Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHAD sore dua pekan lalu, telepon seluler Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR, Fahri Hamzah, berdering. Yang menelepon adalah Ketua DPR Agung Laksono. ”Saya jangan diserang, dong,” kata Fahri menirukan Agung. Sehari sebelumnya, di media massa, Fahri memang sempat ”melepaskan peluru” ke arah Agung.
Yang dipersoalkan Fahri adalah kepemimpinan Dewan, yang dinilainya melempem. Ia mengusulkan perlunya pimpinan diganti total. ”Sekarang ini DPR seperti sedang arisan saja,” kata Fahri kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Tak terasa ada kepemimpinan.”
Petinggi DPR memang lagi meriang. Dua pekan lalu, Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR, didesak mundur dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa. Jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR juga dipersoalkan.
Tahun lalu, Zaenal Ma’arif turun dari kursi Wakil Ketua DPR setelah diberhentikan dari keanggotaan Partai Bintang Reformasi. Sampai sekarang, posisi RI-54—diambil dari nomor mobil dinas yang dulu dikendarai Zaenal—masih melompong.
Wakil Ketua DPR lainnya, Soetardjo Soerjogoeritno, sedang tidak fit. Politikus 74 tahun dari Fraksi Banteng ini sempat masuk rumah sakit. Beberapa politikus Senayan membesuk dia saat dirawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta. Saat itu, kata Ganjar Pranowo, Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tardjo sempat berkata masih sanggup memegang jabatan Wakil Ketua Dewan.
Isu kocok ulang pimpinan DPR segera merebak. Salah satunya ”dipanaskan” Fahri di koran-koran. Itulah sebabnya Agung Laksono mengundang Fahri Hamzah ke ruang kerjanya, di lantai III Gedung Nusantara III Kompleks DPR/MPR, Rabu pekan lalu. ”Saya tanya pandangannya,” kata Agung kepada Tempo sehari sesudahnya.
Dipanggil sang senior, Fahri mengkeret juga. ”Saya sampaikan bahwa saya tidak bermaksud menggeser (Agung Laksono),” katanya. Menurut Fahri, fraksinya tidak berencana mendongkel Agung karena sudah mendapat jatah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang saat ini dipegang bekas Presiden PKS Hidayat Nur Wahid. ”Cuma,” kata Fahri, ”Pak Agung harus berani mengambil alih.” Yang dimaksud Fahri adalah keberanian mengambil sikap atas kursi Wakil Ketua DPR yang kosong.
Menurut Agung, rapat konsultasi pemimpin Dewan dengan pemimpin fraksi-fraksi sebenarnya telah digelar beberapa kali sejak tahun lalu. ”Tapi belum juga ada kata sepakat.”
Saat itu, tiga opsi muncul. Opsi pertama, posisi itu diisi empat fraksi dengan perolehan kursi terbanyak. Ini berarti yang berpeluang adalah Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Opsi kedua, keputusan diambil lewat voting. Artinya, kata Agung, setiap fraksi yang ada tapi belum punya wakil di pimpinan bisa mengajukan calon. ”Lalu dipilih suara terbanyak lewat voting di sidang paripurna,” katanya. Sedangkan opsi ketiga adalah memberikannya ke Fraksi PBR—asal partai Zaenal Ma’arif.
Meski tinggal setahun, menurut Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, posisi wakil ketua itu tetap strategis, ”Sehingga menjadi incaran banyak fraksi.” Menaruh orang di situ bisa mengerek citra partai di hadapan publik. ”Tugasnya kan menjadi juru bicara Dewan,” kata Agung.
Posisi wakil ketua juga vital dalam hal akses informasi. Seluruh kegiatan surat-menyurat Dewan dengan pemerintah dan lembaga lain harus melewati meja pimpinan. Belum lagi kalau ada pihak luar yang punya kepentingan. ”Biasanya mereka melobi pimpinan Dewan,” ujar Mahfudz.
Menurut Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin, posisi pimpinan Dewan, selain prestisius bagi partai, juga penting saat lobi DPR—baik lobi fraksi maupun lobi antara DPR dan pemerintah. Ini kerap dilakukan, misalnya, saat pembuatan undang-undang atau penyusunan anggaran.
”Pimpinan lebih didengar dibanding anggota biasa,” kata Lukman. Forum lobi kerap menjadi sarana menjebol kebuntuan saat pembahasan undang-undang. Fraksi yang punya cantolan ke pimpinan Dewan akan memiliki ”tenaga ekstra” dibanding mereka yang tak punya cantelan.
Posisi strategis pimpinan Dewan itu makin terasa karena Mei nanti Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden akan diperdebatkan. Salah satu isu yang sensitif adalah perlu-tidaknya minimum suara yang harus diraih sebuah partai agar bisa mengusung seseorang menjadi kandidat presiden. Isu ini penting bagi partai kecil seperti Partai Demokrat, yang bakal mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu 2009. Di sinilah posisi pimpinan Dewan bisa sangat menentukan.
Selain UU Pemilihan Presiden, yang akan segera dibahas adalah RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Seorang anggota Badan Urusan Rumah Tangga DPR berbisik, posisi ketua dan wakil ketua juga membuat mereka yang nangkring di situ lebih ”melek informasi” soal proyek—terutama pengadaan barang atau jasa yang digarap sekretariat jenderal. Ini bisa terjadi karena pimpinan juga memantau langsung anggaran Dewan.
Karena posisi strategis itulah para pengincar pasang kuda-kuda. Sejumlah fraksi kabarnya telah mengelus jago. Fraksi PPP kini menggadang-gadang Chozin Chumaidy, politikus senior yang banyak terlibat pembahasan undang-undang politik.
Dari Partai Demokrat, ada tiga orang yang dielu-elukan: Syarifuddin Hasan (Ketua Fraksi), E.E. Mangindaan (Ketua Komisi Hukum), dan Soekartono Hadiwarsito. Sedangkan Partai Bintang Reformasi mengusung ketua fraksinya, Bursah Zarnubi.
Ditemui Selasa pekan lalu, Chozin Chumaidy mengatakan sudah resmi menjadi calon PPP. ”Sudah dibahas dalam rapat fraksi dan dewan pimpinan pusat,” katanya. Saat ditanyai soal ini, Lukman Hakim mengatakan ada dua calon yang juga dipersiapkan. Mereka adalah Arief Mudatsir Mandan dan Ahmad Muqowwam. ”Keduanya juga senior dan berpengalaman,” kata Lukman.
Lukman Hakim menjelaskan fraksinya telah melakukan penjajakan ke tiga fraksi besar, yakni Golkar, PDIP, dan PKB. ”Sinyalnya oke,” katanya. Itu sebabnya dia merasa cukup pede jika mekanisme voting terbuka ditempuh. ”Itu memang usul kami.”
Ketua Fraksi PDIP Tjahyo Kumolo mengatakan partainya memang mendukung PPP. ”Tapi pemilihannya lewat voting terbuka di sidang paripurna,” kata dia. Seorang petinggi fraksi itu mengatakan figur Chozin Chumaidy menjadi salah satu pertimbangan ”Orangnya menguasai masalah, rajin, dan kooperatif.”
Ketua Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso mengatakan sikap resmi partainya baru akan dikeluarkan setelah dilakukan rapat internal. ”Sekarang ini belum,” ujarnya. Golkar, kata dia, tetap mendukung Agung sebagai Ketua DPR. Seorang petinggi Golkar mengatakan fraksinya juga mendukung calon PPP. ”Tapi, supaya enak dengan semua, dukungan diberikan lewat keputusan rapat fraksi.”
Adapun Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarifuddin Hasan mengatakan pihaknya menunggu rampungnya revisi UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. ”Kalau sekarang dasarnya apa?” kata dia. ”Kan, undang-undangnya sedang direvisi.” Dengan kata lain, fraksi belum memutuskan siapa calon yang akan disorong untuk posisi wakil ketua.
Effendy Choirie, Ketua Fraksi PKB, mengatakan fraksinya mendukung calon dari PBR. Alasannya, posisi yang kosong itu sebelumnya diisi kader partai itu. ”Ini sesuai dengan tata tertib Dewan,” kata dia. Tata tertib DPR menyebutkan pimpinan DPR terdiri atas satu ketua dan tiga wakil yang dipilih sebagai satu kesatuan di sidang paripurna. Sedangkan jika ada yang digantikan, penggantinya berasal dari fraksi yang bersangkutan. Partai selain PBR beranggapan pimpinan Dewan haruslah mewakili partai-partai yang ada. Dengan kata lain, tak ada kewajiban mengganti kader PBR di kursi pimpinan Dewan dengan kader PBR lainnya.
Didukung PKB, Bursah manggut-manggut. ”Jika mau cara lain, tata tertibnya harus diubah dulu,” ujarnya. Sedangkan soal calon dari partainya, menurut dia, Fraksi PBR saat ini belum mengambil keputusan.
Sumber Tempo mengatakan Bursah Zarnubi dan Agung Laksono sebenarnya sempat membuat kesepakatan soal ini. ”Fraksi PBR diminta melepas posisi wakil ketua itu, tapi gantinya mereka bisa langsung ikut Pemilu 2009,” kata dia. Ini terkait dengan klausul suara minimal Pemilu 2004 yang harus dimiliki sebuah partai agar bisa ikut lagi dalam Pemilu 2009.
Belakangan diketahui tidak hanya PBR yang bisa lolos menikmati kemudahan itu. Dalam UU Pemilu yang baru disahkan DPR, partai kecil lain juga diizinkan ikut Pemilu 2009 meski suara mereka dalam Pemilu 2004 tak seberapa. Walau demikian, partai-partai kecil dikunci dengan klausul parliamentary threshold 2,5 persen. Maksudnya, jika dalam Pemilu 2009 sebuah partai tak mendapat minimal 2,5 persen suara, partai itu tak bisa mendapat kursi di DPR. Kursinya akan diambil oleh partai lain yang melampaui suara minimal tersebut.
Karena PBR tak mendapatkan apa yang mereka inginkan, Bursah dan Agung tak jadi berjabat tangan. ”Deal itu batal,” kata sumber Tempo. Posisi wakil ketua itu pun akhirnya kembali menjadi incaran.
Ditanyai soal kesepakatan ini, Bursah membantahnya. ”Tidak ada itu,” kata Ketua Umum PBR ini. ”PBR bisa ikut pemilu karena usaha sendiri.”
Tapi Agung membenarkan adanya kesepakatan itu. Menurut dia, ide itu justru berasal dari Bursah sendiri. ”Waktu itu pihak Pak Bursah yang mengatakan, ‘Ya sudahlah, saya tidak mikirin posisi itu, asalkan bisa ikut pemilu’,” kata Agung kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Namun ternyata muncul ketentuan parliamentary threshold. ”Jadi belum seperti yang diharapkan,” ujarnya.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo