SUDAH kuno menyelundupkan narkotik lewat jalur diplomatik atau dengan cara "menyimpannya" di dalam usus. Sekarang ada cara baru yang lebih canggih dan dijamin tak tercium anjing pelacak mana pun: disembunyikan di dinding pesawat.
Praktek ini terungkap dari nasib sial yang merundung Subandi, pegawai Garuda Maintenance Facility (GMF), fasilitas perawatan pesawat milik maskapai Garuda Indonesia di Bandara Soekarno-Hatta. Senin pekan lalu mekanik berusia 32 tahun ini harus mendekam di sel Kepolisian Resor Tangerang. Gara-garanya, sekitar sebulan lalu ia menemukan kokain di balik pelapis dinding kabin pesawat kargo Ghana Airways. Jumlahnya tak sembarangan, 3,2 kilogram atau seharga sekitar Rp 1,5 miliar—nilai yang tergolong besar dalam kasus penyelundupan narkotik. Toh Subandi belum dinyatakan sebagai tersangka. "Kami masih memeriksanya secara intensif," kata Wakil Kepala Polres Tangerang, Komisaris Gde Sugianyar.
Ceritanya bermula sebulan lalu, ketika "burung besi" milik pemerintah Ghana itu masuk hanggar Garuda untuk direnovasi. Penampilan Ghana Airways perlu dipermak karena bakal menyandang nama baru, Ghana Nationwide International Airline, setelah bergabung dengan Nationwide Airline, perusahaan penerbangan domestik Afrika Selatan. Ghana dan Nationwide berada di bawah manajemen British Midland. Maskapai Inggris inilah yang mempercayakan perawatan armadanya ke Garuda.
Pada 4 September lalu, pesawat itu, sebuah Boeing 737-200, masuk Cengkareng. Ghana terbang dari Amerika Serikat setelah dua tahun teronggok di sebuah hanggar di tengah gurun Amerika. Sepekan kemudian, sekitar pertengahan September, pesawat baru masuk ruang perawatan. Ketika itulah, Subandi menguliti dinding bagian dalam di dek atas—ruang istirahat awak pesawat yang terletak di belakang kokpit. Di situlah, seperti pengakuan Subandi kepada polisi, ia menemukan tiga bungkusan plastik hitam berisi batangan berwarna cokelat muda seperti brem.
Tak dilaporkan ke atasannya, bungkusan mencurigakan itu disimpan Subandi di loker di kantornya. Tak ada yang tahu, kecuali belakangan seorang rekan kerjanya bernama Heru. Sampai pesawat lepas landas kembali 20 Oktober lalu, tak satu pun yang mencari barang itu. Subandi lalu membawanya pulang ke tempat tinggalnya di Cipondoh, Tangerang.
Ketakutan menyimpan barang haram, Subandi akhirnya menyerahkan bungkusan itu kepada kawannya, seorang polisi di kepolisian Tangerang. Benar saja, setelah dites, polisi menyimpulkan itu adalah kokain (crack). Untuk lebih memastikannya, temuan itu masih diuji di laboratorium forensik kepolisian.
Polisi menduga bubuk setan itu sengaja disembunyikan awak pesawat Ghana atau pihak lain yang punya peluang membuka pelapis dinding, yang berkait dengan sebuah jaringan peredaran narkotik internasional. Indonesia hanyalah tempat transit. Kokain memang tak punya banyak penggemar di sini. Menurut catatan Badan Koordinasi Narkotika Nasional, pemadat jenis ini hanya sedikit, berada di urutan terakhir setelah ganja, ekstasi, sabu-sabu, dan heroin.
Ghana juga biasa melayani jalur penerbangan dari Eropa ke beberapa negara di Afrika. Beberapa kasus penyelundupan kokain sebelumnya pun menunjukkan betapa negeri ini telah jadi tempat singgah favorit. Pada Agustus 2000, misalnya, Meirika Franola—terpidana hukuman mati—ditangkap membawa 7,5 kilogram crack di Cengkareng saat ia akan terbang ke London. Tahun lalu, Victor Manuel Navarro Garcia dan Clara Elena Umana Gautrin dicokok di Bandara Ngurah Rai, Bali, dengan 15,2 kilogram kokain di tangan. Pasangan Meksiko ini terbang dari Lima-Peru, lewat Johannesburg-Afrika Selatan, Bangkok-Thailand, dan Bali, dengan tujuan akhir Australia.
Sayang, polisi tak mengizinkan TEMPO menemui Subandi. "Dia masih diperiksa, kami juga khawatir dia jadi sasaran pembunuhan sindikat narkotik," kata Komisaris Sugianyar.
Ahmad Taufik, Purwanto, Ayu Cipta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini