Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semuanya bermula di Alpenzell, sebuah tempat tetirah yang permai di kaki Pegunungan Alpen. Musim panas 1996 ketika itu. Sepasang suami-istri tengah berkunjung ke Swiss—negeri kecil di jantung Eropa Barat dengan puncak-puncak Alpen yang tersohor. Ketika melewati sebuah ladang gandum, pasangan itu mendengar suara menderu dari sebuah gudang. Si wanita terkesima. Perhatiannya terpusat pada kabel-kabel yang menjulur dari bangunan.
”Untuk apa kabel-kabel ini?,” dia bertanya kepada tuan pemilik tanah pertanian. Si petani menjawab, itu kabel pembangkit listrik miliknya. Di musim panas, ketika panen dimulai, tenaga listrik dipakai untuk menggiling gandum. ”Sisanya saya jual ke Grid, Perusahaan Listrik Negara Swiss,” katanya.
Percakapan itu singkat, sepintas saja, tapi meletakkan fondasi yang sungguh hakiki bagi jalan hidup Tri Mumpuni—wanita di tengah ladang gandum. Bersama suaminya, Iskandar Kuntoadji, Puni—begitu dia biasa dipanggil—kemudian pulang ke Indonesia. Tapi peristi-wa di pertanian Alpenzell melesak jauh ke dalam ingatannya. Ibu dua anak ini amat terkesan pada ”listrik gratis” 23 kwh yang dipancing si petani dari sungai di dekat ladang ”Harusnya di Indonesia juga bisa,” pikiran Puni melayang ke Tanah Air.
Lima tahun sebelumnya, Tri bersama sekelompok petani di Desa Curugagung, Subang, Jawa Barat, telah berhasil menegakkan pembangkit mikrohidro serupa yang menghasilkan listrik 13 kilowatt. Listrik itu mampu menerangi di 121 rumah di wilayah itu. Modal awal Rp 44 juta adalah hasil urunan para petani dengan meminjam bank. Sisanya ditutup oleh Yayasan Institut Bisnis dan Kerakyatan (Ibeka) yang dipimpin Puni. Kompanyon kecil-kecilan mereka buat.
Listrik dijual Rp 300 setiap kilowatt jam (kwh). Setelah dipotong biaya rutin dan pinjaman bank, sisanya dibagi antara petani dan Ibeka. Baru empat tahun beroperasi, PLN masuk. Barnas, petani yang ditugasi menjadi ”direktur” listrik desa, puyeng tak terkira. Harga listrik PLN cuma Rp 112 per kwh. ”Subsidi yang amat besar membuat PLN menjual murah,” protes Puni. Pada 2006, misalnya, negara harus menopang PLN dengan subsidi Rp 38 triliun (lihat Pesan dari Tepian Ciasem).
Barnas takut perusahaan petani Curugagung hancur. Apalagi utang bank baru bisa lunas dua tahun lagi. Saat listrik PLN menyala, 30 pelanggan mereka menarik diri. Barnas jatuh sakit karena tak mampu menahan beban. Padahal, ”Saya memintanya bersabar sambil kita mencari jalan keluar,” kenang Mumpuni.
Barnas meninggal beberapa pekan kemudian. Utang bank diselesaikan oleh saweran sejumlah kolega Puni yang menaruh simpati. Perusahaan listrik kelas kampung itu juga terpaksa menjual listrik semurah PLN sembari melupakan keuntungan. Tapi kematian Barnas menyentakkan Puni kepada satu tekad yang lebih besar. Dia mulai berkampanye agar PLN membeli listrik rakyat. Percakapan dengan petani di Alpenzell yang berhasil menjual listriknya ke Grid (PLN-nya Swiss) memberinya inspirasi sekaligus semangat.
Dan momen penting itu tiba pada Agustus 1999. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, PLN membeli listrik rakyat. Desa Curugagung menjualnya seharga Rp 290 per kwh kepada negara. Harga itu hanya separuh dari biaya produksi listrik PLN jika tanpa subsidi. Dari hasil menjual listrik, petani mendapat lebih dari Rp 2 juta setiap bulan.
Keberhasilan Curugagung mendatangkan iri desa-desa lain. Maka Puni memutuskan mengembangkan proyek serupa di berbagai daerah terpencil. Saat ini sudah 60 desa di berbagai penjuru Indonesia menikmati listrik murah serupa. Sebagian besar dijual langsung ke pelanggan—sisanya dibeli PLN.
Dalam setiap proyek, Direktur Ibeka ini bersama stafnya mendampingi masyarakat mengelola uang. Puni melobi lembaga-lembaga donor dunia untuk mendapatkan pinjaman superlunak atau hibah. Dana itu dijadikan modal masyarakat lokal untuk menjadi ”pengusaha listrik” mikrohidro. ”Kekurangannya kami (Ibeka) tambal sebagai penyertaan modal,” kata Mumpuni kepada Tempo yang mengunjunginya di Subang empat pekan lalu.
Dia menyerahkan sepenuhnya soal pembelanjaan uang kepada rapat anggota di masyarakat desa masing-masing. Pesantren Al-Hanan di Uludanau, Sumatera Selatan, umpamanya, setiap bulan mendapat uang segar Rp 45 juta sehingga santrinya belajar gratis. Kas Desa Cintamekar, Subang, Jawa Barat, mendapat pemasukan bersih Rp 6 juta per bulan. Dana ini dipakai untuk menggratiskan biaya pendidikan warga desa sejak SD hingga SMA. Mereka juga bisa berobat tanpa dipungut biaya. Aparat desa, dari ketua rukun tetangga hingga kepala desa dibayar Rp 50 ribu hingga Rp 125 ribu per bulan.
Teknologi mikrohidro memang bukan barang baru, tetapi di tangan Mumpuni menjadi sumber uang yang mampu memberdayakan desa-desa miskin dan terpencil. Puni berhasil menanamkan etos tentang pentingnya semangat merawat milik bersama. Di Curugagung, Tempo menyaksikan betapa cermatnya warga menjaga teknologi mikrohidro mereka ”Seperti mereka menjaga bebek yang bertelur emas,” ujar salah satu pengunjung yang terkesan pada sikap warga desa.
Kini, ide Puni telah menjalar melampaui batas-batas Indonesia. Beberapa negara tertarik mengadopsi teknologi mikrohidro bagi rakyat miskin. Barangay Electricity Program, misalnya, sudah memintanya menerapkan cara serupa di Filipina pada Maret mendatang. Kamerun dan Nepal mengundangnya untuk melihat kemungkinan serupa.
Listrik, energi yang mampu memperkaya hidup manusia secara tak terhingga, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Tri Mumpuni. Dia mengaku sering menabrak tembok, termasuk birokrasi, dalam meluaskan upaya. ”Saya tidak bisa selalu tancap gas,” ujarnya. ”Tapi saya tidak boleh capek,” dia menambahkan kepada Tempo sembari tertawa berderai. Suaranya lantang, jernih, dan energetik, menularkan daya yang ”menghidupkan” setiap lawan bicara.
Pesan dari Tepian Ciasem
Sesekali, mampirlah ke Desa Cinta Mekar di Subang, Jawa Barat. Lalu saksikan kegiatan warga ”menciptakan” listrik murah dan menjualnya kepada juragan listrik terbesar se-Indonesia: Perusahaan Listrik Negara, PLN. Cinta Mekar yang sentosa itu dibelah oleh Sungai Ciasem selebar sepuluh meter.
Di salah satu tepian Ciasem, dibuatlah galengan untuk membelokkan arah air. Melalui galengan selebar satu meter, air dialirkan sepanjang 400 meter lalu dipecah ke dalam dua bagian. Satu untuk menyiram tanah pertanian. Sisanya ditahan di kolam. Dari dasar kolam, air meluncur dari ketinggian 18 meter, jatuh memutar turbin, lalu bergabung kembali dengan aliran Sungai Ciasem.
Hasilnya? Energi sebesar 120 kilowatt listrik yang dijual ke PLN. Negara membayar Rp 432 untuk setiap kilowatjam (kWh). Ini jauh lebih murah dibanding ongkos rata-rata produksi PLN sebesar Rp 1.000 per kWh. Pembangkit listrik mini tenaga air (microhydro-power plant) ini lebih murah karena tidak membutuhkan bahan bakar. Dan ramah lingkungan karena tak menyisakan polusi.
Potensi pembangkit listrik mikrohidro di Indonesia sekitar 7.500 megawatt. Namun baru satu persen yang dimanfaatkan. Menurut Direktur Jenderal Listrik Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo, ada rumus kasar biaya membangun sebuah pembangkit mikrohidro. Setiap kilowatt yang dihasilkan dibutuhkan investasi US$ 1.000-2.000 (sekitar Rp 9,1 juta-18,2 juta). ”Fluktuasi tergantung kondisi alam dan harga bahan lokal,” katanya. Jadi, untuk pembangkit yang menghasilkan 100 kilowatt—bisa untuk menerangi sekitar 1.000 rumah—dibutuhkan investasi sekitar Rp 1 miliar-2 miliar.
Hingga tahun lalu baru 59 persen penduduk Indonesia yang bisa menikmati listrik—sebagian besar di perkotaan. Jika potensi mikrohidro digenjot, akan ada tambahan sekitar 20 persen penduduk Indonesia, terutama di pedesaan, yang bisa menikmati listrik. Pemerintah menargetkan empat tahun lagi semua potensi energi terbarukan—seperti mikrohidro dan panas matahari—sudah harus dimanfaatkan. ”Jika berhasil, biaya produksi PLN akan turun (dari Rp 1.000) ke Rp 700 per kWh,” kata Purwono.
Artinya, angka subsidi bisa dipangkas dalam ukuran jumbo. Maka, ceritera sukses dari Sungai Ciasem dapat memercikkan inspirasi ke seluruh negeri untuk meciptakan listrik murah. Sekadar informasi, untuk tahun ini pemerintah Indonesia harus menyokong PLN sebesar….Rp 38 triliun.
Tri Mumpuni Wiyatno Tempat/tanggal lahir: Semarang, 6 Agustus 1964 Pendidikan: Institut Pertanian Bogor, Jurusan Sosial Ekonomi Pekerjaan: Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan Penghargaan: Climate Hero 2005 dari World Wildlife Foundation (WWF) International Verifikasi: WWF International |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo