Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bermula dengan Menolak

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Goenawan Mohamad

Pahlawan bermula dengan menolak. Ia berangkat dari nilai. Karena itu, tak mudah sebenarnya memadankan kata "hero" dalam bahasa Inggris dengan "pahlawan" dalam bahasa Indonesia. Kini orang sering menyebut "hero" dengan sikap seringan membaca iklan film. Ketika John Wayne berkata "Orang sebaiknya jangan menonton bioskop jika ia tak percaya kepada hero", ia mencampuradukkan "pahlawan" dengan "jagoan".

Tokoh Kolonel Kirby dalam The Green Berets, misalnya, yang diperankan dan disutradarainya sendiri, adalah jagoan dalam arti yang utuh. Film dari tahun 1968 ini—tentang ketangguhan pasukan khusus Amerika di Perang Vietnam—ingin meyakinkan kita kenapa mereka "berjuang" di sana. Tapi Kirby dan pasukannya tak lebih dan tak kurang dari Jango, Rambo, dan James Bond: mereka datang, mereka melihat, dan mereka berantem (umumnya menang), tanpa cukup menunjukkan nilai apakah yang mereka hayati begitu kuat hingga mereka berbuat demikian. The Green Berets adalah contoh yang baik bagaimana yang penting bukan lagi apa yang dibela dan apa yang ditampik, di suatu masa ketika Perang Vietnam kian kehilangan alasan. Akhirnya, seperti kata prajurit Provo dalam film ini, motif utama seorang jagoan adalah berada "where the action is".

Itu sebabnya satu hal membedakan "pahlawan" dari "jagoan": yang pertama manusia yang menggugah hati, yang kedua makhluk yang membosankan. Dalam sebuah film action, sang jagoan menarik justru karena ia berfungsi terbatas: sebagai alat. Ia hadir, seperti robot dalam film Robocop, semata-mata untuk menciptakan suasana seru.

Memang terkadang ia mirip seorang pahlawan. Apalagi bila "pahlawan" (ada unsur "lawan" dalam kata itu) hanya dikaitkan dengan hati yang teguh dan langkah yang berani: sosok Lengkongwuaya dalam cerita M.R. Dayoh Pahlawan Minahasa, misalnya, atau Aragorn dan Legolas dalam The Lord of the Rings, atau Arjuna dalam lakon wayang Begawan Mintaraga. Dalam kisah-kisah ini, keberanian sedemikian menonjol hingga ia tampak berdiri sendiri. Ia sebenarnya sebuah laku yang pseudo-heroik. Keberanian adalah sebuah heroisme yang semu ketika ia terlepas dari pedihnya pengorbanan.

Pengorbanan menguji orang untuk memutuskan sejauh mana sebuah nilai dialami sebagai sakral. Kemerdekaan, misalnya. Tiap kali saya dengar "pahlawan", saya ingat akan Monginsidi. Pemimpin gerilya yang masih muda di Makassar itu, sebelum menjalani hukuman mati di depan regu tembak Belanda pada 5 September 1949, menulis sepucuk surat yang dengan mengharukan menggambarkan anak-anak muda di zamannya. Mereka ibarat "bunga yang sedang hendak mekar, tetapi digugurkan oleh angin yang keras". Ada nada sedih dalam kalimat itu, tapi tak ada sesal: "bunga" yang hendak mekar, biarpun gugur, adalah selintas kesegaran. Di depan kematian, Monginsidi tegak: beberapa menit sebelum bedil meletus, ia memaafkan para algojonya. Pengorbanan adalah sumber dari mana tumbuh sebuah wibawa. Dan tak ada wibawa yang lebih ampuh selain yang bersifat moral.

Dari sinilah yang heroik dan yang tragik bertaut. Pahlawan dibentuk dalam "situasi perbatasan". Karena itu tak ada epos yang tanpa kematian, atau sesuatu yang dekat dengan kematian. Di sebelah sini: maut atau kekalahan. Di sebelah sana: sesuatu yang tak selamanya jelas, tapi sanggup memberikan "arti". Seperti sebaris kalimat Chairil Anwar dalam sajak tentang Diponegoro yang bertempur: "Sekali berarti, sudah itu mati."

Karena itu Illiad dan Odysseus, epos yang konon digubah oleh Homeros di tahun 850 SM, bukan hanya cerita penaklukan dan penjelajahan. Archilles turun ke medan perang dengan sadar bahwa ia akan mati muda. Tapi ia ingin membalas kematian orang yang dikasihinya, Pratoclus. Dengan kata lain, ia—berbeda dengan tokoh Gilgamesh dalam epos tua dari Sumeria—tak mengutamakan kekalnya hidup. Dalam perjalanan pulang dari perang Troya, Odysseus ditawari kehidupan abadi oleh seorang dewi, tapi ia lebih memilih menjadi manusia yang fana, dengan teguh.

Tak berarti Odysseus adalah kisah tanpa heroisme semu. Keberanian Odysseus tak selalu berupa sikap dalam "situasi perbatasan". Pada akhirnya ia kembali ke kerajaannya dan meraup kemenangan, seperti seorang borjuis yang sukses setelah bersusah-payah menjelajahi pelbagai bidang usaha baru. Mungkin karena itu kepahlawanan—sebuah laku yang mempertautkan yang heroik dan yang tragik—tak mudah mendapatkan paradigmanya di sini. Kita lebih bisa menemukannya dalam Mahabharata.

Tentu saja dalam epos Hindu ini para Pandhawa pada dasarnya tak mengorbankan apa-apa. Mereka dibuang ke dalam hutan selama 12 tahun karena Yudhistira, si sulung, kalah berjudi. Mereka bertahan, tanpa letih dan ketakutan, tapi dalam cerita tragis keluarga Bharata ini satu-satunya hero dalam pengertian klasik adalah Kakek Bhisma. Dialah yang sejak awal sampai dengan akhir berkorban: mengorbankan haknya untuk naik takhta, mengorbankan kesempatannya untuk beristri dan beranak, mengorbankan perasaan dan raganya ketika harus berperang untuk pihak yang tak adil, dalam sebuah pertempuran yang ia tahu tak akan menang. Maka, ketika tubuhnya roboh, berdarah, dan tergeletak ditopang oleh puluhan batang anak panah yang menembus dadanya, Arjuna, pembunuhnya, datang mendekat untuk memberi hormat.

Tentu saja, berkorban tak jauh jaraknya dari memiliki. Tanpa memiliki hak seorang pangeran, Bhisma tak akan bisa memberikan hal yang berharga itu. Karena itu orang sering mengaitkan pahlawan tragedi dengan grandeur—sesuatu yang jadi mustahil ketika keagungan telah ditumbangkan dan tiap manusia dianggap setara, bahkan terkadang hanya jadi nomor. Orang cenderung mengatakan bahwa tragedi dan protagonisnya hanya milik sebuah masa yang telah hilang. "Tak ada yang demokratis dalam visi tragedi," kata George Steiner dalam The Death of Tragedy. Setidaknya, agar seorang tokoh menjadi pahlawan, ia memang perlu sebuah kualitas yang tak dipunyai manusia kebanyakan. Dulu para kesatria memiliki itu. Sayangnya, sejak zaman Don Quixote, mereka telah hilang ke masa lalu.

Tapi bukankah orang kecil juga mengenal tragedi? Tak mungkinkah pahlawan lahir dari mereka yang hanya punya sebentuk rantai yang membelenggu? Herman Melville, lewat tokoh Ishmael dalam Moby Dick, yakin itulah yang semestinya. Di kancah nelayan pemburu ikan hiu, ia berbicara tentang "martabat demokratis" yang lahir dari tangan yang "mengayun beliung atau menghunjamkan paku".

Mungkin itu juga sebabnya Pramudya Ananta Toer menciptakan ceritanya di "bumi manusia" dan menolak ikut cerita wayang. Dalam kungkungan kamp Pulau Buru, sehabis ia menonton semalam suntuk sebuah pertunjukan wayang kulit di tempat penahanan itu, Pramudya mencatat renungannya dalam sebuah esai bertahun 1973: baginya, setelah matahari terbit, para dewa, brahmana, dan kesatria akan pergi. Mereka kembali terhalau dalam perspektif bentuknya sendiri. Tapi para penonton akan tinggal. Mereka akan pulang ke "bumi yang terdiri atas butiran tanah, kerikil, pasir lembah Way Apu", kembali menggarap tanah dan menjalankan kerja yang bukan kerja dewa, brahmana, dan kesatria—termasuk para kesatria "berbedil yang setiap hari kami jumpai".

Zaman ini para kesatria memang tampak hambar, bahkan terkadang busuk. Tak seorang pun bisa lagi memasang praba di sekeliling kening. Tokoh anti-hero bermunculan. Dalam novel Idrus, Surabaya, pertempuran rakyat sekitar 10 November 1945 dilukiskan sebagai parade cowboy yang berpose dengan pistol, menggelikan dan mencemaskan. Epos praktis mati. Tapi epos mati bukan karena Rama telah masuk kotak dan Bhima berubah jadi cowboy, melainkan karena segala percakapan, juga tentang nilai-nilai, kini tak luput dari "hermeneutika syak wasangka". Zaman demokrasi adalah juga zaman yang diwarnai oleh argumen Marx dan Freud. Manusia, bahkan dalam niatnya untuk berkorban, tak bisa luput dari telaah ala Freud yang menyidik: nafsu apa gerangan yang berkecamuk di bawah sadarnya? Atau pertanyaan Marxis: kepentingan apa yang hendak diperjuangkannya?

Bahkan para santo dicurigai. Di tahun 1950 George Orwell menulis satu esai tentang Gandhi. Kalimat pertamanya menusuk: "Orang suci harus dianggap bersalah sebelum mereka dibuktikan tak berdosa." Orwell tak yakin ada yang mulia dalam hasrat menjadi santo. "Mungkin saja," tulisnya, "sebagian orang yang telah atau ingin mencapai tingkat orang suci tak pernah tergoda untuk jadi manusia".

Tapi "jadi manusia" tak dengan sendirinya sebuah kebajikan. Itu bisa juga berarti jadi orang yang, karena tak menghendaki sesuatu yang luar biasa dari dirinya, hanya hidup dengan berduyun. Tak ingin menolak. Tak acuh pada yang buruk dan yang baik. Tak ada dorongan untuk mengubah dunia, dengan langkah besar dan jalan yang pedih. Tak ada niat untuk menggugah khalayak yang putus harap.

Apa jadinya sebuah negeri yang malang jika tiap orang hidup dalam "mentalitas kawanan", sebagaimana dicemooh Nietzsche? Butuhkah kita pahlawan? Saya ingin menjawab "tidak". Kita tak selamanya perlu menanti tokoh. Yang kita perlukan adalah harapan. Artinya laku, yang memilih cara "jadi manusia", tanpa jadi santo, yang membangun perlawanan terhadap zaman yang gelap.

Ada yang percaya, kian banyak orang yang melangkah di alur ini, kian mungkin harapan lahir. Sebab, seperti kata Lu Xun, harapan itu seperti jalan di pedalaman. Mula-mula ia tak ada. Tapi, karena banyak yang datang menempuh arahnya, ia pun jadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus