Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah sudut Kota Medan, Nelson Tansu menghabiskan tahun-tahun masa kecilnya bersama roh para fisikawan dunia. Albert Einstein, Werner Heisenberg, Richard P. Feynman, dan Murray Gell-Mann. Di ruang keluarga, di meja belajar, bahkan di kamar tidur, ayah dan kakeknya tak henti-hentinya mematrikan kebesaran tonggak-tonggak sains dari masa silam ke dalam otaknya yang muda-belia.
Sesekali, di tengah percakapan, Nelson kecil menghambur ke halaman. Dia bermain tepok bulu sepuasnya. Lalu meloncat, berlari di udara terbuka, bermain sepeda lazimnya bocah lelaki. Ayah dan kakeknya menanti dengan sabar. Lalu sisa hari mereka habiskan dengan berceritera tentang anggota keluarga yang berhasil meraih gelar doktor dan master di negeri-negeri jauh. Di kelas tiga sekolah dasar, dia menetapkan cita-citanya: menjadi profesor di universitas Amerika Serikat.
Tahun-tahun lewat, tapi tidak impian masa kecil Nelson. Pada 2003, dalam usia 25, anak Medan itu menempati meja asisten profesor di Lehigh University, salah satu universitas papan atas di Amerika Serikat. Dia membutuhkan satu tahap lagi untuk menjadi profesor penuh.
Kini 29 tahun, Nelson memecahkan rekor asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur Amerika Serikat. Dia menyisihkan 300 doktor untuk mendapat jabatan tersebut. Maka ia menyalip Linus Pauling, penerima Nobel Kimia 1954 dan Nobel Perdamaian 1962, yang menjadi asisten profesor pada usia 26.
Meracik cahaya dengan elektronika adalah bidang kepakaran Nelson Tansu. Optoelektronika, demikian ilmu ini dinamakan. Seratus lebih publikasi ilmiah telah dia terbitkan, selain mengantongi tiga paten. Temuannya diserap dalam berbagai cabang teknologi, dari komunikasi serat optik, sensor biokimia, sistem deteksi senjata, hingga pesawat antariksa. ”Dia salah satu bintang muda paling bersinar dalam bidang ini,” ujar empu optoelektronika Amerika Serikat, Profesor Luke J. Mawst, kepada Tempo.
Doktor dari University of Wisconsin-Madison ini layak dijuluki sang penyempurna. Dan itu bukan tanpa alasan. Di tangan Nelson, sinar laser dapat diberdayakan dengan listrik superhemat. Laser konvensional perlu listrik 100 watt untuk setiap watt pencahayaan. Laser ”ala Nelson” cuma perlu 1,5 watt. Cendekiawan muda ini mendongkrak efisiensi sel-sel matahari dalam mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, dari 6-30 persen menjadi 50-65 persen. Ia kemas ulang teknologi telekomunikasi berbasis serat kaca, sehingga tak lama lagi harga layanan ini akan menjadi jauh lebih murah.
Alam bermurah hati menurunkan bakat istimewa kepada Nelson. Anugerah itu dia perkaya dengan etos kerja keras yang diwariskan ayah dan kakeknya. ”Sukses hanya bisa diraih dengan upaya yang teguh,” ujarnya kepada wartawan majalah ini. Setiap hari ia bekerja 20 jam. Hidupnya adalah meneliti, mengajar, dan membaca. Ia tidur jika otaknya sudah tak mampu berkompromi. Semua kesenangan pribadi dia tepikansetidaknya untuk sementara. Tepok bulu, no. Pacaran, idem ditto.
John Bardeen, penemu transistor dan teori superkonduktivitas serta peraih Nobel Fisika, adalah idolanya. Maka banyak yang bertanya, apakah Nobel pula yang menjadi pertaruhannya di masa depan melalui disiplin hidup yang sedemikian keras.
Kepada Tempo, Nelson Tansu membukakan rahasia hatinya yang lama dia simpan. Tak ada hubungan dengan Nobel atau John Bardeen. Tapi ini, ”Saya ingin sekali salah satu perguruan tinggi di Indonesia menjadi universitas papan atas di Asia.”
Nelson Tansu Tempat dan Tanggal Lahir: Medan, 20 Oktober 1977 Pendidikan:
Pekerjaan: Asisten Profesor pada Pusat Teknologi Optik, Departemen Teknik Elektro dan Komputer, Lehigh University, Amerika Serikat, sejak Juni 2003. Karya:
Pemberi Rekomendasi:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo