Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Cabai Sampai Boeing

Dalam bisnis senjata, Hadianto Djuliarso termasuk pendatang baru. Sebelumnya, dia berdagang apa saja, mulai cabai sampai onderdil sepeda motor.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan Haji Matoa, Bandung, suatu sore pada 1963. Seorang ibu tengah melenggang santai di trotoar ber-sama empat anaknya. Ibu bernama Idah Subaedah itu sedang hamil tua. Sebuah sepeda motor tiba-tiba menabraknya dari belakang. Sang ibu jatuh tersungkur. Lalu terjadilah perdarahan. Ia dilarikan ke rumah sakit. Karena kekurangan darah, ia mesti diinfus. Untung si bayi lahir selamat. Subaedah juga kembali sehat.

Kenangan itu berputar kembali dalam ingatan Su-baedah, suatu sore dua pekan lalu. Saat itu ia ba-ru saja mendapat kabar buruk: putra keenamnya, Ha-dianto Djoko Djuliarso, di-tangkap oleh aparat imi-grasi di Hawaii, Amerika Serikat. Hadi—beg-itu Su-baedah memanggi-lnya—dituduh mau menyelundupkan sejumlah senjata serbu ke Singapura.

Subaedah tak percaya tuduhan itu. Dia yakin sekali putranya, yang menjadi bos PT Ataru Indonesia, tak bersalah. ”Dulu kami juga sudah berjalan di tempat yang benar, tapi ditabrak sepeda motor dari belakang. Saya kira Hadi juga begitu,” katanya ketika ditemui Tempo di rumahnya, kawasan Bekasi, pekan lalu.

Selain Hadi, ikut ditangkap pula Ko-misaris PT Ataru Indonesia, Alawiyah Maulidyah—istri Hadi—dan pemilik PT Imaco Pratama Santosa, Ignatius Fer-dinandus Soeharli. Dua lagi yang dije-rat, yakni Direktur PT Indodial Singa-pura, Amran Ibrahim, yang berkewarga-ne-garaan Singapura, dan David Beecroft, warga Inggris. Cuma Alawiyah yang dibebaskan karena tak terbukti bersalah.

Menurut Subaedah, Hadi memang ulet dan mandiri sejak usia muda. Mentas dari Politeknik Mesin Industri Universitas Indone-sia, ia bekerja di sebuah per-usahaan swasta. Sempat beberapa kali pindah kerja, dia lalu bergabung dengan PT Ataru, sebuah perusahaan swasta asal Singapura. Perusahaan ini mengimpor mesin-m-esin industri di Indonesia. Dua tahun kemudian, Ataru angkat kaki da-ri Indonesia. Hadi lalu meng-ambil pe-luang mendirikan perusahaan dari kocek pribadi. Namanya hampir sa-ma, PT Ataru Indonesia.

Dalam dokumen Lembaran Negara, Ataru Indonesia memang terdaftar. Per-usahaan ini didirikan dengan pengesahan dari notaris Srie Mulyatie Oesaid melalui akta pendirian 12 Juli 2001. Hadi menjadi direktur dan istrinya, Alawiyah, yang lahir di Bangkalan Madura 2 Juni 1968, sebagai komisaris. Total mo-dal awal usahanya Rp 250 juta.

Menurut Hoedaifah Koeddah, k-akak ipar Alawiyah, Ataru didirikan d-engan modal keluarga. Hadi dan istrinya berpatungan dengan menjual tanah waris-an dan tabungan. Ataru Indonesia ber-diri setelah mereka menikah dan beranak lima. Mulanya perusahaan ini berkantor di Wisma Kayu Manis, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, lalu pindah ke Jalan Pengadegan Timur Raya Nomor 24, Jakarta Selatan.

Didatangi Tempo pekan lalu, ka-ntor Ataru Indonesia lebih mirip rumah ting-gal. Bercat biru muda, dengan halam-an tanpa pagar, kantor ini dijepit permukim-an penduduk. Di dalamnya ada e-mpat ruangan yang dihuni tak lebih dari 10 karyawannya. Walau tanpa papan nama, PT Ataru Indonesia cukup dikenal oleh warga setempat.

Bisnis PT Ataru semula serabutan. Per-usahaan ini berdagang apa saja, mulai dari cabai, barang elektro-nik, sampai onderdil sepeda motor. A-taru juga sempat masuk ke bidang jasa ang-kutan umum. Menurut Hoedaifah, baru pada 2002 perusahaan ini menjadi re-kanan Tentara Nasional Indonesia Angkat-an Udara. Setahun kemudian Ataru men-dapat proyek besar, yakni tukar tambah pesawat Boeing 707 dengan Bo-eing 737, yang menjadi pesawat eksekutif Pre-siden Megawati Soekarnoputri. ”Jadi, du-lu nggak membeli peralatan pesawat,” kata penasihat Hadi ini.

Ataru Indonesia kemudian melesat ba-gai jet tempur. Permintaan barang meng-alir deras. Cabang di Singapura, Thailand, dan Korea lalu dibuka. Di Singapura, namanya Indodial Pte Ltd, diambil dari nama Dial, panggilan Alawiyah. Dari cabang-cabang itulah PT Ataru Indonesia menyiasati pengadaan barang yang diembargo Amerika masuk Indo-ne-sia. Itu sebabnya, Ataru juga bisa memasok suku cadang pesawat Hercules, F-16, dan F-5.

”Kalau bukan kelincahan Ataru, TNI tak bisa dapat barang yang diemba-rgo,” kata Hoedaifah. Dia juga menuturkan, saat ditangkap di Amerika, Hadi dan kawan-kawannya sebenarnya akan me-ngecek pengiriman radar buat pesawat F-5. Radar itu sudah ada dalam kontrak dan legal. Pada kesempatan itu pula ada tawaran dari Orchard Logistic Service berupa 310 item barang.

Sebagian barang itu memang berupa senjata. Ada 245 Sidewinder, 882 senjata api submachine Heckler & Koch MP5, 800 senjata api tangan H&K 9 milimeter, 16 senapan sniper H&K, dan 5.000 keping peluru. Barang-barang inilah yang membuat Hadi dan kawan-kawan dituduh mau menyelundupkan senjata. ”Padahal kami masih penjajakan, belum ada kontrak,” katanya.

Menurut Hoedaifah, tawaran itu me-rupakan peluang bisnis. Apalagi, embargo Amerika terhadap Indonesia sudah dibuka sejak November tahun lalu. Angkatan Udara bahkan merestui tawaran mereka sejak tahun lalu. ”Mungkin pula angkatan lainnya juga tertarik. Namanya juga dagang, kan,” kata orang Madura ini.

Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Herman Prayitno juga membenarkan, pihaknya sudah bekerja sama dengan Ata-ru sejak tiga tahun silam. ”Kalau ka-mi butuh sesuatu, dan dia (Hadianto) bi-lang mampu, ya kami coba,” ujarnya. Dalam pembelian radar F-5, dia meng-akui memang resmi. Tapi Herman tidak tahu-menahu mengenai pembelian peralatan atau senjata lainnya.

Dalam berbisnis senjata, Hadianto men-jalin kerja sama antara lain de-ngan Ignatius Ferdinandus Suhaerli dari PT Imaco Pratama Santosa. Dialah penyo-kong dana Ataru. ”Sebab, kami ha-rus membeli barang dengan duit sendiri se-belum masuk ke gudang TNI,” kata Hoedaifah.

Hadirnya Ignatius, menurut Hoedaifah, atas rekomendasi seorang perwira di Angkatan Udara yang tidak bersedia disebut. Dia juga ikut ke Amerika lantar-an ingin bekerja sama lebih jauh dengan Ataru terkait dengan sejumlah barang tawaran dari Orchard Logistic.

Kini, setelah bosnya ditangkap, kantor PT Imaco di Jalan Maluku Blok G-71 Cinere, Depok, tampak sepi. Bangunannya yang bercat putih mirip rumah bia-sa. Ketika Tempo mengunjunginya pekan lalu, Monang Sihotang, karyawan di sana, membenarkan kantor itu milik Imaco.

Begitu pula kantor Indodial di Singapura. Kantor ini tampak tutup setelah bosnya, Amran Ibrahim, ditangkap ber-sama Hadianto. Sehari-hari Ibr-ahim tinggal di apartemen yang berada di Blok 288 Bishan Street 24, Singap-ura. Di sana sekarang hanya ada sebuah mobil hijau yang telah terparkir selama se-minggu. Menurut Khadijah Haji Hassan, yang tinggal di apartemen itu, Ibrahim dan istrinya jarang kelihatan walau sudah tinggal di sana selama 10 tahun. ”Nama lengkap mereka pun saya tak ta-hu,” katanya.

Sumber Tempo, seorang bekas br-oker senjata, menyebut Hadianto, Ignatius, dan Ibrahim termasuk pendatang baru dalam bisnis senjata. Mereka baru muncul sesudah era reformasi. Sebelum reformasi, cuma ada segelintir pemasok peralatan militer yang kuat. ”Nah, kalau mereka baru masuk saja bisa mendapat tawaran item sebanyak itu, pasti ada bekingnya,” kata si sumber, tanpa mau menyebut nama beking tersebut.

Hanya, tudingan itu ditepis oleh Hariyanto Djoko Dwiarso, kakak Hadi. ”Selama ini, kami tidak pernah ada beking-bekingan,” katanya.

Eduardus Karel Dewanto, Purwanto, Fanny Febiana, Yophiandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus