--------------------------------------------------------------------------------
TEXMACO tidaklah sendiri. Ada banyak teman ''seperjuangan" yang menggaet triliunan aset bank-bank pemerintah. Saking banyaknya, Eko Budianto dengan antusias berkomentar, ''Ya, ya, ya…, jangan khawatir. Anda bisa menemukan banyak kasus sejenis," kata Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini.
Pernyataan Eko disokong Achjar Ilyas, Deputi Gubernur Bank Indonesia. Setidaknya ada 20 perusahaan yang menerima kredit pre-shipment. Achjar membenarkan, sebagian perusahaan tersebut memang menggenggam memo sakti dari mantan presiden Soeharto. Tiga di antara ke-20 perusahaan itu adalah Grup Texmaco, Grup Salim, dan Grup Bakrie. Sejauh ini, baru Texmaco yang meledak. Selain ada muatan politisnya, jumlah kredit Texmaco memang heboh: US$ 816 juta dan Rp 450 miliar. Kredit dikucurkan saat rupiah berayun hebat dari Rp 3.275 sampai Rp 10.375 per dolar AS. Sedangkan 18 perusahaan lainnya menerima kredit dalam bentuk rupiah. Itu sebabnya, ketika dolar meroket, nilai kredit mereka relatif aman dan tidak ikut-ikutan melambung seperti kredit Texmaco.
Tapi apakah kredit pre-shipment itu melanggar aturan? Memang tidak melanggar. Fasilitas yang dilansir pemerintah di akhir 1997 itu ditujukan untuk membantu pengusaha yang kesulitan mencari modal ekspor. Persoalannya, Marimutu Sinivasan, Presiden Direktur Grup Texmaco, mengakui adanya pengalihan fungsi kredit. Sebagian kredit—US$ 300 juta—dipakainya untuk melunasi utang jangka pendek. Dan, ''Sisanya untuk perluasan pabrik," kata Sinivasan. Jelas tak ada yang digunakan untuk mengamankan produksi ekspor. Inilah yang bisa dianggap nyeleweng.
Sinivasan jelas bersalah, tapi sistem perbankan yang kacau-balau juga punya andil tak sedikit sampai kredit macet menggunung. Kasus BNI 1946 adalah contohnya. BNI, dengan modal Rp 2 triliun per Juni 1998, sesungguhnya hanya boleh mengucurkan kredit Rp 400 miliar. Sedangkan kredit yang digelontorkan ke alamat Texmaco saja Rp 9,8 triliun. Melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK)? Widigdo Sukarman, Direktur Utama BNI, membantah telah melanggar BMPK. Alasannya, ''La, ini sudah disetujui presiden," kata Widigdo. Artinya, persetujuan presiden itulah ''limit"-nya.
Inilah satu sebab mengapa dunia perbankan amburadul. Kekuasaan begitu gampang mengacaukan kemandirian BI—tanpa ada ''perlawanan" berarti dari petinggi BI. Deretan kredit macet menunjukkan bahwa bank BUMN tak lebih dari kasir keluarga Soeharto dan kroninya. Grup Barito—plus anak perusahaan Interpretindo—milik Prajogo Pangestu, orang dekat Soeharto, memacetkan Rp 9,4 triliun kredit yang tersebar di semua bank BUMN. Grup Humpuss, milik Hutomo Mandala Putra, punya Rp 5,7 triliun kredit macet.
Menurut sumber TEMPO, ada banyak cara Cendana untuk meminta kredit besar. Mantan bankir bank pemerintah ini berkisah sering mendapat kunjungan, proposal, atau surat dari putra-putri Soeharto plus kroninya. Misalnya surat Bambang Trihatmodjo, pemilik Grup Bimantara, tertanggal 29 Maret 1995. Surat ditujukan kepada Iwan Ridwan Prawiranata, yang waktu itu menjabat Direktur Bank Bumi Daya. Isinya adalah meminta restrukturisasi utang Kanindotex dengan bunga 2-5 persen. Padahal, bunga normal saat itu 12-15 persen. Bambang juga minta penghapusan bunga atau denda penalti senilai Rp 10,73 miliar. Di zaman itu, ''Siapa sih yang berani menolak surat Bambang?" kata mantan bankir tadi.
Cendana juga selalu ingin cepat. Ibaratnya, kata si sumber, proposal masuk pagi, maka sorenya duit sudah harus dicairkan. Para bankir pun kelabakan. Anehnya, hanya satu-dua yang berani ''melawan". Itu pun sangat sopan caranya. Suatu ketika, sepucuk disposisi Soeharto melayang ke meja direksi Bapindo. Isinya, direksi diminta menerima proposal kredit Humpuss. Namun, tak ada satu pun direksi yang bisa menjamin kesahihan tanda tangan Soeharto dalam disposisi tersebut. Kemudian, seorang direksi ditugasi mengklarifikasi kebenaran disposisi itu kepada pejabat BI. Tapi klarifikasi tak dilakukan. Akhirnya, proyek menggantung. ''Sampai sekarang, kita tak tahu bagaimana nasib proyek itu," kata sumber tersebut. Cuma sebatas itulah protes dilakukan.
Sebagian permintaan Cendana, sayangnya, lolos begitu saja. Alhasil, proyek menggerus kredit bank BUMN terus berlangsung walaupun modal bank pelat merah itu sudah terkuras dalam-dalam. BBD, misalnya, melempar kredit sampai Rp 47,373 triliun yang sebagian besar dinikmati lingkaran RI-1 plus para kroni. Porsi yang macet Rp 25,11 triliun. Padahal, modal BBD cuma Rp 3,52 triliun. Bank BRI juga tak jauh berbeda. Kredit yang dilempar BRI senilai Rp 50,82 triliun, sementara modalnya tak sampai Rp 4 triliun.
Dengan ''prestasi" begitu rupa, wajar bila rekapitalisasi bank BUMN membutuhkan dana yang super-raksasa. Bank Mandiri, misalnya, perlu suntikan dana Rp 164 triliun. Bank BNI, untuk sementara, butuh Rp 52,8 triliun. Angka itu pun ternyata belum termasuk ''borok" yang masih tersimpan seperti kasus Texmaco ini. Jika kasus-kasus kakap masuk kotak, ongkos rekap pasti membengkak. Rakyat jugalah yang bakal terinjak dan berteriak.
Mardiyah Chamim dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini