Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Indonesia Belum Menyerah

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BACALAH berita pagi. Bom meledak di Bali, ribuan turis meninggalkan Indonesia. Intel asing berkeliaran, polisi belum menemukan pelakunya. Dua petinggi Indonesia bersitegang di sidang kabinet. Ambon dan Poso perang saudara. Bentrok senjata di Aceh, sekian orang mati. Tenaga kerja Indonesia diusir dari Malaysia. Ribuan tenaga kerja telantar di Nunukan. Presiden memilih ke luar negeri. Indonesia sarang teroris. Indonesia ditekan Amerika Serikat soal terorisme. Warga negara Indonesia diinterogasi di Australia. Abu Bakar Ba'asyir ditangkap, para pengikutnya bentrok dengan polisi. Ketua DPR divonis dalam kasus korupsi. Jaksa Agung tidak melaporkan kekayaan dengan benar. Hakim dan jaksa disuap. Hakim membebaskan tersangka kasus korupsi miliaran. Bacalah halaman berikutnya. Rupiah anjlok, bursa saham terjun bebas. Harga-harga mencekik rakyat. BPPN obral, konglomerat diam-diam membeli kembali asetnya dengan harga murah. Utang Indonesia segunung, tapi pemerintah tetap mengharapkan utang CGI. Ribuan buruh berdemonstrasi menuntut kenaikan upah. Investor asing memindahkan pabrik ke Vietnam. Indonesia tahun 2002 adalah sebuah Indonesia yang sumpek, gerah, menakutkan. Sebuah Indonesia yang tidak lagi tersenyum. Bom, bentrok, kekerasan seolah bisa terjadi kapan saja dan di mana saja—tanpa seorang pun bisa meraba, apalagi mencegahnya. Kita sama sekali tidak tahu di mana kekuasaan untuk mencegah hal-hal buruk bisa ditemukan di negeri ini. Di semua lini kita goyah. Kita sulit percaya bahwa di pucuk-pucuk gedung pemerintahan yang kukuh itu berdiam para penguasa yang memikirkan rakyatnya. Sulit. Yang kita duga, di sana bersarang penguasa yang tak serius, korup, dan menganggap hukum bukan perangkat untuk ditaati tapi hanyalah alat politik untuk menjatuhkannya. Sudah lama kita sadar bahwa hukum takluk oleh kuasa, duit, senjata, dan oleh penguasa yang tak punya nyali untuk menegakkannya. Seorang Ketua DPR yang divonis dalam kasus korupsi pun bisa bertahan dan terus terlibat pembuatan hukum-hukum yang mengatur kehidupan kita. Seorang Jaksa Agung yang jelas tak melaporkan rumah mewahnya pun dibiarkan terus bersilat lidah, tanpa tindakan secuil pun. Sementara itu, di jalanan, hukum bukan milik pengadilan dan hakim: seorang copet yang sial akan menerima hukuman mati dari massa yang garang. Indonesia di ambang tutup buku? Pada Hari Pahlawan yang kembali melintas, majalah ini tergoda untuk mencari jawab pertanyaan tadi. Dan kami menemukan sesuatu yang penting: sejumlah anak negeri yang berbuat apa saja untuk menolong lingkungannya, membawa kaumnya dari zaman jahiliah ke zaman "normal". Mereka melakukan dengan kesadaran dan kekuatan sendiri. Mereka tidak menunggu aba-aba pemerintah, juga uluran bantuan sepenuhnya dari pusat. Mereka pasti tidak berharap predikat pahlawan. Bahkan menolaknya. Pahlawan adalah orang-orang besar yang gagah di buku-buku sejarah. Sedangkan yang kami tampilkan ini adalah orang-orang yang bahkan fotonya pun sulit dicari. Sulit juga diwawancarai, karena hidup jauh di pedalaman. Karya mereka mungkin tak pantas untuk hadiah Nobel, tapi sangat terpakai oleh masyarakat sekelilingnya. Yang jauh lebih pokok: mereka adalah orang yang bergiat, berbuat sesuatu—menciptakan hal bermanfaat, menjaga perdamaian, menjaga hukum, merawat, menjaga lingkungan, membangun nama negeri—di antara kalangan luas yang diam, ikut saja, atau malah merusak negerinya dengan hebat. Sekali-dua mungkin mereka pernah "ikut arus", misalnya para jawara perang di Ambon, tapi waktu menyadarkan mereka untuk kembali merawat Indonesia sebagai negeri damai. Merekalah "oase" di tengah padang terik Indonesia. Selain yang kami tampilkan, kami yakin masih banyak nama yang seharusnya pantas ditampilkan kali ini. Hanya, jangkauan kami memang terbatas. Merekalah orang yang membuat kita yakin bahwa pemerintah boleh tutup buku, datang dan pergi, tapi Indonesia pasti belum akan menyerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus