Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bertaruh Nyawa Demi Napoleon

SETIAP malam nelayan suku Bajo bermandi keringat di depan wajan. Mereka menggoreng pupuk sampai matang, mencampurnya dengan bubuk korek api, lalu memasukkannya ke botol-botol bersumbu. Bom-bom buatan ini siap diledakkan keesokan harinya saat laut tenang. Tak lama setelah bom menggelegar, ikan besar dan kecil akan menggelepar.

Demi memburu tangkapan yang mahal semacam ikan napoleon, ratusan ribu orang Bajo di sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah juga makin ganas. Mereka rela menyelam berjam-jam tanpa mempedulikan keselamatan. Padahal ratusan korban telah jatuh. Ada yang lumpuh karena menyelam, tak sedikit yang tewas akibat bermain bom.

Suku yang dulu ramah terhadap laut ini seolah terjebak. Bukan cuma gara-gara rayuan para cukong ikan, tapi juga lantaran terimpit daerah tangkapan yang kian menyempit.


19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN purnama tersenyum memeluk langit. Sinarnya membuat perkampungan Kalumbatan tampak indah. Rumah terapung orang Bajo bagaikan kapal-kapal yang tengah berlabuh di tepi laut yang berkemilau. Ombak tak berhenti berirama. Dan bintang di atas sana belum bosan juga main mata.

Tapi malam yang indah itu diabaikan begitu saja oleh Muslih, 38 tahun. Di halaman rumah terapungnya, ia asyik bekerja. Keringat terus membasahi tubuhnya. Tangannya tak berhenti mengaduk-aduk adonan pupuk di atas wajan yang panas. Sekitar setengah jam lamanya dia menggoreng amonium nitrat yang biasa dipakai untuk menyuburkan lahan. Setelah warnanya berubah menjadi kecokelatan, barulah dia mengangkat "masakan" ini.

Sehabis mengisap cerutu sejenak, Muslih memanggil anak-anaknya. Untuk mencicipinya? Tentu saja tidak. Mereka disuruhnya mengiris ujung korek api untuk dipisahkan dari batangnya. Bubuk hitam itu lalu dicampur dengan adonan pupuk yang sudah matang. Dengan terampil pula, mereka kemudian memasukkan campuran tersebut ke dalam botol-botol yang sudah disiapkan. Terakhir, Muslih sendiri yang memasang seutas sumbu yang sudah dicelup minyak tanah di ujung ke setiap botol. Jadilah beberapa bom yang siap disulut, dan mematikan!

Ayah delapan anak itu bukan seorang teroris. Kesibukan yang sama juga dilakukan warga lain di Desa Kalumbatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Setiap malam mereka selalu menyiapkan bom ikan untuk melaut keesokan harinya. Hanya, belakangan ini ada sedikit masalah. Harga pupuk bermerek Matahari yang dijadikan bahannya kian mahal. Sekarung pupuk (sekitar 25 kilogram) yang berasal dari Malaysia itu mesti ditukar duit Rp 750 ribu. Perang lokal di Poso, kata Muslih, membuat permintaan pupuk meningkat. Akibatnya, harganya pun menanjak. Orang-orang Bajo terpaksa membelinya, berapa pun harganya, karena dari pupuk inilah rezeki bernama ikan berdatangan.

Sebagian orang Bajo memang menggantungkan hidupnya pada laut. Suku perantau ini tersebar di mana-mana. Di Provinsi Sulawesi Tengah saja jumlahnya mencapai sekitar 30 persen dari 3 juta penduduknya. Mereka terutama tinggal di Kabupaten Banggai Kepulauan, Poso, dan Donggala, dan biasa mencari ikan di Teluk Tomini.

Tak jauh letaknya dari Teluk Tomini, Desa Kalumbatan berada Pulau Peling, Kecamatan Totikum, Banggai Kepulauan. Desa seluas cuma 6 hektare ini sudah berumur lebih dari 125 tahun. Konon didirikan oleh leluhur Bajo yang lebih kerasan hidup dengan deburan ombak ketimbang tinggal di daratan.

Sebagian besar memang berumah di pinggir laut. Rumah mereka—tak seperti milik warga Jakarta yang garasinya dijejali BMW, Mercedes Benz, atau Toyota Kijang—selalu ditambati oleh leppe (sampan kecil khas suku Bajo yang cuma muat tiga orang). Dengan perahu inilah orang Bajo bepergian ke mana-mana, termasuk bertandang ke tetangga.

Dulu orang Bajo dikenal amat ramah terhadap laut. Mereka cuma sudi menangkap ikan yang besar-besar dengan jala atau pancing. Ikan yang kecil-kecil, kalaupun terangkut, selalu "ditanam" lagi di laut. Mereka pun selalu menjaga terumbu karang karena dianggap rumah ikan. Orang Bajo hanya memakai bom buatan untuk menangkap ikan bila terpaksa. Taruhlah ketika mereka sedang ada hajatan atau kedatangan tamu, sehingga membutuhkan banyak ikan dengan cepat.

Hanya, dalam 20 tahun terakhir, keramahan orang-orang Bajo itu mulai terkikis. Gara-gara permintaan yang kian besar dari para cukong ikan, mereka mulai menggunakan segala cara untuk menangkap ikan. Bukan cuma dengan cara menyelam, menjaring, dan memancing, orang Bajo juga kian sering menggunakan bom buatan.

Lihat saja yang dilakukan Muslih. Setelah menyiapkan botol-botol bersumbu, dia belum beranjak tidur. Bersama lima anak yang hanya tamat SD, ia masih sibuk membenahi sampannya. Sebatang rokok tak henti mengepul di mulut. Ada juga anak-anaknya asyik memancing ikan kecil-kecil sambil mendengarkan musik rock yang mengalun dari radionya. "Itu buat umpan ikan yang lebih besar," kata Muslih kepada TEMPO.

Setelah tidur sebentar, selepas subuh, saat ombak setenang singa-singa sirkus di kandang, Muslih pun bersiap-siap melaut. Ia ditemani Rusdi, anaknya yang nomor dua. Dayung mereka kayuh pelan-pelan. Angin pagi berembus membawa kesegaran.

Sampai di tengah laut, Muslih mengeluarkan sebuah botol bir berisi bom. Hati-hati ia membakar sumbu. Dalam hitungan detik, bom itu dilemparnya ke laut. Lalu..., blar! Laut terbuncah. Ombak bergelora. Perahu sedikit oleng. Dari bawah terlihat busa air menyembul membawa serpihan terumbu karang. Muslih mengisap rokoknya dalam-dalam. Dikitarinya tempat bekas ledakan bom yang kini dipenuhi ikan menggelepar. Lalu, dibantu Rusdi, dipungutinya satu per satu.

"Pari ini diambil juga, Pak?" tanya Rusdi. "Ambil! Ada harganya itu," jawab sang ayah.

Muslih bercerita, menangkap ikan dengan bom tak boleh sembarangan. Risikoknya sangat tinggi. Proses membakar sumbu lalu melemparkannya ke rumah ikan (terumbu karang) harus dilakukan dalam hitungan yang tepat. Terlambat sepersekian detik saja, nyawa taruhannya. Minimal, kalau bukan badan yang terbakar, sebelah tangan pasti buntung.

Sudah tak terbilang nyawa suku Bajo di kawasan Banggai Kepulauan dan sekitarnya yang melayang gara-gara terlambat melepas bom atau karena kecerobohan. Memakai bom buatan dengan memakai kabel pun tak dijamin aman. Sarjan, 19 tahun, misalnya, tewas tiga bulan lalu karena salah menyambung kabel. Warga Desa Tinakin, Banggai Kepulauan, ini mengira kabel yang dipasang berhubungan dengan bom yang dilempar ke laut. Ternyata kabel itu tersambung dengan bom yang masih ada di atas perahunya. Tak ayal, begitu dinyalakan, bom di perahulah yang meledak. Tubuh Sarjan hancur lebur.

Tak cuma bom yang mengintai nyawa orang Bajo. Banyak mereka yang tewas karena mencari ikan dengan cara menyelam yang salah. Mereka menyelam dibantu kompresor, penyimpan udara seperti yang biasa dipakai di bengkel motor atau mobil. Alat yang diletakkan di atas perahu ini kemudian disambungkan ke mulut penyelam memakai selang berukuran 10 inci. Ujung selang diberi masker agar tetap melekat dan air tak masuk ke mulut. Dari kompresor itulah penyelam mendapatkan udara agar mampu bertahan di dasar laut.

Orang Bajo menyelam dengan cara menceburkan diri ke dalam laut secara vertikal. Begitu masuk, mereka langsung menukik sampai kedalaman 60 meter langsung tanpa henti. Sekali menyelam, mereka bisa bertahan 2 hingga 4 jam. Dalam sehari, mereka bisa berkali-kali terjun. Inilah bahayanya. Mestinya, penyelam masuk air secara diagonal, dan turun secara bertahap. Dia harus berhenti setiap kedalaman tertentu. Bila tidak, paru-paru bisa jebol. Lebih dari itu, seorang penyelam hanya boleh sekali menyelam dalam sehari untuk menghindari risiko pecahnya pembuluh darah karena tekanan udara yang berlebihan.

Karena menabrak tata cara menyelam yang aman, banyak orang Bajo mati sia-sia. Simak saja penelitian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah dan Mith Welt Nezwerk tiga tahun lalu. Mereka memukan 30 kasus nelayan tewas dan 100 orang lainnya lumpuh di daerah Kalumbatan karena cara menyelam yang salah. Di kawasan lain ditemukan pula 130 kasus kematian dan 200 orang lumpuh oleh sebab yang sama.

Tidak ada catatan berapa korban yang jatuh dalam dua tahun terakhir ini. Tapi, setahu Muslih, kini setidaknya masih ada sekitar 30 orang di kampungnya yang lumpuh gara-gara salah menyelam.

Pemerintah daerah selalu menyerukan agar para nelayan menghindari penggunaan bom dan kompresor. Bukan cuma karena berbahaya, tapi juga merusak lingkungan. Namun orang Bajo tetap saja memakainya. Menurut Djabar, 52 tahun, Kepala Desa Bone-Bone yang masih di wilayah Banggai Kepulauan, tekanan ekonomi dan persainganlah yang membuat mereka menafikan bahaya itu. Sebagai nelayan tradisional, orang Bajo terdesak oleh nelayan modern dari Bugis, juga Filipina dan Taiwan, yang memakai peralatan canggih seperti pukat harimau. "Kalau hanya pakai alat pancing dan tombak, mana mungkin kami bersaing dan bertahan hidup," kata Muslih.

Lebih dari itu, hanya dengan menyelam dan menggunakan bom atau bius, nelayan bisa mereguk tiga primadona hasil laut: mutiara, teripang, dan ikan napoleon. Satu kilogram teripang laku dijual Rp 100-120 ribu. Harga satu kilo napoleon, yang ditangkap dengan cara dibius di dasar laut, kurang lebih sama. Padahal, sekali turun ke laut, nelayan seperti Muslih bisa mengangkut rata-rata 10 kilogram teripang. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang mampir di koceknya setiap hari. Tapi keuntungan terbesar tetap berapa di tangan cukong. Merekalah yang mengekspornya ke Hong Kong atau Taiwan dengan harga berlipat-lipat.

Harga ikan di pasar internasional tak pernah menjadi pikiran Muslih. Dia cuma tahu, semakin banyak ikan yang ditangkap, semakin banyak rupiah yang didapat.

Seperti siang itu, ia amat puas setelah perahunya disesaki oleh dua karung berisi puluhan ikan kerapu, ikan merah, bawal putih, dan bawal hitam. Bersama anaknya, Muslih lalu bergegas mendayung sampan pulang ke kampungnya.

Di daratan, para cukong ikan dari Luwuk, ibu kota Banggai, dan Makassar, sudah tak sabar menunggu. Mereka telah siap memborong semua hasil tangkapnya. "Kadang-kadang, ketika saya masih di atas perahu, mereka sudah mengambilnya," kata Muslih.

Terbuai lembaran-lembaran rupiah para cukong, Muslih dan para nelayan Bajo akan terus melempar bom atau menyelam setiap hari. Di tengah deburan ombak, mereka tak takut menyabung nyawa demi menyambung hidup.

Wicaksono, Darlis Muhammad (Banggai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum