh dalam bentuk cek tapi
rupiahnya bersaldo Rp 49.250.163, karena telah dipakai untuk
uang laukpauk. Kata Harun lagi: "Uang tidak kami berikan begitu
saja pada daerah. Tapi setiap hari kami memonitor daerah,
tinggal berapa saldo mereka dan apa keperluan mereka
selanjutnya. Semua ini untuk mengurangi ceceran uang yang tidak
digunakan secara selayaknya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini