Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berupaya mendampingi pegawai Komisi Penyiaran Indonesia berinisial MS atau MSA yang menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual.
LPSK sudah mengirim staf untuk berkomunikasi dengan MSA dan pendampingnya.
LPSK juga akan menawarkan pendampingan psikologis kepada MSA, mengingat perkara yang ia alami berdampak pada kesehatan mental.
JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berupaya mendampingi pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS atau MSA yang menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan pihaknya sudah mengirim staf untuk berkomunikasi dengan MSA dan pendampingnya, Rabu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam komunikasi tersebut, LPSK meminta MSA dan pendampingnya datang ke kantor serta membuat permohonan perlindungan. Namun rupanya MSA masih sibuk mengurus laporan ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat. "Kemungkinan pekan depan korban dan pendamping akan datang serta mengajukan permohonan kepada kami," kata Hasto ketika dihubungi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hasto, LPSK baru bisa memberikan upaya perlindungan dan pendampingan jika korban atau saksi lebih dulu mengajukan permohonan. Selanjutnya, sesuai dengan prosedur, LPSK akan menggelar rapat paripurna untuk menentukan sikap. Namun, jika kondisi mendesak, Hasto menyebutkan sikap pimpinan LPSK bisa disampaikan lebih cepat. "Bahkan, kalau ada dugaan mengancam jiwa, kami bisa berikan perlindungan darurat saat itu juga," kata Hasto.
Perkara MSA sempat ramai di media sosial setelah muncul rilis atas nama dirinya pada Rabu lalu. Dalam rilis tersebut, ia menceritakan kronologi perundungan dan pelecehan seksual yang ia alami di kantor KPI. Bermula pada 2012-2014, korban di-bully oleh rekan kerja seniornya, seperti disuruh membelikan makan siang serta mendapat pukulan, makian, hingga intimidasi.
Pada 2015, korban mendapat pelecehan seksual. Para pelaku memegang kepala, tangan, hingga menelanjangi MSA. Selanjutnya, pelaku mencoret-coret alat kelamin korban memakai spidol. Walhasil, aksi jahat itu membuat korban trauma dan kehilangan kestabilan emosi.
Suasana Komisi Penyiaran Indonesia Pusat di Jakarta. Dok. KPI
Pada 11 Agustus 2017, korban sempat mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui surat elektronik. Komnas HAM membalas dan menyimpulkan apa yang dia alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Korban diarahkan membuat laporan polisi.
Korban, dalam tulisan yang terkirim itu, melaporkan peristiwa pelecehan dan perundungan yang diterimanya ke Kepolisian Sektor Gambir pada 2019. Namun respons polisi tak sesuai dengan harapan pegawai KPI itu.
Ketua LPSK Hasto berharap polisi tanggap mengusut pelanggaran pidana dari laporan MSA. Sebab, selain membutuhkan permohonan korban, ada satu syarat lagi bagi LPSK sebelum memberikan perlindungan dan pendampingan, yakni harus ada kepastian perkara pidana yang dialami oleh korban atau saksi.
Adapun bentuk perlindungan dan pendampingan yang bisa diberikan LPSK beragam, bergantung pada permintaan korban. Jika korban merasa keselamatannya terganggu, LPSK bisa memindahkan korban ke rumah aman. Hanya LPSK yang tahu keberadaan rumah aman tersebut. "Tapi bisa juga kami lakukan penjagaan di rumah korban atau hanya pemantauan. Semua tergantung kesediaan korban," kata Hasto.
Selain perlindungan fisik, LPSK akan menawarkan pendampingan psikologis kepada MSA, mengingat perkara yang ia alami berdampak pada kesehatan mentalnya. Selain itu, LPSK bisa mengupayakan perlindungan terhadap MSA dari sorotan dan kejaran media berita. "Kami bisa meminta media untuk tidak mengambil gambar dan mewawancarai korban. Ini harus dihormati," kata Hasto.
Sementara itu, anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Adelita Kasih, mendukung upaya LPSK melindungi dan mendampingi MSA. Sebab, menurut Adelita, bukan tidak mungkin korban mendapat serangan balik, seperti dalam kasus pelecehan seksual lain yang telanjur ramai di media sosial.
Selain dilindungi, Adelita berharap LPSK bisa memberikan pemulihan bagi korban. Salah satunya adalah pemulihan kesehatan mental korban. "Masyarakat harus kawal sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku nantinya," kata Adelita kepada Tempo, kemarin.
Menurut Adelita, kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja bagaikan fenomena gunung es. Hanya sedikit korban yang berani berbicara. Adelita menganggap penting seluruh kantor lingkungan kerja punya komitmen kuat menangkal kekerasan dan pelecehan seksual. "Biasanya kasus-kasus tersebut terbentur oleh tidak adanya mekanisme internal untuk penyelesaiannya," kata dia.
Ia mengatakan ketegasan regulasi di internal lingkungan kerja diharapkan bisa menjadi penambah keberanian korban untuk bicara dan melapor. “Jika tidak, selamanya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kerja menjadi fenomena gunung es,” kata dia.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo