Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Peradaban Vs Kebiadaban

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Syafi'i Ma'arif Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah

Tidak selang berapa lama setelah Perjanjian Versailles (1919) yang menghina Jerman itu ditandatangani, filsuf agnostik Bertrand Russell mengeluh karena kemajuan material yang telah meningkatkan kemampuan manusia untuk melukai satu sama lain tidak terkait dengan kemajuan moral sama sekali. Patriotisme dan perang kelas, kata Russell waktu itu, adalah dua bahaya besar bagi dunia. Russell begitu terguncang oleh meledaknya Perang Dunia I (1914-1918), yang telah melukai Eropa dan dunia demikian dalam. Belakangan Perang Dunia II berlangsung (1939-1945). Kedua perang ini sama-sama lahir dari rahim peradaban Barat modern, yang kemudian masih diikuti oleh Perang Dingin antara blok kapitalis pimpinan Amerika Serikat dan blok komunis pimpinan Uni Soviet, sampai yang terakhir ini berantakan berkeping-keping.

Amerika kemudian muncul sebagai satu-satunya adikuasa, sebuah posisi yang menentukan hitam putihnya dunia. Namun sayang, posisi yang sangat strategis ini tidak dimanfaatkannya untuk menunjukkan sebuah kearifan global (a global wisdom), demi terciptanya sebuah tatanan dunia yang lebih adil dan beradab. Tampaknya politik luar negeri Amerika yang terlampau pro-Israel telah menutup hati dan otaknya untuk bergerak ke arah langkah yang mulia itu.

Jika diamati lebih cermat tentang peta ideologi modern, baik kapitalisme maupun komunisme adalah juga buah dari peradaban Barat. Yang satu sedang menuju hari-hari terakhir dari sejarahnya, sedangkan yang lain merasa dirinya sebagai pemenang tunggal dan mengklaim sebagai satu-satunya pilihan bagi umat manusia di masa depan. Namun, apakah dunia ini semakin beradab atau bahkan yang terjadi sebaliknya, semakin biadab?

Tindakan-tindakan brutal Israel terhadap rakyat Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun, serangan terhadap WTC dan Pentagon pada 11 September 2001, invasi Amerika dan Inggris atas Afganistan yang dikaitkan dengan pembalasan terhadap tragedi September yang telah membunuh tidak kurang dari 6.000 rakyat Afgan, bagi saya, adalah tindakan biadab yang harus dikutuk oleh setiap orang yang berakal sehat. Serangan terhadap WTC dan Pentagon, dan tragedi 12 Oktober 2002 di Bali, adalah tindakan terorisme biadab yang dilakukan oleh sekelompok orang nekat tanpa seragam. Sedangkan invasi Amerika dan sekutunya atas Afganistan dan serangan Israel atas rakyat Palestina adalah pula bentuk terorisme yang dilakukan oleh negara (state terrorism) berpakaian seragam, untuk meminjam istilah Johan Galtung dan Dietrich Fischer belum lama ini (lih. Commentary; Vol. 2, No. 9 Sept. 2002: 1). Dilihat dari atribut yang dipakai, menurut Galtung, ada dua bentuk terorisme: terorisme pakaian seragam dan terorisme tanpa seragam. Keduanya telah sama-sama terlibat dalam penghancuran sendi-sendi peradaban umat manusia.

Karena yang menghancurkan WTC dan yang menyerang Pentagon dilakukan oleh 19 warga Arab (13 dari Saudi dan 6 dari Mesir dan Aljazair), lalu secara gegabah disimpulkan oleh mereka yang punya dendam sejarah terhadap Islam, bahwa Islam sama dengan terorisme. Dengan demikian, Islam telah menjadi agama tertuduh, setidak-tidaknya begitulah kesan yang dirasakan sekarang. Pertanyaan menarik lainnya dikemukakan oleh penulis Tariq Ali dalam bukunya The Clash of Fundamentalisms (2002:294): Mengapa yang melakukan serangan itu adalah kelompok kelas menengah yang terdidik tetapi siap menghabisi nyawanya sendiri, bukan golongan fanatik berjenggot yang berasal dari desa dan pegunungan Afganistan? Jelas tidak mudah mengurai fenomena seperti di atas, ibarat sebuah gunung es, yang kelihatan hanya puncaknya. Saya melihat bahwa ada sekelompok orang Islam yang mengalami depresi mental yang parah sekali. Mereka sedang menghadapi jalan buntu masa depan.

Boleh jadi para penyerang itu merasa sudah tidak punya masa depan. Sedangkan negerinya sendiri sudah sangat bergantung pada "belas kasihan" pihak lain—di samping korup. Lalu mereka memutuskan untuk bunuh diri sambil membunuh orang lain yang tidak bersalah. Perbuatan biadab serupa ini mungkin masih akan terus terjadi selama tatanan dunia kita jauh dari keadilan.

Jika masih ada segelintir muslim yang tetap saja menempuh cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, mereka secara tidak sadar telah menggali kubur peradaban Islam di masa depan. Setiap perbuatan membabi buta yang destruktif atas nama agama sama artinya dengan memperdagangkan kezaliman atas nama Tuhan. Karena itu, perbuatan semacam itu harus dihentikan sekarang dan untuk selama-lamanya, dan dicari cara-cara lain yang beradab untuk menangkis tipuan pihak lain. Jika tidak demikian, pilihan bagi dunia yang akan datang hanya tersisa satu: hancur-hancuran! Dan Islam jelas mengutuk setiap perbuatan nekat dan menghancurkan (al-fasad fil-amb) itu. Kita harus memobilisasi seluruh kekuatan beradab dari mana pun asalnya untuk melumpuhkan kekuatan biadab, siapa pun yang melakukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus