Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Setelah Munich Berdarah

Sebuah film yang kritis terhadap sikap Israel. Lebih seperti sebuah thriller dengan pernyataan politik.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNICHSutradara: Steven SpielbergSkenario: Tony Kushner, Eric Roth, berdasarkan novel Vengeance karya George JonasPemain: Eric Bana, Daniel Craig, Geoffrey RushProduksi: DreamWorks SKG dan Universal Pictures

Olimpiade Munich 1972. Sebuah malam berdarah yang meng-gemparkan dunia. Sebelas orang atlet Israel dibantai oleh sekelompok Palestina yang saat itu dikenal sebagai kelompok ekstrem Black September. Darah membanjir, dunia terbangun, Perdana Menteri Golda Meir dan stafnya langsung mengadakan pertemuan untuk merancang kesumat: mereka akan memutuskan untuk menghabisi kelompok Black September.

Steven Spielberg sekali lagi menggunakan lensa yang mahal-arti-nya, film ongkos tinggi dengan lokasi di ber-bagai kota di Eropa-yang mengangkat kisah nyata yang diceritakan dari mata Avner (Eric Bana), seorang anggota Mossad yang pernah menjadi pe-nga-wal pribadi sang Perdana Menteri. Misi untuk Avner jelas: bunuh 11 orang yang dianggap sebagai dalang peristiwa Munich! Sampai selesai. Setelah itu, dia baru boleh pulang. Strategi dibentangkan. Dengan segera, nama Avner dicabut dari anggota resmi Mossad. Dia tak menerima gaji resmi, tak ada asuransi, tak ada bukti kontak langsung dengan pemerintah Israel. Satu-satunya komunikasi adalah Ephraim (Geoffrey Rush) dan kiriman uang melalui bank Swiss untuk operasinya.

Dia meninggalkan sang istri yang te-ngah hamil tujuh bulan dan sang ibu di Israel, dia memimpin timnya yang terdiri dari lima orang: Steve (Da-niel Craig) yang fanatik dengan tanah air-nya di Afrika Selatan dan ber-ulang-ulang menyatakan bahwa yang terpenting baginya adalah "darah Yahudi"; Hans (Hanns Zisschler), Jerman Yahudi yang bertugas memalsukan dokumen; Robert (Mathieu Kassvitz) pembuat bom dan alat ledak lainnya; dan Carl (Ciaran Hinds) yang bekerja untuk "membersihkan" jejak mereka. Avner adalah satu-satunya warga Yahudi yang datang dari Israel.

Amat mudah, terutama bagi penonton Indonesia (yang gemar berprasang-ka) atau penonton di negara Arab, untuk segera menyangka bahwa film ini tentu saja akan membela kepentingan Yahudi, terutama karena film ini di-mu-lai dengan peristiwa pembantaian 11 atlet Israel. Namun, begitu lensa kame-ra segera memberikan sebuah close-up kepada Perdana Menteri Golda Meir yang mengeluarkan perintah berdarah itu, barulah penonton akan menyadari bahwa ini justru sebuah film yang kritis terhadap Israel.

Pada perjalanan Avner dan ti-mnya mem-bunuh satu per satu targetnya, de-ngan bantuan informan Prancis Louis (Mathieu Amaric), sutradara Spielberg kemudian memperlihatkan bahwa te-ror dan antiteror akhirnya sama saja: teror berdarah.

Di luar persoalan politik, konsep dan teknik Spielberg sebetulnya tidak baru: kamera dinamik, editing bolak-balik antara masa lalu dan masa kini yang mulus, dan pengembangan setiap karakter pada setiap titik peristiwa pembunuhan. Avner tentu saja digambarkan yang paling kompleks: meski dia akhirnya menjadi monster, Spielberg tetap romantis dan menampilkan dia sebagai suami (yang terbang diam-diam ke Israel untuk menjenguk istri-nya yang melahirkan, atau tersedu-se-du ketika anak balitanya sudah bisa bicara melalui telepon jarak jauh).

Spielberg merasa harus memberi per-nyataan-pernyataan agar peno-n-to-n pa-ham perasaan kedua belah p-ihak. Pihak Israel diwakili ibu Avner, yang ber-ceramah tentang perasaannya sebagai seorang Yahudi yang meng-ang-gap Israel tanah airnya. Pihak Palestina diwakili oleh Ali, anggota PLO yang berdiskusi dengan Avner (karena menyangka Avner orang Jerman) yang mengatakan, "Kau tak tahu apa artinya tak memiliki rumah dan tak memiliki tempat untuk pulang...." Se-per-ti yang sudah diduga, Avner dan timnya kemudian membantai mereka keesok-an harinya. Adegan ini memenuhi syarat untuk sebuah adegan laga-thriller yang asyik. Tapi, sebagai sebuah diskusi intelektual, adegan ini terasa klise karena kita menyaksikan film ini tahun 2006, ketika kita sudah merasa ucapan-ucap-an seperti Avner dan Ali mulai hambar.

Ketegangan pada setiap pelaksana-an target seharusnya menjadi daya tarik generasi muda yang malas berpikir tentang politik atau sejarah. Adeg-an putri salah seorang target yang meng-angkat telepon (yang sudah diisi bahan peledak) memang menegangkan dan berbau thriller, dan tampaknya bagian inilah yang "dijual" untuk penonton masa kini yang mudah bosan.

Akhir film, setelah dia menyelesai-kan tugasnya, Avner tampaknya mewakili "nurani" Spielberg. Dia mempertanyakan 11 target di dalam daf-tar, "Apakah ada bukti mereka dalang peristiwa Munich?" dia mencecar Eph-raim. Pertanyaan yang terlambat.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus