Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah remaja mengenakan seragam berwarna serba hitam, Sabtu pagi pekan lalu. Mereka duduk lesehan tanpa alas di halaman padepokan pusat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), di Kecamatan Mangunharjo, Madiun, Jawa Timur. Rupanya, mereka tengah menunggu giliran diuji sebelum disahkan menjadi pendekar pada bulan Muharam menurut kalender Islam, yang jatuh pada 11 September.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam ujian itu, mereka tidak diminta memperagakan jurus ataupun tenaga dalam. Mereka malah harus menunjukkan seekor ayam jago kepada para penguji yang merupakan pengurus perguruan pencak silat itu. Secara bergiliran, para siswa menyerahkan ayam kepada penguji dan diletakkan di atas bangku, lalu diraba untuk diteliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pengurus PSHT, ini untuk mengetahui psikologi calon pendekar. "Percaya dirimu kurang, salatmu masih kurang rajin, emosimu belum stabil," kata seorang penguji kepada siswa yang duduk di hadapannya. Siswa itu mengangguk mendengar penilaian penguji.
Persaudaraan Setia Hati Terate merupakan padepokan pencak silat yang berdiri sejak 1922. Pendirinya adalah Ki Hadjar Hardjo Oetomo, murid Ki Ngabehi Surodiwirjo. Perguruan pencak silat ini merupakan satu dari 10 perguruan historis yang terdaftar di Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI).
Para pesilat dari PSHT sering meraih beragam prestasi nasional dan mancanegara. Yang terbaru adalah di Asian Games belum lama ini. Dua pesilatnya, Puspa Arumsari dan Aji Bangkit Pamungkas, meraih emas di pesta olahraga terbesar di Asia itu. Walhasil, silat memperoleh 14 emas dalam perhelatan tersebut. Tak pelak, silat pun menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.
Puspa Arumsari dan Aji Bangkit Pamungkas adalah pesilat yang berprestasi di kompetisi pencak silat internasional. Sebelumnya, Puspa Arumsari pernah mendapat medali perunggu di SEA Games 2017. Sedangkan Aji Bangkit Pamungkas pernah meraih gelar juara pertama di Asian Championship di Chengju, Korea Selatan.
Baik Puspa maupun Aji juga telah melewati ujian ayam jago di perguruan itu. Ketua Dewan Pusat PSHT, Issoebiantoro, mengatakan pengujian melalui ayam jago merupakan cara simbolis untuk mengetahui kepribadian calon pendekar sebelum disahkan menjadi warga PSHT tingkat satu. Hal ini sudah dilakukan sejak 1922 dan penilaiannya didasari karakteristik ayam jago serta mata batin yang dimiliki penguji.
Jadwal latihan di masing-masing cabang berbeda karena disesuaikan dengan latar belakang siswanya, baik yang anak-anak maupun dewasa. Untuk latihan itu tidak dipungut bayaran karena pelatih di sana tak dibayar. Biasanya para siswa mengumpulkan uang untuk kebutuhan mereka, seperti sewa tempat, minum, dan makan.
Saat berlatih, para siswa mempelajari gerakan silat yang bersifat fisik. Selain fisik, para siswa mendapat pendidikan rohani agar mereka meningkatkan keimanan kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama manusia. Para siswa PSHT dituntut untuk menjalankan ajaran leluhur mereka, yaitu menekankan budi luhur dan persaudaraan. Filosofi persaudaraan itu dinilai mampu membina hubungan antar-manusia lantaran berbicara dari hati ke hati.
Para siswa membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa diwisuda menjadi warga tingkat I. Namun itu pun mempertimbangkan usia dan kedewasaan siswa. Siswa laki-laki dapat disahkan pada usia minimal 17 tahun, sedangkan perempuan pada usia 15 tahun. "Bagi yang lolos menjadi warga tingkat I bisa menggunakan sabuk putih," kata Ketua Umum Pusat PSHT, R. Moerdjoko, kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.
Setelah tingkat I, ada jenjang II dan III. Namun hanya segelintir siswa bisa terpilih masuk ke jenjang itu. Alasannya, jenjang itu lebih mempertimbangkan batin ketimbang fisik. Siswa yang berbakat menjadi atlet akan digiring mengikuti kejuaraan di berbagai tingkat, dari tingkat kabupaten sampai internasional.
PSHT bisa terus berkembang karena berusaha menyesuaikan dengan zaman. Hal itu bisa berupa penyesuaian jadwal latihan dan membuka cabang di daerah lain. Sampai saat ini, PSHT membuka cabang di 281 daerah di Indonesia dan sudah membuka 23 cabang perguruan di sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Australia, Jepang, dan Rusia. "Warga PSHT yang menjadi TKI membuka cabang di sana."
Salah satu warga PSHT juga sudah mengenalkan pencak silat ke ajang pertarungan mixed martial arts atau MMA. Biasanya, petarung yang tampil di ajang tarung bebas MMA adalah mereka yang menguasai bela diri muay Thai, jiu jitsu, ataupun karate, namun kini pesilat pun mulai muncul di ring oktagon.
Sosok itu bernama Suwardi, 34 tahun, yang merupakan juara kelas terbang One Pride MMA. Ajang tarung bebas ini ditayangkan oleh satu stasiun televisi swasta dan mendapat penghargaan Panasonic Gobel Award sebagai program pertandingan olahraga terfavorit pada tahun lalu.
Suwardi merupakan petarung ajang bebas yang menimba ilmu di PSHT. Ia mengaku, banyak pihak menentang keinginannya membawa pencak silat ke turnamen MMA. "Setelah saya menjadi juara kelas terbang pada 2016, banyak pendekar dan guru mendukung pendekar silat bertarung di ajang MMA," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Suwardi menuturkan, niatnya adalah menjadikan pencak silat tak hanya sebatas ilmu bela diri dan mempertahankan diri, tapi juga dapat digunakan dalam turnamen profesional MMA. "Banyak teknik, mulai dari pukulan, bantingan, hingga kuncian, yang bisa digunakan dalam pertarungan turnamen MMA."
Jika seorang petarung ingin naik tingkat dari petarung amatir menjadi pro yang bertarung di arena MMA, Suwardi mengatakan, ia tak bisa mengandalkan satu jenis bela diri saja, tapi minimal mesti menguasai 3-4 jenis bela diri lain. Sebabnya, Suwardi juga menguasai bela diri muay Thai dan Brazilian jiu-jitsu.
Pelbagai profesi dan pekerjaan sempat ditekuni ayah tiga anak ini sebelum menjadi petarung MMA. Ia pernah berjualan bakso di Madura, menjadi mekanik bengkel sepeda motor, bahkan mandor di perkebunan kelapa sawit di Sukabumi. Setelah menjadi juara, Suwardi banyak menerima tawaran mengajar di sejumlah padepokan silat di Jabodetabek, salah satunya sasana Synergy Asta, Bogor.
Suwardi merasa, jika hanya mengajar, penghasilan tak akan mencukupi periuk nasi keluarganya. Namun ia juga dipercaya oleh sejumlah pengusaha nasional dan anak pejabat untuk mengajar bela diri secara privat. "Dibayar dengan hitungan per jam, dan nilainya cukup besar."
Suwardi kerap menggelar seminar sebagai perwakilan PSHT untuk mengenalkan pencak silat menjadi petarung MMA. Programnya adalah membuka sasana bagi pendekar silat yang ingin terjun menjadi petarung MMA kelas amatir. Harapannya, petarung yang menjadi juara di turnamen MMA kelas amatir akan mewakili daerahnya dan dipertandingkan dengan juara dari daerah lain, lalu diambil satu orang untuk dikarantina menjadi petarung pro di turnamen MMA nasional dan internasional.
Makin populernya bela diri ini juga dirasakan oleh para atletnya. Sebut saja yang dialami suami-istri peraih medali emas di Asian Games 2018, Iqbal Chandra Pratama dan Sarah Tria Monita. Mereka masih merasa rikuh jika ada masyarakat menghampiri mereka dan meminta foto bersama. "Kaget, karena keluar dari kebiasaan kami. Enggak masalah, tandanya mereka mendukung kami," kata Iqbal kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Dan yang paling sering diajak berfoto adalah Iqbal. "Banyak perempuan ajak foto (Iqbal), saya sih enggak apa-apa," ujar Sarah.
Menurut Iqbal, hidup sebagai atlet pencak silat sekarang sudah jauh lebih baik dari yang dulu. Ia menyatakan hal itu bukan hanya dari segi kesejahteraan, tapi juga peralatan yang digunakan di arena pertandingan. "Sekarang ada bonusnya, ada videotron juga, ada video replay, bengkaknya saja yang masih sama," ucap Iqbal, terkekeh.
Iqbal mengaku mengenal pencak silat sejak kecil karena kedua orang tuanya merupakan atlet pencak silat. Namun orang tuanya justru mengarahkannya untuk terjun ke olahraga di luar pencak silat, seperti sepak bola, renang, dan senam. Ia menduga orang tuanya tak ingin dirinya merasakan pahitnya kondisi menjadi atlet pencak silat dahulu. Apalagi dahulu, kata Iqbal, masih banyak yang menganggap pencak silat sebagai olahraga aneh.
Meski diarahkan ke olahraga lain, Iqbal kembali ke pencak silat. Ia merasa minat dan bakatnya memang lebih cocok di pencak silat. Maka mulailah ia berlatih pencak silat sejak 2007. Selain medali emas di Asian Games, Iqbal tercatat juga pernah meraih medali perak di kejuaraan dunia pencak silat di Denpasar, Bali, pada 2016.
Senada dengan Iqbal, Sarah juga lebih dulu terjun menjadi atlet voli. Ia tumbuh di keluarga yang menekuni olahraga voli, yakni kakak dan ibunya. Merasa postur tubuhnya kurang cocok dengan olahraga itu, ia beralih ke pencak silat. Sejak 2010, ia menekuni pencak silat secara serius.
Kejenuhan akan latihan juga dialami kedua atlet ini. Mereka biasanya menyiasatinya dengan bermain game. Hal serupa dilakukan pesilat peraih medali emas Asian Games lainnya, Komang Harik Adiputra. Selain bermain game, pesilat asal Bali ini mengatakan terbiasa menggunakan variasi latihan untuk menghindari kejenuhan dan bermain bulu tangkis.
Komang, 23 tahun, bercerita sudah belajar pencak silat sejak duduk di kelas VI SD di sekolahnya dan di perguruan Bakti Negara, karena orang tuanya pelatih di perguruan itu. Motivasi awalnya adalah untuk berolahraga, mencari teman, dan menjaga diri.
Selanjutnya, ia pun mencatatkan prestasi. Ia pernah mendapat medali emas di PON 2016, perunggu dalam kejuaraan dunia pencak silat di Bali pada 2016, medali emas di Korea Open 2017, dan medali perak di Belgia Open 2018. "Kerja keras terus, prosesnya panjang, hasilnya memuaskan," kata Komang kepada Tempo, Rabu lalu.
Apresiasi dari pemerintah dalam bentuk bonus atas prestasinya dinilai makin memotivasinya untuk lebih berprestasi. "Bonus (dari Asian Games) itu akan saya gunakannya untuk memperbaiki pura milik keluarga." Namun Komang melarang keluarganya menonton dia bertanding. Ia merasa konsentrasinya akan terpecah jika ditonton keluarga.
Ia juga bercerita bahwa pencak silat juga makin digemari di Bali. Banyak anak muda Bali tertarik mendalami pencak silat. Menurut dia, kini hampir setiap SD di provinsi itu memiliki ekstrakurikuler pencak silat.
Komang sendiri bertekad untuk terus berprestasi sampai usia 35 tahun. Setelah itu, ia ingin menjadi pelatih agar ada generasi baru yang bisa terus berprestasi di pencak silat. Ia juga berharap suatu saat nanti pencak silat bisa dipertandingkan di Olimpiade. "Saya benar-benar berharap silat bisa masuk (Olimpiade) dan saya ikut (tampil) di sana." NOFIKA DIAN NUGROHO | GABRIEL WAHYU TITIYOGA | M. SIDIK PERMANA | ROFIQI HASAN | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo