Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berselancar di Gelombang yang Mendadak Mati

Keluarga Marimutu dikenal selalu dekat dengan pusat kekuasaan. Setelah sang patron lengser, mereka diguncang. Mampukah kerajaan bisnis Sinivasan bertahan?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUSAHA dan pejabat di Indonesia kadang kala bisa digambarkan seperti baju dan gantungannya. Ketika sang pejabat berada tinggi di puncak, si pengusaha juga akan terkerek naik. Dari ''atas" sana, tak akan ada perintah yang bisa dibendung, tak ada urusan yang boleh menghadang. Bisnis apa pun bisa disetir, menggelinding bebas hambatan. Namun, ketika si kuasa jatuh, laksana baju dilepas dari cantolannya, si pengusaha langsung limbung, laksana berselancar di gelombang yang tiba-tiba mati, kemudian jatuh terempas. Itulah yang sepertinya sedang terjadi pada keluarga Marimutu, pemilik kerajaan bisnis Grup Texmaco. Setelah sang adik, Marimutu Manimaren, dihantam keras skandal Bank Bali, kini giliran Marimutu Sinivasan yang menjadi buah mulut orang ramai. Pengusaha kelahiran Medan itu dituduh menyelewengkan kredit yang diterimanya dari Bank Indonesia—melalui Bank BNI, BRI, dan Exim—senilai Rp 9,8 triliun. Kasus Manimaren begitu alot diselesaikan. Sampai kini, ia hanya dicekal dan belum menjadi tersangka. Kasusnya pun tak jelas: rentetan Bank Bali atau terkait kasus sang kakak. Sedangkan kasus Sinivasan bergulir kilat. Setelah Menteri Negara Pembinaan BUMN/Investasi, Laksamana Sukardi, membuka kasus ini di DPR awal pekan lalu, tiga hari berikutnya Sinivasan sudah menjadi tersangka—tepatnya setelah Laksamana Sukardi menyerahkan berkas lengkap kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman, Kamis pekan lalu. Sinivasan disangka melakukan beberapa pelanggaran sekaligus, dari penyelewengan kredit, mark-up investasi, sampai pelarian devisa. Kakak-adik ini dianggap telah mengobok-obok dunia perbankan Indonesia. Manimaren diduga keras ''memelintir" Bank Bali melalui tangan Joko S. Tjandra dan Setya Novanto, sementara Sinivasan dituding menjadi penyebab bobolnya Bank Indonesia senilai Rp 9,8 triliun. Memang, keduanya belum disidangkan dan belum dinyatakan bersalah, tapi jejak-jejak tangan mereka makin membuka mata bahwa dunia perbankan Indonesia begitu rapuh dari intervensi. Dan itulah salah satu penyebab bencana menggunungnya kredit macet yang menyumbat urat nadi ekonomi Republik selama masa pemerintahan Soeharto dan Habibie. Tentu saja ini bukan ''dosa" keluarga Marimutu semata. Di zaman itu, ada banyak taipan dipelihara untuk berbagai tujuan, termasuk menggemukkan kantong pejabat itu sendiri. Mereka yang berada di lingkaran kekuasaan tertinggi itu tidak hanya mendapatkan ''perlindungan", tapi juga memperoleh peluang bisnis atau fasilitas khusus. Lobi dan jaringan tingkat tinggi adalah kata kunci dari semua hubungan penuh kolusi ini. Sinivasan mengaku baru mengenal Soeharto dengan baik ketika presiden kedua Indonesia itu meresmikan pabrik tekstil terpadu miliknya di Karawang pada 1992. Perkenalannya dengan Soeharto—waktu itu Menteri Perindustrian dijabat Hartarto—rupanya membawa berkah yang luar biasa. Bisnis Texmaco berkembang dengan cepat. Perusahaan tekstil dan garmen ini juga merambah industri petrokimia dan mesin tekstil untuk mendukung bisnis utamanya. Sinivasan bisa dekat dengan Soeharto karena punya kecocokan: keduanya punya ambisi mengembangkan industri dasar. Soehartolah yang menyarankan agar Sinivasan melihat perkembangan negara industri seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Hasilnya adalah sebuah blue print pengembangan industri mesin terpadu. Pada mulanya, Sinivasan tak terlalu yakin usahanya bakal sukses. Itu sebabnya Sinivasan sempat menjalin kongsi dengan Mirza Mohamad, putra Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Namun, Soeharto minta agar Sinivasan mengonsentrasikan bisnisnya di Indonesia. Sumber TEMPO mengungkapkan, sejak saat itu, Sinivasan seperti menjadi anak emas kedua Soeharto—setelah Habibie. Dengan dua ujung tombaknya itu, Soeharto benar-benar ingin menguasai darat, udara, dan laut. Tak aneh jika Sinivasan hampir setiap pekan datang ke Cendana atau Bina Graha. Ketika dikonfirmasi, Sinivasan membantah. Dia mengaku bertemu dengan Soeharto hanya 2-3 kali dalam setahun. Yang tak mungkin dibantah, hubungan Soeharto dan Sinivasan makin erat terutama pada periode 1997-1998. Pada September 1997, misalnya, dua anak perusahaan Texmaco, Texmaco Perkasa Engineering dan Polysindo Eka Perkasa, mendapatkan fasilitas bebas pajak masing-masing selama 8 dan 5 tahun. Fasilitas ini lama tidak diberikan, bahkan ketika Direktur Jenderal Pajak masih dijabat Mar'ie Muhammad, yang ''mengharamkan" fasilitas itu. Entah mengapa, enam perusahaan tiba-tiba ketiban bulan dengan mendapatkan fasilitas ini, termasuk Kiani Kertas milik Bob Hasan—teman main golf Soeharto. ''Saya tidak minta. Tapi, karena pemerintah mau ngasih, apa salahnya saya mengajukan permohonan," kata Sinivasan. Soeharto jugalah yang meresmikan uji coba truk Perkasa pada 11 Februari 1998. Dengan senyum mengembang, Soeharto mencoba mesin truk Perkasa itu. Entah apa ada hubungannya, sehari kemudian Sinivasan mengirimkan surat ke Gubernur Bank Indonesia, Sudradjad Djiwandono, meminta tambahan pinjaman senilai US$ 200 juta dan Rp 450 miliar. Permintaan ini merupakan yang ketiga setelah Bank Indonesia melalui BNI memberikan pinjaman senilai US$ 276 juta dan US$ 340 juta kepada Texmaco. Eh, ternyata surat itu tak mempan. Sinivasan kembali mengirimkan surat kepada Soeharto dan Gubernur BI. Barulah kemudian turun disposisi dari Soeharto. Padahal, saat itu Texmaco sudah ''lampu merah". Mereka terancam default alias dinyatakan tak mampu lagi membayar utang. Dalam bisnis yang normal, pemberian pinjaman seperti itu jelas tidak wajar karena beban utang bertambah, sementara kemampuan perusahaan itu membayar utang mandek. Celakanya, Texmaco malah menyelewengkan kredit ekspor itu untuk membayar utang jangka pendek US$ 300 juta, sementara sisanya untuk ekspansi usaha. Bau kolusi tercium keras ketika Texmaco akhirnya menyerah tak mampu membayar kredit ekspor itu dan BI malah memperpanjang masa pelunasannya. Skema baru ini pun ternyata masih dilanggar. Yang agak mengganggu akal sehat, para petinggi Bank Indonesia dan Bank BNI menganggap utang yang sudah babak-belur itu tidak bisa dikategorikan macet. Di tempat lain, pada saat yang hampir bersamaan, ABRI memesan seribu truk ke Texmaco dengan harga US$ 18 ribu per unit. Tidak besar memang. Tapi, bagi pendatang baru seperti Texmaco, pesanan sebanyak itu jelas berkah yang tak mungkin ditampik. Sumber TEMPO di kalangan militer mengungkapkan, sejumlah petinggi ABRI jengkel karena wewenangnya dilewati. Sudah begitu, hampir berdekatan waktunya, ABRI juga harus membeli truk militer buatan Korea Selatan dengan harga US$ 82 ribu. Ini merupakan imbal beli dengan pesawat CN-235 buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara. Sinivasan mengaku bahwa pesanan itu datang setelah dia berbicara dengan Letjen TNI Sugiono, yang ketika itu menjadi Panglima Kostrad. Sayang, Letjen Sugiono belum bisa dikontak buat diwawancarai untuk urusan ini. Namun, tak bisa dimungkiri, kemampuan lobi Texmaco memang luar biasa. Ia dekat dengan Soeharto, kalangan partai politik, dan juga kalangan militer. Ditambah ambisi raksasanya untuk menjadi yang terbesar di Indonesia, siapa bisa menandinginya? Tapi benarkah Soeharto membantu Sinivasan dengan cuma-cuma? Sumber TEMPO yakin hubungan keduanya tidak hanya dibangun berdasarkan ambisi yang sama, tapi juga ada ''apa-apanya". Jelasnya, kata sumber ini, ''Ada setoran tunai ke sana." Sumber ini meyakinkan bahwa uang adalah alat lobi penting keluarga Marimutu. Tentu saja tuduhan ini dibantah keras. ''Itu fitnah," kata Sinivasan dengan suara tinggi. Lobinya juga banyak dibangun dengan cara mengundang anggota DPR atau kalangan akademisi ke pabrik-pabrik Texmaco, yang tersebar di Indonesia. Setelah era Soeharto surut, giliran Manimaren maju. Laki-laki perlente itu masuk partai politik. Ia menjabat Wakil Bendahara Golkar dan dikenal rapat dengan B.J. Habibie. Bahkan, Manimaren disebut-sebut sebagai motor penggerak Tim Sukses Habibie yang bertujuan mengegolkan putra kelahiran Parepare itu sebagai presiden untuk masa jabatan kedua. Di tengah operasi sukses itulah pecah kasus Bank Bali yang melibatkan namanya. Memang, sejauh ini Manimaren belum pernah diperiksa berkaitan dengan kasus itu, tapi banyak pihak yakin bahwa dia punya hubungan erat dengan kasus itu. Indikasinya antara lain transfer uang dari Joko S. Tjandra kepada PT Ungaran Sari Garmen senilai Rp 112,5 miliar. Rupanya, PT Ungaran itu milik Manimaren. Dengan gaya bisnis cantol-mencantol itu, setelah para patron turun panggung, Texmaco kelihatan oleng. Dua kasus dalam empat bulan terakhir ini jelas bukan pukulan enteng. Apalagi, selama bertahun-tahun sebelumnya, Texmaco dikenal tak punya banyak masalah. Kabarnya, sebenarnya langkah recovery sudah pula dilakukan dengan mencoba melobi PDI Perjuangan, yang memenangi pemilu. Taufik Kiemas, suami Megawati Sukarnoputri—yang disebut-sebut sebagai calon komisaris Texmaco—dalam beberapa bulan ini dikabarkan sering ''jalan" dengan S. Wairo, eksekutif Texmaco. Isu ini dibantah oleh Taufik. ''Saya tidak punya rencana menjadi komisaris di Texmaco," katanya. Namun, apakah Texmaco akan ambruk karena persoalan ini? Keluarga Marimutu mungkin harus hengkang dari perusahaan yang dibangunnya sejak 30 tahun silam itu, tapi perusahaannya agaknya tetap bisa berjalan. Setidaknya, dilihat dari rencana restrukturisasi utangnya di luar negeri, ada peluang bagi Texmaco untuk tetap bertahan. Dalam perjanjian restrukturisasi yang sedianya diteken pekan lalu, tapi ditunda, Texmaco banyak mendapatkan keringanan dari utangnya senilai US$ 1,5 miliar. Penyelesaian utangnya antara lain berbentuk haircut sebesar 25 persen—yang 10 persen ditukar dengan saham dan yang 90 persen lagi dijadwal ulang. Utang di dalam negeri pun, kata Sinivasan, sudah siap direstrukturisasi. Hanya, sebelum itu diteken, tiba-tiba muncul kasus ini. Tampaknya, Sinivasan memang tak punya banyak pilihan. Dia mengusulkan agar dilakukan debt to equity swap atau penukaran utang dengan saham. Namun, jumlah utangnya harus dikurangi dulu dengan utang yang dapat ditanggung Texmaco. Selain itu, dia akan menyerahkan (settlement) semua perusahaannya kepada bank pemerintah. ''Seluruh penghasilan perusahaan juga akan dipakai untuk membayar utang. Saya perkirakan utang itu akan beres dalam lima tahun," katanya. Sinivasan juga berencana menjual sahamnya di NASDAQ, New York. ''Akan saya selesaikan semuanya," ujarnya. Sinivasan memang terlihat begitu geram melihat utangnya dibesar-besarkan—meskipun nilainya memang sangat besar, yakni Rp 23 triliun. ''Yang punya utang kan juga banyak. Lagi pula, aset saya cukup besar, US$ 4,5 miliar," katanya. Sinivasan yakin ada rekayasa politik untuk menumbangkan pabrik-pabriknya. Pengamat hukum perbankan, Pradjoto, bisa menerima analisis Sinivasan itu. Menurut dia, Texmaco sebetulnya punya peluang selamat karena restrukturisasinya hampir selesai jika tak ada goro-goro ini. Pradjoto lalu melirik Jaksa Agung Marzuki Darusman. ''Saya tahu, Marzuki tampaknya ingin membidik Soeharto. Tapi sebaiknya jangan Texmaconya yang justru kena," katanya. Tentulah ini juga tak bisa diartikan bahwa Sinivasan dan Texmaco harus dibela dengan sekuat-kuatnya. Pabrik memang bisa tetap jalan, ribuan buruh harus dibiarkan bekerja, tapi pengutang macet harus ditindak. Dan itu mungkin berarti keluarga Marimutu harus kehilangan Texmaco—sebagian atau malah seluruhnya. M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Ali Nur Yasin, dan I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus