Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENTAH kenapa ia dijuluki ”Mozart”. Ia tak paham musik sama sekali. Mengapa pula ia ingin disebut penganut ajaran Kristen sejati? Ia nyaris tak tahu perayaan Paskah. Ia bilang, ia bukan rasis. Padahal ia ingin mengusir semua orang kulit berwarna dari Belanda.
Ia mengaku sutradara film, tapi tak mengerti film sama sekali. Ia ingin menegakkan kembali nilai-nilai budaya Belanda, tapi tak bisa menjelaskan budaya Belanda itu seperti apa. Ia gigih menyerukan demokrasi, tapi tak paham toleransi.
Itulah Geert Wilders, 44 tahun. Ingin memitoskan diri sebagai ”pria misterius”, lelaki pirang ini selalu dikawal oleh empat-lima bodyguard selama 7 x 24 jam. Ia nyaris tak tersentuh. ”Dia seorang monomaniak,” kata Bart Jan Spruyt, mantan penasihat media Wilders di partai yang didirikannya, Partai Kebebasan . ”It’s he, himself, and him.”
Spruyt mengaku sangat naif ketika menerima tawaran Wilders bergabung di partainya. Tapi dari situ Spruyt mengakui betapa lihainya Wilders memainkan media sebagai alatnya untuk menjadi tokoh populis. ”Ia tahu cara bermain dengan media dan tahu cara mendominasi debat publik. Ia adalah one man show,” kata Spruyt sambil menambahkan bahwa Wilders ”orang paling keras kepala dan paling tak bisa bekerja sama dengan orang lain.”
Di kantor parlemen Belanda, Wilders—yang menikah dengan seorang Yahudi-Hungaria—terkenal tak suka bergaul. Ia datang sesuka hati ke parlemen dan tak merasa perlu menghadiri pertemuan publik. Menurut Sybrand van Haersma Buma, anggota parlemen dari Partai Kristen Demokrat, Wilders punya strategi khusus untuk membuat dirinya terus diinginkan.
”Dia akan diam selama beberapa lama, susah ditemui, dan kadang menghilang, lalu tiba-tiba muncul dengan sebuah wawancara,” kata Haersma Buma. ”Kemudian ia akan diam dan menghilang lagi, sehingga orang-orang membicarakan wawancara tersebut. Lalu tiba-tiba dia muncul lagi, bikin pernyataan keras, kemudian menghilang lagi.”
Tentang film Fitna, Wilders kabarnya mengerjakan film itu sejak November tahun lalu. ”Setiap kali muncul, dia menjatuhkan bom-bom kecil lewat pernyataan-pernyataan provokatif, lalu kabur sebentar. Fitna adalah akhir cerita,” kata Buma. Sekarang ia raib lagi.
Wilders, lahir di Kota Venlo, Provinsi Limburg, pada 6 September 1963, awalnya hanyalah remaja biasa. Ia dibesarkan dalam tradisi Katolik Roma, tapi tak pernah ke gereja. Ia sempat menjadi penjaja asuransi kesehatan hingga kemudian menjadi asisten Frits Bolkestein, seorang pemimpin dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi. Dari Bolkestein inilah Wilder belajar cara berdiplomasi karena seringnya menemani sang bos ke mancanegara.
Wilders kemudian memulai karier politiknya dan terpilih sebagai anggota parlemen pada 1998. Selama di partai, Wilders hanya jadi bayang-bayang. Tapi ia tahu cara mencuri perhatian media. Suatu hari ia menyebut mendiang Pim Fortuyn—sesama populis yang juga anggota parlemen—sebagai pedofil dan homomaniak. ”Fortuyn tak akan seberani saya mengusir orang-orang Maroko,” katanya di depan kamera televisi. ”Dia berhubungan seks dengan bocah-bocah Maroko di kamar gelap.”
Setelah itu, ia terus menggempur dengan pernyataan-pernyataan radikal hingga membuat teman-temannya di partai muak. Paham bagaimana mudahnya menyetir media, ia pun ketagihan tampil. Maka, pada 2004, ia keluar dari VVD dan membentuk partai sendiri, yang diberi nama Groep Wilders.
Pemilihan nama ini jelas menunjukkan keinginan Wilders untuk tampil one man show. Tapi, Wilders sadar, dengan nama itu ia tak akan menarik perhatian. Ia pun memilih nama baru: Partai Kebebasan, PVV.
PVV segera menjadi gunjingan partai politik lain. Meski bernama Partai Kebebasan, PVV bukanlah partai dengan massa. Awalnya, PVV cuma Wilders seorang. Ia kemudian mengklaim telah memiliki 50 anggota. Pada pemilu parlemen 2006, PVV ternyata memperoleh 579.490 suara, yang berarti enam persen dari total pemilih.
”Itu yang membuat kami tak mengerti,” kata Buma. ”Saya sendiri tak pernah percaya ia akan berhasil merebut sembilan kursi di parlemen.” Menurut analis politik, keberhasilan ini tak lepas dari isu pembunuhan Theo van Gogh oleh Muhammad Bouyeri, yang jadi jualan Wilders untuk menarik simpati.
Setelah memenangi sembilan kursi, barulah Wilders mencari orang-orang yang akan didudukkannya di parlemen. ”Ia organisator yang cerdik: memilih orang-orang yang bisa disetir. Hanya sembilan orang inilah anggota partai Wilders sesungguhnya,” kata Buma.
Menurut Buma, inilah pertama kali terjadi di Belanda sebuah partai tanpa kantor berhasil merebut sembilan kursi. ”Modal Wilders hanya website. Itulah kantornya.”
Asmayani Kusrini (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo