Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bertahan Dengan Cara Kanibal

Saat diembargo Amerika Serikat, sejumlah mesin perang Indonesia nyaris jadi bangkai. Cara kanibal terpaksa dilakukan.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam belas pesawat tempur itu dibeli dari Amerika Serikat pada April 1980. Dua belas unit jenis F-5E dan empat unit jenis F-5F. Pesawat-pesawat itu amat diandalkan mengawal wilayah udara Indonesia. Lima belas tahun beroperasi, beberapa dari pesawat itu mulai rusak. Satu pesawat terpaksa diterbangkan ke California, masuk bengkel pada 1995. Setelah di-utak-atik juru pandai di sana, burung perang itu dinyatakan layak tempur. Pesawat itu pun siap pulang kampung.

Sayang, sebelum pesawat mengudara, meletuslah huru-hara di Timor Timur—kini Timor Leste—pada 1999. Washington murka, lalu mengembargo semua per-alatan militernya ke Indonesia. Pesawat F-5 yang tadinya sekadar pergi berobat itu pun disandera pemerintah Amerika Serikat.

Tak cuma pesawat tempur, seju-mlah suku cadang pesawat dengan lisensi Ame-rika Serikat, tak peduli kita beli dari negara mana saja, ikut pula disandera. Akibatnya, suku cadang pesawat F-5 dan F-16 kini menumpuk begitu saja di gudang militer Korea Selatan, Brasil, dan negeri tetangga Malaysia. Padahal Indonesia jelas-jelas sudah membeli semua suku cadang itu.

Hantu embargo itu menjalar ke mana-mana. Kontrak kredit ekspor up-grade pesawat F-5 di Belgia dan Swedia ikut pula macet. Pemeliharaan suku cadang Hawk 200 di Inggris dan Selandia Baru turut disetop. Embargo juga menimpa Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Dijepit begitu rupa, jelas saja peralat-an tempur Indonesia ompong di sana-sini. Dari 255 pesawat tempur yang ada, cuma 20 persen yang mampu meluncur ke udara. ”Sekitar 80 persen cuma bersemadi di hanggar-hanggar,” kata Sagom Tamboen, Kepala Dinas Pene-rangan Angkatan Udara. Di antara sejumlah pesawat yang tak laik tempur itu terdapat pula pesawat jenis F-5.

Sementara dulu Angkatan Udara memiliki rudal SAM 75 yang bisa diluncurkan dari darat ke udara, setelah diembargo Angkatan Udara Indonesia sama sekali tak bisa membeli rudal itu. ”Jadi, kalau pesawat musuh lewat, kita cuma bisa bersiul-siul saja,” kata Sagom.

Jakarta berkali-kali berusaha mer-a-yu Washington agar mencabut embargo. Pada 2002, ketika Colin Powell, Menteri Luar Negeri Amerika, datang ke Jakarta, Presiden Megawati Soekarnoputri berusaha sekuat tenaga mendesak Amerika Serikat mencabut embargo sen-jata. Tapi barulah tiga tahun kemudian, pada November 2005, Amerika mencabut embargo itu.

Saat diembargo, bukan berarti Indo-nesia sama sekali tak bergigi. Ke-tika pada 4 Juli 2003, entah dari mana da-tangnya, lima pesawat F/A-18 milik Ame-rika Serikat berakrobat di langit Pulau Bawean, Jawa Timur, dua pesawat F-16 milik Indonesia sigap menyergap. Dua pesawat tempur yang mengudara dari Lanud Iswahyudi, Madiun, itu lengkap dengan peralatan perang.

Para pilot Amerika kabarnya sempat terkejut. Walau diembargo, Angkat-an Udara Indonesia ternyata masih bisa beraksi. Para pilot memang sempat sa-ling gertak, tapi insiden itu berakhir damai. Cuma, sejak saat itu, kata seorang broker senjata kepada Tempo, Amerika curiga dengan suku cadang F-16 itu. Semua pesawat itu memang diimpor da-ri Amerika dan suku cadangnya masuk daftar embargo.

Menurut Sagom, Amerika Seri-kat mes-tinya tidak perlu terkejut karena petinggi militer di Washington paham be-tul bahwa setiap negara memiliki raha-sia kekuatan militer yang tidak ter-publikasi.

Ketika dua pekan lalu Hadianto Djoko Djuliarso dari PT Ataru Indone-sia ditahan pihak imigrasi Amerika Se-rikat karena berniat membeli rudal Sidewinder, dugaan pun merebak. TNI Angkatan Udara dituding tengah mencoba membeli peralatan militernya di pa-sar gelap. Kebetulan Sidewinder merupakan jenis rudal yang dipasang di tubuh pesawat F-5, dan Hadianto adalah rekanan bisnis Angkatan Udara. Ada pula yang meyakini bahwa, sesudah diembargo pada 1999, militer Indonesia mendapat pasokan suku cadang pesawat tempur dari pasar gelap.

Seorang petinggi militer kepada Tempo mengaku terheran-heran dengan kritikan sejumlah anggota legislatif dalam kasus Hadianto. Saat diembargo kiri-kanan, katanya, membeli suku cadang di pasar gelap mestinya bisa dipahami. ”Apa para tukang kritik itu mau kalau kekuatan udara kita lumpuh sama sekali,” tanya dia penuh keheranan.

Sumber ini mengingatkan, bila tak ada suku cadang, apa yang terjadi jik-a lima pesawat F/A-18 milik Ame-ri-ka Serikat yang berakrobat di langit Ba-wean itu bertindak lebih jauh. ”Apa kita mau kekuatan udara kita sampai zero?” tanya-nya.

TNI Angkatan Udara tetap membantah keras membeli suku cadang dan peralatan tempur lainnya di pasar gelap. Menurut Sagom, sejumlah pesawat tem-pur bisa terbang karena pihaknya melakukan cara kanibal. Suku cadang pesawat yang tidak terpakai dipreteli untuk dipasang di pesawat yang laik terbang.

Wenseslaus Manggut, Pruwanto, dan Eduardus Karel Dewanto


Di Udara, Kita Lemah

Sesudah huru-hara politik di Timor Timur, September 1999, Washington mengembargo semua peralatan militernya ke Indonesia. Ke-kuatan militer Indonesia pun morat-marit. Dari 255 pesawat tempur, terbagi dalam 17 skuadron, sekitar 80 persen mangkrak di hanggar alias tak bisa terbang. Sebagian ka-wasan udara Indonesia juga bolong. Ji-ka pesawat musuh masuk menyusup, TNI Angkatan Udara kesulitan mengawasi ka-rena tak ada radar pemantau.

Selama ini sebagian besar peralatan tempur udara negeri ini memang amat bergantung pada Amerika Serikat. Berikut kekuatan udara Indonesia pascaembargo itu.

Radar Sekitar 21 radar dipasang di seluruh wilayah Indonesia, membantu sistem pertahanan. Hanya 70 persen yang berfungsi. Daerah selatan Maluku dan selatan Papua bahkan masih bolong, tak ada radar. Artinya, kalau ada pesawat negara lain yang lalu-lalang di situ, sulit dipantau.

Pesawat Tempur F-16 Fighting Falcon Dari 10 pesawat yang ada, hanya empat yang siap tempur.

Skuadron Bronco dan A4 SkyHawk Masih laik terbang, tapi usianya sudah tua.

Hawk MK 109/209 Dari 35 pesawat yang ada, beberapa tak bisa terbang.

Tanker C-130 Angkut Berat Dari 22 tanker yang dimiliki, semuanya tak berfungsi.

F-28 Tiga unit pesawat.

F-27 Lima unit pesawat.

Tanker C-130B Dua unit pesawat.

CN-235 Delapan unit.

C-212 Sepuluh pesawat.

Sukhoi 27 MK Dua pesawat ini cuma punya senapan mesin, tapi tak memiliki rudal.

Sukhoi 30 MK Dua pesawat ini hanya punya senapan mesin, tapi tak punya rudal.

Boeing 737 Tiga unit.

Helikopter NAS-332 Sembilan unit.

F-5E Dari 12 unit, cuma dua yang siap perang.

F-5F Empat unit.

Pesawat Angkut Hercules Dari 22 pesawat yang ada, hanya delapan yang siap terbang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus